Reformasi Hukum = Revolusi Mental?
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Direktur LPIKP
MINGGU lalu Presiden Joko Widodo telah mengundang pakar hukum, termasuk praktisi hukum untuk meminta masukkan mengenai strategi pembangunan hukum nasional. Mereka yang diundang merupakan sampel yang representatif para ahli hukum di negeri ini, begitulah kira-kira menurut lingkaran Istana Kepresidenan.
Memang benar bahwa Presiden yang kepala pemerintahan sejak masa awal reformasi dan sampai saat ini sering dipusingkan oleh ulah aparatur hukum. Selain itu, terkadang ada juga pendapat para ahli hukum yang tidak pernah konsisten dalam menilai suatu masalah hukum, apalagi terkait korupsi dan suap atau gratifikasi. Contohnya, ahli hukum tata negara selalu berpendapat bahwa kebijakan tidak dapat dipidana. Sementara ahli yang sama mengatakan, jika ada penyimpangan, masih bisa dipidana.
Praktisi hukum dalam praktik juga ada yang melanjutkan perkara pidana ke pengadilan dan ada yang tidak dilanjutkan alias di-SP3 atau di-SKPP terkait keperdataan dan kadang tanpa alasan hukum yang jelas sesuai aturan KUHAP. Ada menteri karena kebijakannya dipidana dan masuk penjara, ada yang tidak diperkarakan sekalipun kebijakannya menyimpang dari aturan tanpa alasan yang jelas. Saat ini bahkan ada kasus terkait kebijakan gubernur salah satu provinsi yang tidak tersentuh hukum hanya dengan alasan belum ditemukan ”mens-rea”-nya, bahkan dikuatkan pendapat ahli hukum pidana.
Yang tidak masuk akal bahwa harus ada mens-rea dulu baru dapat ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini menarik dikaji karena ada kekeliruan pemikiran bahwa bukti permulaan yang cukup harus ada mens- rea dulu. Bukankah merujuk Pasal 184 KUHAP, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup atau dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan dugaan ada suatu peristiwa pidana dan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka? Bukankah ada dan tidak mens-rea sebagai unsur pertanggungjawaban pidana merupakan kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara dan menetapkan terdakwa bersalah atau tidak bersalah?
Keganjilan pendapat hukum ini tidak akan terjadi jika semua pelajaran di semester III Fakultas Hukum dapat dipahami dengan baik dan benar atau mungkin ”gurunya” yang tidak baik dan tidak benar. Lebih aneh lagi, bahkan ada lembaga yang diatur dalam konstitusi dikesampingkan hasil pekerjaannya dengan alasan penegak hukum dapat menilai sendiri kerugian negara. Begitu pula ada menteri atau wali kota masuk penjara hanya karena salah prosedur, tetapi tidak sama perlakuannya dengan gubernur yang ”memiliki hak istimewa atau diistimewakan saat ini”.
***
Titah Presiden Joko Widodo kemudian menambah kebingungan aparatur hukum dengan mengatakan kepada semua aparatur hukum di Istana bahwa kebijakan jangan dan tidak perlu disidik kecuali yang benar-benar maling. Persoalannya, jika ada penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, tentu aparatur hukum harus memeriksa pengambil kebijakan itu apakah pelaksanaan dari kebijakannya itu sudah benar atau menyimpang, tidak cukup hanya memeriksa aparatur di bawahnya.
UU Tipikor dan UU tentang Penyelenggaraan Negara justru memasukkan jabatan publik mulai presiden sampai pimpinan proyek bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dilakukannya. Tengoklah ada tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme dengan ancaman hukuman maksimum 20 tahun dan denda sampai Rp1 miliar. Bagaimana mungkin tanpa boleh diperiksa semua jabatan publik, termasuk para menteri?
Lebih ganjil lagi misalnya sudah ada fakta temuan kerugian negara dalam kasus Sumber Waras dan lahan Cengkareng masih dapat diabaikan dengan alasan bahwa ada kerugian negara bukan unsur mutlak dalam tipikor, harus ada perbuatan melawan hukum, itu pendapat pakar dan ahli hukum terkenal.
Tentu ketika merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3, pembentuk UU Tipikor, telah memiliki justifikasi alur pikir yang logis dan sistematis, yaitu bahwa tidak mungkin ada kerugian negara tanpa ada pihak yang diuntungkan, dan tidak mungkin ada kerugian negara dan pihak yang diuntungkan jika tidak ada perbuatan melawan hukum dan tidak mungkin ada tiga unsur tersebut jika pihak tertentu tidak memiliki kekuasaan atau pihak lain yang terkait dengan kekuasaan.
Mengapa untuk orang tertentu justru tidak pernah dipedulikan ada atau tidak ada mens-rea? Dalam hal ini jelas bahwa inkonsistensi pemikiran dan praktik dalam penegakan hukum yang mungkin membuat Presiden Joko Widodo merasa risau sehingga saatnya Indonesia memiliki arah hukum perlu direformasi antara lain pertama melalui ”revolusi mental”, bukan hanya aparatur hukum, tetapi juga para ahli hukum termasuk penulis sendiri.
Apanya yang perlu direvolusi dalam hukum? Revolusi dalam hukum senyatanya tidak akan terjadi dan tidak akan pernah ada kecuali dalam kegiatan makar atau keadaan darurat sebagai diatur dalam UUD dan UU. Hukum tidak akan pernah berevolusi karena hukum memerlukan reformasi atau bahkan akselerasi saja sudah lebih dari cukup. Itu pun sampai saat ini, sejak Habibie mencanangkannya, dalam bidang hukum masih tersendat-sendat karena hukum hanya membutuhkan prosedur yang benar dan telah diatur dan ditetapkan di dalam undang-undang, hanya itulah pakemnya hukum.
***
Pakem hukum-prosedur itu masih diutak-atik dan disiasati melalui opini awam atau ahli hukum atau praktik hukum. Maka, bukanlah hukum, melainkan kekuasaan atau setidaknya ego pribadi yang dikedepankan, bukan etika profesionalisme yang seharusnya diutamakan. Pencanangan revolusi mental lebih tepat untuk pembentukan hukum ke depan. Revolusi mental dimaksud adalah perubahan mendasar pola pemikiran para ahli hukum dan dilanjutkan dengan pembentukan hukum yang dapat menjaga, memelihara, dan membangun sikap mental keluar dari pakemnya (out of the box) dengan tujuan kemanfaatan sosial bagi terbesar masyarakat dan bangsa ini.
Contoh, ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas legalitas, yang mengutamakan hukum tertulis, apakah bisa ketentuan Pasal 362, 372, dan 378 KUHP diselesaikan secara damai tanpa harus ada penuntutan? Perdamaian antara pelaku dan korban mungkin lebih bermanfaat daripada dihukum penjara yang dalam kenyataannya telah menggerus anggaran negara secara signifikan.
Semakin lama dipenjara semakin besar dan tinggi biaya negara untuk ”memelihara” terpidana di lapas dan semakin buruk kepribadian terpidana karena dalam kenyataan lapas saat ini telah menjadi ”sekolah tinggi kejahatan”. Tengoklah ada ”pabrik narkoba” dan tempat ”pembinaan” terorisme di lapas; sebaliknya, banyak terpidana intelektual dan mantan pejabat negara yang hidup menganggur tanpa dapat membaktikan ilmunya bagi masyarakat/ negara, sedangkan mungkin ada di antaranya lulusan perguruan tinggi karena memperoleh beasiswa atau bantuan dari pemerintah.
Contoh, untuk tindak pidana tipikor, sampai kini masih gamang, apakah uang negara yang lebih penting dikembalikan atau hukumannya yang lebih penting atau kedua-duanya. Masih memerlukan kajian secara mendalam karena selama lima tahun, sejak 2009 hingga 2014, pemasukan uang negara yang dikembalikan hanya mencapai kurang lebih Rp10 triliun, sedangkan pengeluaran biaya penegakan hukum (lembaga dan proses) mencapai Rp50 triliun setiap tahunnya. Pidana uang pengganti hukuman sampai saat ini bahkan tidak dapat dilaksanakan secara optimal karena terpidana lebih ”menyukai” menjalani hukuman tambahan saja daripada membayar uang pengganti karena relatif tidak lama, maksimal 1-3 tahun menjalani hukuman.
Di mana efek jeranya? Lamanya hukuman bukan berdampak efek jera karena siklus residivisme cukup tinggi di sana dan dalam kenyataan kehidupan di lapas untuk terpidana korupsi dan terorisme perlakuan berlebih telah terjadi dibandingkan dengan terpidana kelas bawah. Efek jera satu-satunya tentu hukuman mati, namun pejuang HAM akan keberatan sekalipun hak asasi orang lain telah dilanggar oleh terdakwa.
Titik persoalan revolusi mental dalam pembangunan hukum di Indonesia adalah bagaimana hukum pidana khususnya dapat memberikan kontribusi signifikan atau berdampak positif (outcome) bukan hanya mencapai tujuan keberhasilan semata-mata (output)? Terlebih penting dalam revolusi mental ini, bagaimana seharusnya fungsi dan peranan hukum ditempatkan di dalam undang-undang maupun dalam praktik penegakan hukum.
Khususnya hukum pidana, tentu filosofi retribusionisme dalam abad globalisasi saat ini sudah bangkrut dan di beberapa negara maju, termasuk AS, Belanda, Belgia, dan negara Uni Eropa lain, telah menerapkan proses restorative justice untuk tindak pidana tertentu dan selebihnya tetap penerapan retributive justice. Penerapan restorative justice hanya untuk tindak pidana ringan dengan ancaman di bawah enam tahun, tersangka usia 60 tahun, atau pelaku telah memberikan ganti rugi kepada korban. Seharusnya juga negara memberikan keringanan terhadap tersangka yang telah berjasa kepada negara dengan sangat teliti sehingga tidak ada pelanggaran terhadap asas persamaan di muka hukum yang kerap terjadi dalam praktik hukum di Indonesia.
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Direktur LPIKP
MINGGU lalu Presiden Joko Widodo telah mengundang pakar hukum, termasuk praktisi hukum untuk meminta masukkan mengenai strategi pembangunan hukum nasional. Mereka yang diundang merupakan sampel yang representatif para ahli hukum di negeri ini, begitulah kira-kira menurut lingkaran Istana Kepresidenan.
Memang benar bahwa Presiden yang kepala pemerintahan sejak masa awal reformasi dan sampai saat ini sering dipusingkan oleh ulah aparatur hukum. Selain itu, terkadang ada juga pendapat para ahli hukum yang tidak pernah konsisten dalam menilai suatu masalah hukum, apalagi terkait korupsi dan suap atau gratifikasi. Contohnya, ahli hukum tata negara selalu berpendapat bahwa kebijakan tidak dapat dipidana. Sementara ahli yang sama mengatakan, jika ada penyimpangan, masih bisa dipidana.
Praktisi hukum dalam praktik juga ada yang melanjutkan perkara pidana ke pengadilan dan ada yang tidak dilanjutkan alias di-SP3 atau di-SKPP terkait keperdataan dan kadang tanpa alasan hukum yang jelas sesuai aturan KUHAP. Ada menteri karena kebijakannya dipidana dan masuk penjara, ada yang tidak diperkarakan sekalipun kebijakannya menyimpang dari aturan tanpa alasan yang jelas. Saat ini bahkan ada kasus terkait kebijakan gubernur salah satu provinsi yang tidak tersentuh hukum hanya dengan alasan belum ditemukan ”mens-rea”-nya, bahkan dikuatkan pendapat ahli hukum pidana.
Yang tidak masuk akal bahwa harus ada mens-rea dulu baru dapat ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini menarik dikaji karena ada kekeliruan pemikiran bahwa bukti permulaan yang cukup harus ada mens- rea dulu. Bukankah merujuk Pasal 184 KUHAP, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup atau dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan dugaan ada suatu peristiwa pidana dan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka? Bukankah ada dan tidak mens-rea sebagai unsur pertanggungjawaban pidana merupakan kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara dan menetapkan terdakwa bersalah atau tidak bersalah?
Keganjilan pendapat hukum ini tidak akan terjadi jika semua pelajaran di semester III Fakultas Hukum dapat dipahami dengan baik dan benar atau mungkin ”gurunya” yang tidak baik dan tidak benar. Lebih aneh lagi, bahkan ada lembaga yang diatur dalam konstitusi dikesampingkan hasil pekerjaannya dengan alasan penegak hukum dapat menilai sendiri kerugian negara. Begitu pula ada menteri atau wali kota masuk penjara hanya karena salah prosedur, tetapi tidak sama perlakuannya dengan gubernur yang ”memiliki hak istimewa atau diistimewakan saat ini”.
***
Titah Presiden Joko Widodo kemudian menambah kebingungan aparatur hukum dengan mengatakan kepada semua aparatur hukum di Istana bahwa kebijakan jangan dan tidak perlu disidik kecuali yang benar-benar maling. Persoalannya, jika ada penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan, tentu aparatur hukum harus memeriksa pengambil kebijakan itu apakah pelaksanaan dari kebijakannya itu sudah benar atau menyimpang, tidak cukup hanya memeriksa aparatur di bawahnya.
UU Tipikor dan UU tentang Penyelenggaraan Negara justru memasukkan jabatan publik mulai presiden sampai pimpinan proyek bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dilakukannya. Tengoklah ada tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme dengan ancaman hukuman maksimum 20 tahun dan denda sampai Rp1 miliar. Bagaimana mungkin tanpa boleh diperiksa semua jabatan publik, termasuk para menteri?
Lebih ganjil lagi misalnya sudah ada fakta temuan kerugian negara dalam kasus Sumber Waras dan lahan Cengkareng masih dapat diabaikan dengan alasan bahwa ada kerugian negara bukan unsur mutlak dalam tipikor, harus ada perbuatan melawan hukum, itu pendapat pakar dan ahli hukum terkenal.
Tentu ketika merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3, pembentuk UU Tipikor, telah memiliki justifikasi alur pikir yang logis dan sistematis, yaitu bahwa tidak mungkin ada kerugian negara tanpa ada pihak yang diuntungkan, dan tidak mungkin ada kerugian negara dan pihak yang diuntungkan jika tidak ada perbuatan melawan hukum dan tidak mungkin ada tiga unsur tersebut jika pihak tertentu tidak memiliki kekuasaan atau pihak lain yang terkait dengan kekuasaan.
Mengapa untuk orang tertentu justru tidak pernah dipedulikan ada atau tidak ada mens-rea? Dalam hal ini jelas bahwa inkonsistensi pemikiran dan praktik dalam penegakan hukum yang mungkin membuat Presiden Joko Widodo merasa risau sehingga saatnya Indonesia memiliki arah hukum perlu direformasi antara lain pertama melalui ”revolusi mental”, bukan hanya aparatur hukum, tetapi juga para ahli hukum termasuk penulis sendiri.
Apanya yang perlu direvolusi dalam hukum? Revolusi dalam hukum senyatanya tidak akan terjadi dan tidak akan pernah ada kecuali dalam kegiatan makar atau keadaan darurat sebagai diatur dalam UUD dan UU. Hukum tidak akan pernah berevolusi karena hukum memerlukan reformasi atau bahkan akselerasi saja sudah lebih dari cukup. Itu pun sampai saat ini, sejak Habibie mencanangkannya, dalam bidang hukum masih tersendat-sendat karena hukum hanya membutuhkan prosedur yang benar dan telah diatur dan ditetapkan di dalam undang-undang, hanya itulah pakemnya hukum.
***
Pakem hukum-prosedur itu masih diutak-atik dan disiasati melalui opini awam atau ahli hukum atau praktik hukum. Maka, bukanlah hukum, melainkan kekuasaan atau setidaknya ego pribadi yang dikedepankan, bukan etika profesionalisme yang seharusnya diutamakan. Pencanangan revolusi mental lebih tepat untuk pembentukan hukum ke depan. Revolusi mental dimaksud adalah perubahan mendasar pola pemikiran para ahli hukum dan dilanjutkan dengan pembentukan hukum yang dapat menjaga, memelihara, dan membangun sikap mental keluar dari pakemnya (out of the box) dengan tujuan kemanfaatan sosial bagi terbesar masyarakat dan bangsa ini.
Contoh, ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas legalitas, yang mengutamakan hukum tertulis, apakah bisa ketentuan Pasal 362, 372, dan 378 KUHP diselesaikan secara damai tanpa harus ada penuntutan? Perdamaian antara pelaku dan korban mungkin lebih bermanfaat daripada dihukum penjara yang dalam kenyataannya telah menggerus anggaran negara secara signifikan.
Semakin lama dipenjara semakin besar dan tinggi biaya negara untuk ”memelihara” terpidana di lapas dan semakin buruk kepribadian terpidana karena dalam kenyataan lapas saat ini telah menjadi ”sekolah tinggi kejahatan”. Tengoklah ada ”pabrik narkoba” dan tempat ”pembinaan” terorisme di lapas; sebaliknya, banyak terpidana intelektual dan mantan pejabat negara yang hidup menganggur tanpa dapat membaktikan ilmunya bagi masyarakat/ negara, sedangkan mungkin ada di antaranya lulusan perguruan tinggi karena memperoleh beasiswa atau bantuan dari pemerintah.
Contoh, untuk tindak pidana tipikor, sampai kini masih gamang, apakah uang negara yang lebih penting dikembalikan atau hukumannya yang lebih penting atau kedua-duanya. Masih memerlukan kajian secara mendalam karena selama lima tahun, sejak 2009 hingga 2014, pemasukan uang negara yang dikembalikan hanya mencapai kurang lebih Rp10 triliun, sedangkan pengeluaran biaya penegakan hukum (lembaga dan proses) mencapai Rp50 triliun setiap tahunnya. Pidana uang pengganti hukuman sampai saat ini bahkan tidak dapat dilaksanakan secara optimal karena terpidana lebih ”menyukai” menjalani hukuman tambahan saja daripada membayar uang pengganti karena relatif tidak lama, maksimal 1-3 tahun menjalani hukuman.
Di mana efek jeranya? Lamanya hukuman bukan berdampak efek jera karena siklus residivisme cukup tinggi di sana dan dalam kenyataan kehidupan di lapas untuk terpidana korupsi dan terorisme perlakuan berlebih telah terjadi dibandingkan dengan terpidana kelas bawah. Efek jera satu-satunya tentu hukuman mati, namun pejuang HAM akan keberatan sekalipun hak asasi orang lain telah dilanggar oleh terdakwa.
Titik persoalan revolusi mental dalam pembangunan hukum di Indonesia adalah bagaimana hukum pidana khususnya dapat memberikan kontribusi signifikan atau berdampak positif (outcome) bukan hanya mencapai tujuan keberhasilan semata-mata (output)? Terlebih penting dalam revolusi mental ini, bagaimana seharusnya fungsi dan peranan hukum ditempatkan di dalam undang-undang maupun dalam praktik penegakan hukum.
Khususnya hukum pidana, tentu filosofi retribusionisme dalam abad globalisasi saat ini sudah bangkrut dan di beberapa negara maju, termasuk AS, Belanda, Belgia, dan negara Uni Eropa lain, telah menerapkan proses restorative justice untuk tindak pidana tertentu dan selebihnya tetap penerapan retributive justice. Penerapan restorative justice hanya untuk tindak pidana ringan dengan ancaman di bawah enam tahun, tersangka usia 60 tahun, atau pelaku telah memberikan ganti rugi kepada korban. Seharusnya juga negara memberikan keringanan terhadap tersangka yang telah berjasa kepada negara dengan sangat teliti sehingga tidak ada pelanggaran terhadap asas persamaan di muka hukum yang kerap terjadi dalam praktik hukum di Indonesia.
(poe)