Internet, Demokrasi, dan Kelas Menengah
A
A
A
Wasisto Raharjo Jati
Peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI
Demokrasi di Indonesia telah mengarah pada dua bentuk utama yakni kekuatan berjejaring yang mereduksi kekuasaan hierarki dan transformasi dari pemerintahan model government menuju governance.
Kekuasaan kemudian terdiseminasi meluas hingga memunculkan otonomi aktor dan perilaku yang ditampilkan oleh partai politik, media, LSM, maupun juga masyarakat sipil yang dimotori oleh kelas menengah. Penguatan kelas menengah terjadi di Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang kemudian menstimulus ada kenaikan status sosial masyarakat. Adapun di satu sisi lain, keterbukaan informasi menjadi penting membuka ruang diskusi publik sehingga pemahaman kritis publik terhadap sesuatu menjadi meningkat.
Kemunculan internet telah menjadi tema besar dalam mewujudkan demokrasi digital (Coleman 2006). Internet telah memudahkan jalan untuk mengakses informasi semudah dan secepat mungkin dari berbagai sumber. Hal itulah yang kemudian memicu ada mekanisme verifikasi dan validasi informasi bagi publik dalam dunia maya.
Dengan kata lain, kita adalah aktor demokrasi dalam internet karena penguasaan informasi menjadi penting dalam pencapaian konsensus dan mufakat dalam dunia maya. Semakin intens dan detail informasi disalurkan dan diberitakan.
Hal itulah yang menjadi pemahaman bersama bagi kelas menengah dalam melihat masalah. Harus diakui bahwa kecenderungan pemahaman bersama tersebut menciptakan pola pikir biner antara hitam dan putih. Namun, konteks hitam-putih tersebut tidaklah mutlak an sich, tetapi dilihat dari seberapa kuat dan determinasi suatu kelompok tersebut menyuarakan dan berpegang pada pemahaman tersebut sehingga mampu memengaruhi kelompok lain.
Bahkan tidak jarang, perang siber (cyber-wars) menjadi penentu penting atas ”kebenaran” dan ”kesalahan” suatu isu permasalahan dalam masyarakat. Dari situlah sebenarnya dilema terjadi dalam memahami demokrasi yang ditawarkan oleh internet hari ini. Ruang publik internet di Indonesia lebih didominasi oleh aksi internet trolling, flaming, maupun hate speech di kalangan kelas menengah.
Tiga perilaku tersebut sebenarnya imbas penting dari pola pikir tersebut, tanpa menimbang faktor-faktor lain. Dengan kata lain, dalam diskusi di internet, perputaran antara logika dan sikap irasional menjadi campur aduk dalam menciptakan konteks ”benar” dan ”salah” tersebut. Pemandangan itulah yang menjadi kecenderungan umum dalam browsing internet hari ini.
Penguatan pemahaman kritis dan penguatan ekonomi berujung pada peniadaan ranah publik dan privat dalam demokrasi. Keduanya menjadi tercampur aduk sehingga kemudian memicu perdebatan terhadap pertanyaan penting yakni masih relevankah ”warga negara” (citizenship) dalam demokrasi? Dan, apakah warga internet (netizenship). Adalah pilihan logis dalam menempatkan warga negara tetap dalam bingkai demokrasi.
Dua pertanyaan tersebut mempunyai keterikatan logis terhadap semakin terbukanya ruang dan informasi yang berdampak pada konteks kedaulatan dan juga kewarganegaraan kontemporer. Globalisasi secara sadar telah mereduksi batas negara-bangsa melalui informasi. Sedangkan dalam masyarakat berjejaring (networking society) sekarang ini, penguasaan informasi menjadi lebih berharga daripada penguasaan kapital.
Hal itu terkait dengan upaya kontrol dan persuasif terhadap suatu isu maupun permasalahan. Namun, saat bersamaan juga memunculkan ada asimetri informasi yang memungkinkan terjadi gerakan politik dalam masyarakat.
Dengan begitu, berharganya informasi, proses artikulasi kepentingan, dan aspirasi berkembang menjadi alat penekanan dan lobi secara wacana. Karena itulah, internet memungkinkan ada proses itu terjadi secara online yang kemudian ditransformasikan secara offline.
Terkait dengan pertanyaan utama yakni citizen dan netizen itulah yang menjadi titik simpul pertanyaan penting dalam melihat jangkauan demokrasi digital. Sebagai citizen, artikulasi kepentingan itu dilakukan secara hierarkis melalui jalur institusionalisasi politik.
Adapun sebagai netizen, artikulasi kepentingan dilakukan melalui cara egaliter, namun koersif dengan berupaya menjadi kelompok penekan terhadap negara. Namun, kini konteks netizen lebih mengena dibandingkan dengan istilah citizen bagi kalangan kelas menengah Indonesia, terutama dalam upaya membangun saluran representasi dan partisipasi politik kepada negara.
Melalui netizenship, kekuatan berjejaring dilakukan secara luas tidak hanya dalam level nasional, namun juga bisa internasional. Melalui netizenship pula, konteks pluralisme kekuasaan kemudian ditegakkan dengan berupaya menjadikan internet sebagai pilar demokrasi.
Di lain pihak, negara masih gagap dalam melihat fenomena euforia netizenship dalam kalangan kelas menengah Indonesia dengan berupaya tetap menegakkan sistem kontrol terhadap partisipasi publik di dunia maya. Kehadiran UU ITE merupakan bukti sahih ada kontrol tersebut dengan serangkaian macam aturan yang sifatnya represif dan koersif.
Nilai-nilai penting yang perlu diingat dalam melihat pengalaman demokrasi kontemporer di dunia maya adalah nilai inklusif, privat, sekuritas, egaliter, dan deliberatif (Colengan 2006). Namun, nilai-nilai demokrasi digital tersebut belumlah diterapkan secara nyata dalam praktik demokrasi Indonesia. Ke depan pemberian ruang afirmasi terhadap diseminasi demokrasi digital perlu diberikan ruang lebih luas.
Peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI
Demokrasi di Indonesia telah mengarah pada dua bentuk utama yakni kekuatan berjejaring yang mereduksi kekuasaan hierarki dan transformasi dari pemerintahan model government menuju governance.
Kekuasaan kemudian terdiseminasi meluas hingga memunculkan otonomi aktor dan perilaku yang ditampilkan oleh partai politik, media, LSM, maupun juga masyarakat sipil yang dimotori oleh kelas menengah. Penguatan kelas menengah terjadi di Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang kemudian menstimulus ada kenaikan status sosial masyarakat. Adapun di satu sisi lain, keterbukaan informasi menjadi penting membuka ruang diskusi publik sehingga pemahaman kritis publik terhadap sesuatu menjadi meningkat.
Kemunculan internet telah menjadi tema besar dalam mewujudkan demokrasi digital (Coleman 2006). Internet telah memudahkan jalan untuk mengakses informasi semudah dan secepat mungkin dari berbagai sumber. Hal itulah yang kemudian memicu ada mekanisme verifikasi dan validasi informasi bagi publik dalam dunia maya.
Dengan kata lain, kita adalah aktor demokrasi dalam internet karena penguasaan informasi menjadi penting dalam pencapaian konsensus dan mufakat dalam dunia maya. Semakin intens dan detail informasi disalurkan dan diberitakan.
Hal itulah yang menjadi pemahaman bersama bagi kelas menengah dalam melihat masalah. Harus diakui bahwa kecenderungan pemahaman bersama tersebut menciptakan pola pikir biner antara hitam dan putih. Namun, konteks hitam-putih tersebut tidaklah mutlak an sich, tetapi dilihat dari seberapa kuat dan determinasi suatu kelompok tersebut menyuarakan dan berpegang pada pemahaman tersebut sehingga mampu memengaruhi kelompok lain.
Bahkan tidak jarang, perang siber (cyber-wars) menjadi penentu penting atas ”kebenaran” dan ”kesalahan” suatu isu permasalahan dalam masyarakat. Dari situlah sebenarnya dilema terjadi dalam memahami demokrasi yang ditawarkan oleh internet hari ini. Ruang publik internet di Indonesia lebih didominasi oleh aksi internet trolling, flaming, maupun hate speech di kalangan kelas menengah.
Tiga perilaku tersebut sebenarnya imbas penting dari pola pikir tersebut, tanpa menimbang faktor-faktor lain. Dengan kata lain, dalam diskusi di internet, perputaran antara logika dan sikap irasional menjadi campur aduk dalam menciptakan konteks ”benar” dan ”salah” tersebut. Pemandangan itulah yang menjadi kecenderungan umum dalam browsing internet hari ini.
Penguatan pemahaman kritis dan penguatan ekonomi berujung pada peniadaan ranah publik dan privat dalam demokrasi. Keduanya menjadi tercampur aduk sehingga kemudian memicu perdebatan terhadap pertanyaan penting yakni masih relevankah ”warga negara” (citizenship) dalam demokrasi? Dan, apakah warga internet (netizenship). Adalah pilihan logis dalam menempatkan warga negara tetap dalam bingkai demokrasi.
Dua pertanyaan tersebut mempunyai keterikatan logis terhadap semakin terbukanya ruang dan informasi yang berdampak pada konteks kedaulatan dan juga kewarganegaraan kontemporer. Globalisasi secara sadar telah mereduksi batas negara-bangsa melalui informasi. Sedangkan dalam masyarakat berjejaring (networking society) sekarang ini, penguasaan informasi menjadi lebih berharga daripada penguasaan kapital.
Hal itu terkait dengan upaya kontrol dan persuasif terhadap suatu isu maupun permasalahan. Namun, saat bersamaan juga memunculkan ada asimetri informasi yang memungkinkan terjadi gerakan politik dalam masyarakat.
Dengan begitu, berharganya informasi, proses artikulasi kepentingan, dan aspirasi berkembang menjadi alat penekanan dan lobi secara wacana. Karena itulah, internet memungkinkan ada proses itu terjadi secara online yang kemudian ditransformasikan secara offline.
Terkait dengan pertanyaan utama yakni citizen dan netizen itulah yang menjadi titik simpul pertanyaan penting dalam melihat jangkauan demokrasi digital. Sebagai citizen, artikulasi kepentingan itu dilakukan secara hierarkis melalui jalur institusionalisasi politik.
Adapun sebagai netizen, artikulasi kepentingan dilakukan melalui cara egaliter, namun koersif dengan berupaya menjadi kelompok penekan terhadap negara. Namun, kini konteks netizen lebih mengena dibandingkan dengan istilah citizen bagi kalangan kelas menengah Indonesia, terutama dalam upaya membangun saluran representasi dan partisipasi politik kepada negara.
Melalui netizenship, kekuatan berjejaring dilakukan secara luas tidak hanya dalam level nasional, namun juga bisa internasional. Melalui netizenship pula, konteks pluralisme kekuasaan kemudian ditegakkan dengan berupaya menjadikan internet sebagai pilar demokrasi.
Di lain pihak, negara masih gagap dalam melihat fenomena euforia netizenship dalam kalangan kelas menengah Indonesia dengan berupaya tetap menegakkan sistem kontrol terhadap partisipasi publik di dunia maya. Kehadiran UU ITE merupakan bukti sahih ada kontrol tersebut dengan serangkaian macam aturan yang sifatnya represif dan koersif.
Nilai-nilai penting yang perlu diingat dalam melihat pengalaman demokrasi kontemporer di dunia maya adalah nilai inklusif, privat, sekuritas, egaliter, dan deliberatif (Colengan 2006). Namun, nilai-nilai demokrasi digital tersebut belumlah diterapkan secara nyata dalam praktik demokrasi Indonesia. Ke depan pemberian ruang afirmasi terhadap diseminasi demokrasi digital perlu diberikan ruang lebih luas.
(poe)