Pemerintah Dinilai Kebiri Hak Parpol Baru Lewat Revisi UU Pemilu
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dinilai berupaya mengebiri hak partai politik (Parpol) baru melalui revisi Undang-undang (UU) tentang Penyelenggaraan Pemilu. Pasalnya, salah satu poin di dalam draf revisi UU itu bahwa hasil Pileg 2014 dijadikan syarat Parpol untuk mengusung calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) di Pemilu Serentak 2019.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan, salah satu tujuan sebuah parpol untuk memperoleh kekuasaan, atau kesempatan untuk mengisi jabatan politik. Ketika parpol sah menjadi peserta pemilu, lanjut dia, maka tidak ada alasan untuk mengurangi haknya.
"Misalnya haknya untuk mengikuti pilpres, tidak bisa begitu," ujar Asep Warlan Yusuf kepada Sindonews, Sabtu (8/10/2016).
Sebab, sambung dia, filosofi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 itu bahwa pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) termasuk pemilu presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2019 harus dilaksanakan bersamaan.
"Sehingga, tidak boleh dikaitkan dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya, apa dasarnya?" tuturnya.
Justru, kata dia, Pemilu Serentak 2019 meniadakan presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden. Dengan digelar serentak, kata dia, maka semua parpol peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk pilpres. "Ini pengebirian hak sebuah partai politik, pengurangan hak," tuturnya.
Asep menambahkan, jika ketentuan larangan parpol baru itu disahkan nantinya, maka harus digugat ke MK. "Agak aneh kalau dikaitkan dengan hasil pileg sebelumnya, apa logika hukumnya kalau dikaitkan dengan hasil pileg sebelumnya?" pungkasnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan, salah satu tujuan sebuah parpol untuk memperoleh kekuasaan, atau kesempatan untuk mengisi jabatan politik. Ketika parpol sah menjadi peserta pemilu, lanjut dia, maka tidak ada alasan untuk mengurangi haknya.
"Misalnya haknya untuk mengikuti pilpres, tidak bisa begitu," ujar Asep Warlan Yusuf kepada Sindonews, Sabtu (8/10/2016).
Sebab, sambung dia, filosofi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 itu bahwa pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) termasuk pemilu presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2019 harus dilaksanakan bersamaan.
"Sehingga, tidak boleh dikaitkan dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya, apa dasarnya?" tuturnya.
Justru, kata dia, Pemilu Serentak 2019 meniadakan presidential threshold alias ambang batas pencalonan presiden. Dengan digelar serentak, kata dia, maka semua parpol peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk pilpres. "Ini pengebirian hak sebuah partai politik, pengurangan hak," tuturnya.
Asep menambahkan, jika ketentuan larangan parpol baru itu disahkan nantinya, maka harus digugat ke MK. "Agak aneh kalau dikaitkan dengan hasil pileg sebelumnya, apa logika hukumnya kalau dikaitkan dengan hasil pileg sebelumnya?" pungkasnya.
(kri)