Menyoal Mahalnya Harga Gas
A
A
A
Fahmy Radhi
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM
Mantan Anggota Tim Antimafia Migas
SETELAH lebih setahun harga gas cenderung naik, baru sekarang Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersoalkan mahalnya harga gas di Indonesia. Dalam rapat kabinet terbatas pekan lalu, Jokowi menyinggung harga gas industri di Indonesia jauh lebih mahal ketimbang harga gas di Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Indonesia yang punya cadangan gas berlimpah, harga gas industri mencapai sekitar USD11,2 hingga USD13,5 per million metric british thermal units (MMBtu). Sedangkan di Vietnam dan Singapura yang tidak mempunyai sumber gas, harga gas hanya sebesar USD4 per MMBtu di Singapura dan USD7 per MMBtu di Vietnam.
Dalam rapat kabinet itu, Jokowi menginstruksi kepada jajaran menteri terkait untuk menurunkan harga gas industri hingga 50%, menjadi sekitar USD6 per MMBtu, paling lambat akhir November 2016. Pertanyaannya, dapatkah pemerintah menurunkan harga gas industri hingga turun rata-rata menjadi USD6 per MMBtu sesuai waktu ditetapkan?
Penyebab Mahalnya Harga Gas
Ketentuan harga gas sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Implementasi perpres itu dituangkan ke dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Ketentuan Alokasi dan Pemanfaatan serta Penetapan Harga Gas Bumi. Namun, perpres dan permen tersebut tidak berdaya sama sekali mengendalikan harga gas Indonesia sehingga harga gas industri tetap saja bergerak naik secara liar.
Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkan pergerakan kenaikan harga gas industri di Indonesia. Pertama, harga gas di ladang hulu tergolong sudah mahal, berkisar USD6 hingga USD8 per MMbtu. Data per Agustus 2016 menunjukkan harga gas dari lahan Jatirangon, Jawa Barat dan Lahan Wunut, Jawa Timur mencapai USD6,75 per MMbtu, dari Lapangan Merang Jambi seharga USD6,47 per MMbtu, dan dari Sumur Medan sebesar USD8,49 per MMbtu. Dengan mahalnya harga di sektor hulu tersebut, tidak bisa dihindari harga gas di sektor hilir pada konsumen industri pasti ikut menjadi mahal.
Kedua, keterbatasan ketersediaan infrastruktur pipa gas yang dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu hingga ke hilir konsumen industri. Dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan lokasi lahan-lahan migas menyebar di berbagai wilayah, Indonesia membutuhkan infrastruktur jaringan pipa sangat panjang, sekitar 18.560 km. Sampai Agustus 2016 jaringan pipa yang sudah dibangun dan dioperasikan sekitar 9.324,8 km atau sekitar 50% dari total kebutuhan pipa. Kekurangan kebutuhan pipa gas tersebut tidak hanya memicu mahalnya gas, tetapi juga menyebabkan krisis gas di beberapa daerah seperti terjadi di Medan dan Jawa Timur.
Ketiga, jalur distribusi dari hulu ke hilir hingga konsumen industri sangat panjang dan bertingkat. Salah satunya disebabkan oleh ada trader nonpipa, yang selama ini hanya berperan sebagai makelar pemburu rente. Dari 67 trader yang bermain di industri gas, sebagian besar tidak memiliki jaringan pipa. Kalaupun mereka memiliki, jaringan pipa umumnya sangat pendek, yang tidak mencukupi untuk menghubungkan dari lahan migas hingga konsumen industri. Keberadaan trader nonpipa inilah yang menjadi penyebab utama jalur distribusi gas menjadi lebih panjang dan bertingkat. Akibat itu, harga gas berlaku di mulut sumur ladang migas hanya rata-rata sekitar USD6 per MMbtu, naik menjadi rata sebesar USD 12 per MMbtu pada konsumen industri.
Dalam dokumen "Pengaturan Harga Gas" yang dikeluarkan BPH Migas pada Oktober 2015 menyebutkan bahwa praktik trader gas bertingkat membuat harga gas pada konsumen industri menjadi sangat mahal. Dokumen itu menunjukkan bahwa sumber gas dari Bekasi yang berasal dari PT Pertamina EP dijual pertama kali kepada PT Pertagas. Lalu, Pertagas menjual gas tersebut kepada PT Odira sebagai trader pertama. PT Odira kemudian menjual kembali gas tersebut ke trader kedua, yaitu PT Mutiara Energi dengan harga USD9 per MMbtu.
PT Mutiara Energi mengalirkan gas menuju trader ketiga, yaitu PT Berkah Usaha Energi dengan harga USD11,75 per MMBtu. PT Berkah Usaha Energi menyalurkan gas tersebut ke konsumen industri dengan menggunakan pipa "open access" milik Pertagas. Penggunaan pipa open access dikenai biaya toll fee sebesar USD 0,22 per MMBtu. Margin yang dipungut ketiga trader, ditambah biaya toll fee dibebankan ke harga jual sehingga harga gas pada konsumen industri menjadi mahal, bisa mencapai USD 12 per MMBtu.
Tanpa menyelesaikan tiga faktor penyebab mahalnya harga gas tersebut, tidaklah mudah menurunkan harga gas industri hingga turun 50%. Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan harga gas adalah menurunkan harga gas di mulut sumur gas. Upaya itu di antaranya mengurangi beban pajak yang harus ditanggung investor hulu gas, mempercepat perizinan bagi investor yang mau investasi di ladang migas, dan mengubah komposisi bagi hasil antara pemerintah dan investor dalam skema production sharing contract, yang dibarengi dengan penurunan cost of recovery ditanggung pemerintah.
Untuk mengatasi kekurangan ketersediaan jaringan pipa, pemerintah harus mendorong PT Pertagas dan PT PGN serta trader untuk menambah pembangunan jaringan gas dengan mewajibkan semua trader harus memiliki kecukupan jaringan pipa seperti yang disyaratkan. Sedangkan untuk memangkas jalur distribusi yang panjang dan bertingkat, pemerintah harus melarang trader yang tidak memiliki jaringan pipa untuk menyalurkan gas hingga ke konsumen.
Tanpa menyelesaikan tiga permasalahan tersebut, jangan harap harga gas industri bisa diturunkan hingga 50% atau mencapai rata-rata sebesar USD6 per MMBtu seperti yang diinstruksikan oleh Presiden Jokowi. Kalau benar-benar harga gas industri tetap tidak bisa diturunkan untuk kedua kalinya setelah gagalnya penurunan harga daging pada bulan puasa lalu, instruksi Presiden Jokowi untuk penurunan harga tidak dapat dicapai.
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM
Mantan Anggota Tim Antimafia Migas
SETELAH lebih setahun harga gas cenderung naik, baru sekarang Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersoalkan mahalnya harga gas di Indonesia. Dalam rapat kabinet terbatas pekan lalu, Jokowi menyinggung harga gas industri di Indonesia jauh lebih mahal ketimbang harga gas di Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Indonesia yang punya cadangan gas berlimpah, harga gas industri mencapai sekitar USD11,2 hingga USD13,5 per million metric british thermal units (MMBtu). Sedangkan di Vietnam dan Singapura yang tidak mempunyai sumber gas, harga gas hanya sebesar USD4 per MMBtu di Singapura dan USD7 per MMBtu di Vietnam.
Dalam rapat kabinet itu, Jokowi menginstruksi kepada jajaran menteri terkait untuk menurunkan harga gas industri hingga 50%, menjadi sekitar USD6 per MMBtu, paling lambat akhir November 2016. Pertanyaannya, dapatkah pemerintah menurunkan harga gas industri hingga turun rata-rata menjadi USD6 per MMBtu sesuai waktu ditetapkan?
Penyebab Mahalnya Harga Gas
Ketentuan harga gas sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Implementasi perpres itu dituangkan ke dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Ketentuan Alokasi dan Pemanfaatan serta Penetapan Harga Gas Bumi. Namun, perpres dan permen tersebut tidak berdaya sama sekali mengendalikan harga gas Indonesia sehingga harga gas industri tetap saja bergerak naik secara liar.
Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkan pergerakan kenaikan harga gas industri di Indonesia. Pertama, harga gas di ladang hulu tergolong sudah mahal, berkisar USD6 hingga USD8 per MMbtu. Data per Agustus 2016 menunjukkan harga gas dari lahan Jatirangon, Jawa Barat dan Lahan Wunut, Jawa Timur mencapai USD6,75 per MMbtu, dari Lapangan Merang Jambi seharga USD6,47 per MMbtu, dan dari Sumur Medan sebesar USD8,49 per MMbtu. Dengan mahalnya harga di sektor hulu tersebut, tidak bisa dihindari harga gas di sektor hilir pada konsumen industri pasti ikut menjadi mahal.
Kedua, keterbatasan ketersediaan infrastruktur pipa gas yang dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu hingga ke hilir konsumen industri. Dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan lokasi lahan-lahan migas menyebar di berbagai wilayah, Indonesia membutuhkan infrastruktur jaringan pipa sangat panjang, sekitar 18.560 km. Sampai Agustus 2016 jaringan pipa yang sudah dibangun dan dioperasikan sekitar 9.324,8 km atau sekitar 50% dari total kebutuhan pipa. Kekurangan kebutuhan pipa gas tersebut tidak hanya memicu mahalnya gas, tetapi juga menyebabkan krisis gas di beberapa daerah seperti terjadi di Medan dan Jawa Timur.
Ketiga, jalur distribusi dari hulu ke hilir hingga konsumen industri sangat panjang dan bertingkat. Salah satunya disebabkan oleh ada trader nonpipa, yang selama ini hanya berperan sebagai makelar pemburu rente. Dari 67 trader yang bermain di industri gas, sebagian besar tidak memiliki jaringan pipa. Kalaupun mereka memiliki, jaringan pipa umumnya sangat pendek, yang tidak mencukupi untuk menghubungkan dari lahan migas hingga konsumen industri. Keberadaan trader nonpipa inilah yang menjadi penyebab utama jalur distribusi gas menjadi lebih panjang dan bertingkat. Akibat itu, harga gas berlaku di mulut sumur ladang migas hanya rata-rata sekitar USD6 per MMbtu, naik menjadi rata sebesar USD 12 per MMbtu pada konsumen industri.
Dalam dokumen "Pengaturan Harga Gas" yang dikeluarkan BPH Migas pada Oktober 2015 menyebutkan bahwa praktik trader gas bertingkat membuat harga gas pada konsumen industri menjadi sangat mahal. Dokumen itu menunjukkan bahwa sumber gas dari Bekasi yang berasal dari PT Pertamina EP dijual pertama kali kepada PT Pertagas. Lalu, Pertagas menjual gas tersebut kepada PT Odira sebagai trader pertama. PT Odira kemudian menjual kembali gas tersebut ke trader kedua, yaitu PT Mutiara Energi dengan harga USD9 per MMbtu.
PT Mutiara Energi mengalirkan gas menuju trader ketiga, yaitu PT Berkah Usaha Energi dengan harga USD11,75 per MMBtu. PT Berkah Usaha Energi menyalurkan gas tersebut ke konsumen industri dengan menggunakan pipa "open access" milik Pertagas. Penggunaan pipa open access dikenai biaya toll fee sebesar USD 0,22 per MMBtu. Margin yang dipungut ketiga trader, ditambah biaya toll fee dibebankan ke harga jual sehingga harga gas pada konsumen industri menjadi mahal, bisa mencapai USD 12 per MMBtu.
Tanpa menyelesaikan tiga faktor penyebab mahalnya harga gas tersebut, tidaklah mudah menurunkan harga gas industri hingga turun 50%. Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan harga gas adalah menurunkan harga gas di mulut sumur gas. Upaya itu di antaranya mengurangi beban pajak yang harus ditanggung investor hulu gas, mempercepat perizinan bagi investor yang mau investasi di ladang migas, dan mengubah komposisi bagi hasil antara pemerintah dan investor dalam skema production sharing contract, yang dibarengi dengan penurunan cost of recovery ditanggung pemerintah.
Untuk mengatasi kekurangan ketersediaan jaringan pipa, pemerintah harus mendorong PT Pertagas dan PT PGN serta trader untuk menambah pembangunan jaringan gas dengan mewajibkan semua trader harus memiliki kecukupan jaringan pipa seperti yang disyaratkan. Sedangkan untuk memangkas jalur distribusi yang panjang dan bertingkat, pemerintah harus melarang trader yang tidak memiliki jaringan pipa untuk menyalurkan gas hingga ke konsumen.
Tanpa menyelesaikan tiga permasalahan tersebut, jangan harap harga gas industri bisa diturunkan hingga 50% atau mencapai rata-rata sebesar USD6 per MMBtu seperti yang diinstruksikan oleh Presiden Jokowi. Kalau benar-benar harga gas industri tetap tidak bisa diturunkan untuk kedua kalinya setelah gagalnya penurunan harga daging pada bulan puasa lalu, instruksi Presiden Jokowi untuk penurunan harga tidak dapat dicapai.
(poe)