Ziarah ke Tebuireng, Bersatunya TNI-Rakyat
A
A
A
TNI membangun tradisi baru. Hal ini terkait dengan ziarah ke makam tokoh-tokoh bangsa, termasuk ke makam yang berada di Ponpes Tebuireng, Cukir, Jombang, Jawa Timur. Di tempat tersebut bersemayam dua pahlawan nasional, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim, serta mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Ziarah kubur yang dipimpin langsung Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo tersebut diarahkan untuk membangun semangat nasionalisme prajurit dengan mengenang jasa dan perjuangan yang dilakukan para pendahulu, termasuk dari kalangan pesantren. "Ziarah seperti ini akan kami jadikan tradisi di TNI. Ini untuk mengenang para pahlawan yang sudah berjuang untuk kemerdekaan," ujar Gatot Nurmantyo, 27 September 2016.
Yang menarik, tradisi ini bukan dibangun atas kemauan panglima TNI, tapi juga menjadi kesepakatan bersama para kepala staf angkatan. Panglima TNI bahkan memerintahkan jajarannya untuk berziarah ke makam para pahlawan di wilayah masing-masing. Saat ziarah ke Tebuireng, kepala staf tiga angkatan dan sejumlah panglima komando utama di lingkungan TNI turut mendampingi.
Ziarah ke taman makam pahlawan memang sudah menjadi agenda rutin TNI, terutama dilakukan di setiap momen peringatan Hari Pahlawan, 10 November. Tapi, ziarah ke makam pahlawan yang berlatar pesantren bisa disebut sebagai hal baru. Apa yang dilakukan TNI saat ini menunjukkan kembali semakin dekatnya TNI dengan kalangan pesantren.
Kedekatan TNI dengan kalangan pesantren sebelumnya ditegaskan dengan kelahiran Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2015, yang berangkat dari keluarnya Resolusi Jihad yang menjadi ruh dari kelahiran Hari Pahlawan. Dalam momen tersebut, Panglima TNI menegaskan pengakuan pesantren, dalam hal ini Laskar Hisbullah dan Sabilillah, dan semua komponen yang berkontribusi memperjuangkan kemerdekaan bangsa sebagai bapak kandung TNI.
Pengakuan panglima TNI akan kontribusi laskar berbasis pesantren dan laskar-laskar lain, termasuk secara simbolis diwujudkan dengan ziarah ke makam di Tebuireng, bukan pernyataan biasa. Hal ini mencerminkan utuhnya kembali jati diri TNI, yakni TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara rakyat.
Dalam perjalanan sejarah setelah merebut dan mempertahankan kemerdekaan, TNI sempat “menjauh” dari rakyat seiring dengan kebijakan Kabinet Hatta tentang Restrukturisasi dan Rasionalisasi yang memaksa tentara berlatar belakang laskar harus kembali menjadi masyarakat biasa karena dianggap tidak berpendidikan. Akibat itu, TNI secara eksklusif hanya dikuasai mereka yang berlatar KNIL, Peta, Heiho, Tentara Pelajar, dan lainnya. Kondisi ini sempat memicu sejumlah pemberontakan di Tanah Air.
Pada era Orde Baru, peran laskar-laskar, termasuk pesantren, dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan kian ditenggelamkan. Pengaburan secara sistematis di antaranya dilakukan melalui buku serial sejarah terbitan Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah komando Nugroho Notosusanto. Akibat itu, generasi yang tumbuh saat itu tidak banyak mengetahui seperti siapa KH Hasyim Asy’ari, apa perannya dalam peristiwa 10 November 1945, dan apa Resolusi Jihad.
Pengakuan panglima TNI akan peran penting laskar dan ziarah ke makam di Ponpes Tebuireng tentu diharapkan bisa menghapus sejarah kelam yang tercatat dalam perjalanan bangsa ini. Sebaliknya, itu akan memperkukuh kebersatuan TNI dengan rakyat secara keseluruhan. Hal inilah seperti menjadi pesan utama Presiden Joko Widodo dalam peringatan HUT Ke-70 TNI di Pantai Indah Kiat, Cilegon, Provinsi Banten, 5 Oktober 2015.
Saat itu Presiden berpesan: "Sejarah mencatat bahwa TNI dilahirkan dari 'rahim' rakyat. Panglima Besar Jenderal Soedirman menyatakan, hubungan TNI dan rakyat adalah ibarat ikan dan air. Ikan tidak akan hidup tanpa air. Rakyatlah yang mengandung, merawat, dan membesarkan TNI.’’
Kebersatuan TNI dengan TNI dalam strategi militer juga sudah menjadi keniscayaan. Doktrin sistem pertahanan rakyat semesta (sishanrata) menyatakan pentingnya peran rakyat sebagai unsur pendukung dan TNI sebagai inti kekuatan dalam perang total. Doktrin sishanrata tersebut bahkan ditegaskan dalam UUD 1945.
Berdasar pemahaman tersebut, ke depan TNI tidak boleh lagi menjauh dari rakyat, termasuk dengan kalangan pesantren, tapi justru harus semakin menyatu dalam menjalankan setiap tugas pengabdian pada bangsa dan negara. Hanya dengan bersama-sama rakyatlah, TNI akan menjadi kekuatan militer yang hebat dan disegani kekuatan lain yang ingin mengusik kedaulatan bangsa.
Ziarah kubur yang dipimpin langsung Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo tersebut diarahkan untuk membangun semangat nasionalisme prajurit dengan mengenang jasa dan perjuangan yang dilakukan para pendahulu, termasuk dari kalangan pesantren. "Ziarah seperti ini akan kami jadikan tradisi di TNI. Ini untuk mengenang para pahlawan yang sudah berjuang untuk kemerdekaan," ujar Gatot Nurmantyo, 27 September 2016.
Yang menarik, tradisi ini bukan dibangun atas kemauan panglima TNI, tapi juga menjadi kesepakatan bersama para kepala staf angkatan. Panglima TNI bahkan memerintahkan jajarannya untuk berziarah ke makam para pahlawan di wilayah masing-masing. Saat ziarah ke Tebuireng, kepala staf tiga angkatan dan sejumlah panglima komando utama di lingkungan TNI turut mendampingi.
Ziarah ke taman makam pahlawan memang sudah menjadi agenda rutin TNI, terutama dilakukan di setiap momen peringatan Hari Pahlawan, 10 November. Tapi, ziarah ke makam pahlawan yang berlatar pesantren bisa disebut sebagai hal baru. Apa yang dilakukan TNI saat ini menunjukkan kembali semakin dekatnya TNI dengan kalangan pesantren.
Kedekatan TNI dengan kalangan pesantren sebelumnya ditegaskan dengan kelahiran Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2015, yang berangkat dari keluarnya Resolusi Jihad yang menjadi ruh dari kelahiran Hari Pahlawan. Dalam momen tersebut, Panglima TNI menegaskan pengakuan pesantren, dalam hal ini Laskar Hisbullah dan Sabilillah, dan semua komponen yang berkontribusi memperjuangkan kemerdekaan bangsa sebagai bapak kandung TNI.
Pengakuan panglima TNI akan kontribusi laskar berbasis pesantren dan laskar-laskar lain, termasuk secara simbolis diwujudkan dengan ziarah ke makam di Tebuireng, bukan pernyataan biasa. Hal ini mencerminkan utuhnya kembali jati diri TNI, yakni TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara rakyat.
Dalam perjalanan sejarah setelah merebut dan mempertahankan kemerdekaan, TNI sempat “menjauh” dari rakyat seiring dengan kebijakan Kabinet Hatta tentang Restrukturisasi dan Rasionalisasi yang memaksa tentara berlatar belakang laskar harus kembali menjadi masyarakat biasa karena dianggap tidak berpendidikan. Akibat itu, TNI secara eksklusif hanya dikuasai mereka yang berlatar KNIL, Peta, Heiho, Tentara Pelajar, dan lainnya. Kondisi ini sempat memicu sejumlah pemberontakan di Tanah Air.
Pada era Orde Baru, peran laskar-laskar, termasuk pesantren, dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan kian ditenggelamkan. Pengaburan secara sistematis di antaranya dilakukan melalui buku serial sejarah terbitan Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah komando Nugroho Notosusanto. Akibat itu, generasi yang tumbuh saat itu tidak banyak mengetahui seperti siapa KH Hasyim Asy’ari, apa perannya dalam peristiwa 10 November 1945, dan apa Resolusi Jihad.
Pengakuan panglima TNI akan peran penting laskar dan ziarah ke makam di Ponpes Tebuireng tentu diharapkan bisa menghapus sejarah kelam yang tercatat dalam perjalanan bangsa ini. Sebaliknya, itu akan memperkukuh kebersatuan TNI dengan rakyat secara keseluruhan. Hal inilah seperti menjadi pesan utama Presiden Joko Widodo dalam peringatan HUT Ke-70 TNI di Pantai Indah Kiat, Cilegon, Provinsi Banten, 5 Oktober 2015.
Saat itu Presiden berpesan: "Sejarah mencatat bahwa TNI dilahirkan dari 'rahim' rakyat. Panglima Besar Jenderal Soedirman menyatakan, hubungan TNI dan rakyat adalah ibarat ikan dan air. Ikan tidak akan hidup tanpa air. Rakyatlah yang mengandung, merawat, dan membesarkan TNI.’’
Kebersatuan TNI dengan TNI dalam strategi militer juga sudah menjadi keniscayaan. Doktrin sistem pertahanan rakyat semesta (sishanrata) menyatakan pentingnya peran rakyat sebagai unsur pendukung dan TNI sebagai inti kekuatan dalam perang total. Doktrin sishanrata tersebut bahkan ditegaskan dalam UUD 1945.
Berdasar pemahaman tersebut, ke depan TNI tidak boleh lagi menjauh dari rakyat, termasuk dengan kalangan pesantren, tapi justru harus semakin menyatu dalam menjalankan setiap tugas pengabdian pada bangsa dan negara. Hanya dengan bersama-sama rakyatlah, TNI akan menjadi kekuatan militer yang hebat dan disegani kekuatan lain yang ingin mengusik kedaulatan bangsa.
(poe)