Netralitas dan Partisipasi
A
A
A
Hari ini pendaftaran bakal calon pemimpin daerah pada Pilkada Serentak 2017 dimulai. Konstelasi atau dinamika politik mulai meningkat ketika partai politik Tanah Air mulai berancang-ancang menyodorkan jagonya untuk didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) wilayahnya masing-masing.
Salah satu yang membuat konstelasi politik Pilkada 2017 meningkat adalah tadi malam PDI Perjuangan sebagai partai pengumpul suara terbanyak pada Pemilu 2014 mengumumkan para jagoannya. Satu wilayah yang paling ditunggu adalah DKI Jakarta.
Pilkada kali ini memang mempunyai rasa berbeda karena diselenggarakan serentak, membuat konstelasi politik lebih tinggi. Tujuh provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten menyelenggarakan pilkada yang akan dilakukan pada 15 Februari 2017.
Banyak pilkada yang dilakukan secara serentak membuat aparat keamanan harus berpikir ekstra agar bisa mengamankan jalan pesta demokrasi di Tanah Air. Pilkada 2015 yang juga berlangsung serentak bisa dilalui relatif aman dan diharapkan pengalaman tersebut bisa tertular pada Pilkada 2017.
Namun, salah satu ganjalan tentang sukses atau tidak penyelenggaraan pilkada adalah pihak penyelenggara. Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan menyebut 30% kerawanan pilkada justru disebabkan oleh netralitas penyelenggara. Dugaan tidak netral juga terjadi di tingkat KPUD hingga tingkat panitia TPS. Artinya, ketika penyelenggara meminta pihak eksternal untuk bisa bersikap netral, problem besar soal netralitas justru terjadi di internal. Ini harus menjadi evaluasi penyelenggara jika ingin pilkada dikatakan berjalan demokratis.
Selain netralitas, persoalan pilkada adalah tingkat partisipasi yang masih rendah. Berkaca pada Pilkada Serentak 2015, tingkat partisipasi hanya sekitar 60%, padahal target penyelenggara waktu itu sekitar 77,5%. Sedangkan pada Pemilu 2014 tingkat partisipasi sekitar 75,11% lebih tinggi dari Pemilu 2009. Masih rendah partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi, terutama pada pelaksanaan pilkada, tentu menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara, yaitu KPU.
Namun, tidak fair juga jika dua persoalan utama dari pesta demokrasi yaitu persoalan netralitas dan partisipasi hanya dibebankan pada penyelenggara. Partai politik dan pemerintah tentu mempunyai peran yang penting agar netralitas dan partisipasi bisa meningkat atau lebih baik dari penyelenggaraan pesta demokrasi sebelumnya. Partai politik dan pemerintah harus proaktif membantu penyelenggara dalam meningkatkan kualitas dari pilkada.
Netralitas penyelenggara juga bisa dipicu oleh partai politik yang menginginkan jagonya menang. Partai politik bisa memengaruhi penyelenggara untuk tidak bersikap netral agar jagonya dinyatakan menang. Tentu partai politik harus berani mencegah atau menindak kadernya jika melakukan ihwal yang melanggar garis netralitas yang semestinya dilakukan penyelenggara.
Netralitas harus juga dimiliki parpol yang merupakan peserta pesta demokrasi. Toh, netralitas merupakan bagian dari integritas parpol dalam membangun demokrasi di negeri ini. Pun begitu dengan peran parpol dalam meningkatkan partisipasi. Jika parpol berhasil merebut hati masyarakat, bukan hal yang mustahil partisipasi masyarakat akan tinggi.
Pemerintah sebagai organizing committee juga harus menjaga netralitas dengan tidak memainkan kepentingan kelompok. Intervensi-intervensi berlebihan akan membuat netralitas menjadi barang mahal. Pemerintah mempunyai peran penting karena acapkali pemerintah juga dituding berat sebelah terhadap parpol atau pasangan tertentu.
Akhirnya netralitas dan tingkat partisipasi harus didukung semua pihak karena dengan semakin netral dan tingginya partisipasi rakyat akan semakin meningkatkan kualitas pesta demokrasi. Penyelenggara, parpol, pemerintah, dan stakeholder lain harus peduli dengan netralitas dan tingkat partisipasi.
Salah satu yang membuat konstelasi politik Pilkada 2017 meningkat adalah tadi malam PDI Perjuangan sebagai partai pengumpul suara terbanyak pada Pemilu 2014 mengumumkan para jagoannya. Satu wilayah yang paling ditunggu adalah DKI Jakarta.
Pilkada kali ini memang mempunyai rasa berbeda karena diselenggarakan serentak, membuat konstelasi politik lebih tinggi. Tujuh provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten menyelenggarakan pilkada yang akan dilakukan pada 15 Februari 2017.
Banyak pilkada yang dilakukan secara serentak membuat aparat keamanan harus berpikir ekstra agar bisa mengamankan jalan pesta demokrasi di Tanah Air. Pilkada 2015 yang juga berlangsung serentak bisa dilalui relatif aman dan diharapkan pengalaman tersebut bisa tertular pada Pilkada 2017.
Namun, salah satu ganjalan tentang sukses atau tidak penyelenggaraan pilkada adalah pihak penyelenggara. Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan menyebut 30% kerawanan pilkada justru disebabkan oleh netralitas penyelenggara. Dugaan tidak netral juga terjadi di tingkat KPUD hingga tingkat panitia TPS. Artinya, ketika penyelenggara meminta pihak eksternal untuk bisa bersikap netral, problem besar soal netralitas justru terjadi di internal. Ini harus menjadi evaluasi penyelenggara jika ingin pilkada dikatakan berjalan demokratis.
Selain netralitas, persoalan pilkada adalah tingkat partisipasi yang masih rendah. Berkaca pada Pilkada Serentak 2015, tingkat partisipasi hanya sekitar 60%, padahal target penyelenggara waktu itu sekitar 77,5%. Sedangkan pada Pemilu 2014 tingkat partisipasi sekitar 75,11% lebih tinggi dari Pemilu 2009. Masih rendah partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi, terutama pada pelaksanaan pilkada, tentu menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara, yaitu KPU.
Namun, tidak fair juga jika dua persoalan utama dari pesta demokrasi yaitu persoalan netralitas dan partisipasi hanya dibebankan pada penyelenggara. Partai politik dan pemerintah tentu mempunyai peran yang penting agar netralitas dan partisipasi bisa meningkat atau lebih baik dari penyelenggaraan pesta demokrasi sebelumnya. Partai politik dan pemerintah harus proaktif membantu penyelenggara dalam meningkatkan kualitas dari pilkada.
Netralitas penyelenggara juga bisa dipicu oleh partai politik yang menginginkan jagonya menang. Partai politik bisa memengaruhi penyelenggara untuk tidak bersikap netral agar jagonya dinyatakan menang. Tentu partai politik harus berani mencegah atau menindak kadernya jika melakukan ihwal yang melanggar garis netralitas yang semestinya dilakukan penyelenggara.
Netralitas harus juga dimiliki parpol yang merupakan peserta pesta demokrasi. Toh, netralitas merupakan bagian dari integritas parpol dalam membangun demokrasi di negeri ini. Pun begitu dengan peran parpol dalam meningkatkan partisipasi. Jika parpol berhasil merebut hati masyarakat, bukan hal yang mustahil partisipasi masyarakat akan tinggi.
Pemerintah sebagai organizing committee juga harus menjaga netralitas dengan tidak memainkan kepentingan kelompok. Intervensi-intervensi berlebihan akan membuat netralitas menjadi barang mahal. Pemerintah mempunyai peran penting karena acapkali pemerintah juga dituding berat sebelah terhadap parpol atau pasangan tertentu.
Akhirnya netralitas dan tingkat partisipasi harus didukung semua pihak karena dengan semakin netral dan tingginya partisipasi rakyat akan semakin meningkatkan kualitas pesta demokrasi. Penyelenggara, parpol, pemerintah, dan stakeholder lain harus peduli dengan netralitas dan tingkat partisipasi.
(poe)