Pencinta Indonesia di Luar Negeri
A
A
A
Al Busyra Basnur
Pengamat Internasional
KETIKA menghadiri The 2nd International Conference on Social and Political Sciences di FISIP UIN Syarif Hidayatullah pada 6 September 2016, sebagai bagian dari jawaban atas pertanyaan saya, Prof Greg Fealy dari Australia National University (ANU) yang menjadi pembicara di konferensi tersebut mengatakan bahwa minat masyarakat Australia belajar tentang Indonesia, termasuk bahasa Indonesia, mulai menurun.
Sebelumnya, 15 Agustus 2016 The Sydney Morning Herald memuat berita "Research Finds Many Australians Negative and Ill-informed About Indonesia". Inti berita tersebut menegaskan pentingnya melakukan upaya-upaya signifikan untuk mengatasi dangkalnya pemahaman dan minimnya pengetahuan masyarakat Australia terhadap Indonesia.
Australia Indonesia Center (AIC) mempunyai catatan lebih menarik. Dia menjelaskan, di tengah pejabat Pemerintah Indonesia-Australia sering mengelu-elukan kedekatan hubungan dua negara, kenyataan di kalangan masyarakat dua negara ternyata sangat berbeda.
Pengajaran bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Australia, sebagai salah satu indikator bahwa Indonesia diminati dan penting bagi masyarakat Australia, memang tercatat menurun. Padahal, selama ini Australia adalah negara di mana bahasa Indonesia paling banyak diajarkan dibanding negara-negara lain.
Pakar Australia bahkan memperkirakan pengajaran bahasa Indonesia di Australia bisa tutup dalam masa 10 tahun ke depan apabila kecenderungan ini terus dibiarkan. Namun, Duta Besar RI Nadjib Riphat Kesoema membantah itu karena peminat mempelajari bahasa Indonesia di Australia masih tetap banyak. Apalagi, bahasa Indonesia menjadi bahasa populer keempat di Australia.
Turun-Naik
Berbeda dengan Australia, minat masyarakat mempelajari Indonesia, terutama bahasa Indonesia, di berbagai negara lain baik di Asia, Eropa, maupun Amerika justru berkembang baik dan meningkat. Di Jepang, bahasa Indonesia diajarkan di berbagai lembaga pendidikan terkemuka dan dipelajari para profesional. Di Korea Selatan, bahasa Indonesia diajarkan antara lain di tiga universitas terkemuka Hangkuk Universty of Foreign Studies, Busan University of Foreign Studies dan Youngsan University. Di Italia bahasa Indonesia telah diajarkan sejak lama di Universita Degli Studi di Napoli I’Orientale di mana dulu (1999-2004) penulis sering bersinergi mempromosikan Indonesia.
Di Finlandia, Universitas Turki membuka pelajaran bahasa Indonesia mulai Agustus 2016 mengingat besarnya minat masyarakat mempelajari Indonesia. Finlandia menekankan arti penting Indonesia sebagai negara berpenduduk dan berekonomi besar dengan perkembangan demokrasi yang luar biasa pesat.
Yang tidak kalah menarik adalah Pusat Studi Indonesia, Pusat Kajian Kawasan dan Hubungan Internasional, Azerbaijan University of Languages di Baku. Pusat studi yang dibuka pada 2010 itu merupakan pengembangan dari jurusan studi Indonesia yang dimulai pada 2007. Salah satu tujuan utama pusat studi tersebut adalah menciptakan Indonesianis di Azerbaijan. Duta Besar RI untuk Azerbaijan Dr Husnan Bey Fananie mengatakan, Pusat Studi Indonesia tersebut merupakan salah satu magnet dan powerhouse yang sangat vital dalam meningkatkan hubungan dan kerja sama Indonesia-Azerbaijan.
Benar, semua tahu bahwa mempelajari bahasa asing tidak semata-mata bertujuan untuk mempermudah komunikasi antarbangsa. Bahasa bahkan mampu memperkuat persatuan masyarakat dan memajukan ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Dewasa ini terdapat sekitar 7.000 bahasa yang digunakan masyarakat di berbagai penjuru.
Bahasa Indonesia diajarkan di sekitar 219 lembaga di 46 negara di dunia. Meski di Australia mengalami penurunan, permintaan pengiriman tenaga pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) di banyak negara lain justru meningkat. Sayangnya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud tidak dapat memenuhi semua permintaan tersebut karena keterbatasan anggaran. Tahun ini Kemendikbud hanya mampu memenuhi permintaan BIPA sekitar setengah saja dari total permintaan dari luar negeri.
Investasi
Menarik untuk dikaji, mengapa minat belajar bahasa Indonesia di Australia menurun. Sebaliknya, menarik pula disimak mengapa minat belajar bahasa Indonesia di berbagai negara lain meningkat.
Prof Tim Lindsey menyebut travel warning ke Indonesia yang dikeluarkan Pemerintah Australia menjadi penyebab utama turunnya minat belajar bahasa Indonesia. Warning tidak semata menyebabkan keraguan dan kekhawatiran, juga menyebar ketakutan yang memperkecil harapan masyarakat Australia menangkap potensi dan peluang besar yang tersedia di Indonesia. Padahal, sebagai negara tetangga, Indonesia-Australia memiliki hubungan sangat baik, ditandai oleh kepentingan dan ketergantungan yang erat dalam memajukan dua bangsa, terutama di bidang sosial dan ekonomi.
Travel warning sebenarnya tidak sepenuhnya penyebab minat belajar bahasa Indonesia di Australia turun. Selama ini travel warning lebih dikaitkan dengan isu keamanan, eksekusi hukuman mati, penyakit menular, dan terkadang masalah politik. Faktor yang mendorong suatu masyarakat belajar bahasa asing tidak semata-mata karena kegemaran atau untuk menunjang kegiatan wisata dan sosial masyarakat.
Di dunia yang kini kian menglobal, justru kepentingan ekonomi dan keilmuan lebih menonjol dan menjadi dasar orang belajar bahasa asing. Ini berarti, Indonesia perlu meningkatkan kerja keras agar Indonesia semakin dinilai penting di mata dunia sehingga bahasa Indonesia menjadi semakin penting pula.
Prospek pengajaran bahasa Indonesia di negara-negara Eropa sebetulnya lebih besar dibandingkan Amerika Serikat. Di Eropa sebagian besar pelajar dan mahasiswa diharuskan menguasai setidaknya satu bahasa asing pada usia sembilan tahun. Beberapa negara bahkan menerapkan dua bahasa asing setelah mencapai usia tertentu. Sementara di Amerika Serikat tidak demikian. Tak heran jika General Social Survey pernah mengungkap hanya 25% orang Amerika yang bisa berbahasa selain Inggris.
Ke depan minat mempelajari bahasa Indonesia diperkirakan tetap berkembang dengan baik seiring peningkatan postur regional dan internasional Indonesia di bidang politik, investasi, maupun perdagangan. Perihal ditemukan fakta terkini yang kurang menggembirakan di Australia, itu tentu penting kita catat dan akan menjadi bahan menentukan langkah lanjut.
Namun, perjalanan go global bahasa Indonesia di masa hadapan tentu tidak terlepas dari peran pemerintah dan nonpemerintah serta sinergi keduanya. Termasuk upaya memberdayakan semua stakeholders yang ada di luar negeri. Alumni penerima beasiswa Pemerintah Indonesia misalnya saat ini tersebar di berbagai negara sahabat seperti Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia-BSBI (718 orang di 63 negara) dan Dharmasiswa (6.635 orang di 115 negara). Peran mereka tentu akan luar biasa hebat apabila dibesarkan dan menjadi "entahlah" apabila dikesampingkan. Kita tentu tidak ingin kehilangan investasi yang telah kita tanamkan kepada mereka, yaitu rasa cinta Indonesia.
Pengamat Internasional
KETIKA menghadiri The 2nd International Conference on Social and Political Sciences di FISIP UIN Syarif Hidayatullah pada 6 September 2016, sebagai bagian dari jawaban atas pertanyaan saya, Prof Greg Fealy dari Australia National University (ANU) yang menjadi pembicara di konferensi tersebut mengatakan bahwa minat masyarakat Australia belajar tentang Indonesia, termasuk bahasa Indonesia, mulai menurun.
Sebelumnya, 15 Agustus 2016 The Sydney Morning Herald memuat berita "Research Finds Many Australians Negative and Ill-informed About Indonesia". Inti berita tersebut menegaskan pentingnya melakukan upaya-upaya signifikan untuk mengatasi dangkalnya pemahaman dan minimnya pengetahuan masyarakat Australia terhadap Indonesia.
Australia Indonesia Center (AIC) mempunyai catatan lebih menarik. Dia menjelaskan, di tengah pejabat Pemerintah Indonesia-Australia sering mengelu-elukan kedekatan hubungan dua negara, kenyataan di kalangan masyarakat dua negara ternyata sangat berbeda.
Pengajaran bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Australia, sebagai salah satu indikator bahwa Indonesia diminati dan penting bagi masyarakat Australia, memang tercatat menurun. Padahal, selama ini Australia adalah negara di mana bahasa Indonesia paling banyak diajarkan dibanding negara-negara lain.
Pakar Australia bahkan memperkirakan pengajaran bahasa Indonesia di Australia bisa tutup dalam masa 10 tahun ke depan apabila kecenderungan ini terus dibiarkan. Namun, Duta Besar RI Nadjib Riphat Kesoema membantah itu karena peminat mempelajari bahasa Indonesia di Australia masih tetap banyak. Apalagi, bahasa Indonesia menjadi bahasa populer keempat di Australia.
Turun-Naik
Berbeda dengan Australia, minat masyarakat mempelajari Indonesia, terutama bahasa Indonesia, di berbagai negara lain baik di Asia, Eropa, maupun Amerika justru berkembang baik dan meningkat. Di Jepang, bahasa Indonesia diajarkan di berbagai lembaga pendidikan terkemuka dan dipelajari para profesional. Di Korea Selatan, bahasa Indonesia diajarkan antara lain di tiga universitas terkemuka Hangkuk Universty of Foreign Studies, Busan University of Foreign Studies dan Youngsan University. Di Italia bahasa Indonesia telah diajarkan sejak lama di Universita Degli Studi di Napoli I’Orientale di mana dulu (1999-2004) penulis sering bersinergi mempromosikan Indonesia.
Di Finlandia, Universitas Turki membuka pelajaran bahasa Indonesia mulai Agustus 2016 mengingat besarnya minat masyarakat mempelajari Indonesia. Finlandia menekankan arti penting Indonesia sebagai negara berpenduduk dan berekonomi besar dengan perkembangan demokrasi yang luar biasa pesat.
Yang tidak kalah menarik adalah Pusat Studi Indonesia, Pusat Kajian Kawasan dan Hubungan Internasional, Azerbaijan University of Languages di Baku. Pusat studi yang dibuka pada 2010 itu merupakan pengembangan dari jurusan studi Indonesia yang dimulai pada 2007. Salah satu tujuan utama pusat studi tersebut adalah menciptakan Indonesianis di Azerbaijan. Duta Besar RI untuk Azerbaijan Dr Husnan Bey Fananie mengatakan, Pusat Studi Indonesia tersebut merupakan salah satu magnet dan powerhouse yang sangat vital dalam meningkatkan hubungan dan kerja sama Indonesia-Azerbaijan.
Benar, semua tahu bahwa mempelajari bahasa asing tidak semata-mata bertujuan untuk mempermudah komunikasi antarbangsa. Bahasa bahkan mampu memperkuat persatuan masyarakat dan memajukan ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Dewasa ini terdapat sekitar 7.000 bahasa yang digunakan masyarakat di berbagai penjuru.
Bahasa Indonesia diajarkan di sekitar 219 lembaga di 46 negara di dunia. Meski di Australia mengalami penurunan, permintaan pengiriman tenaga pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) di banyak negara lain justru meningkat. Sayangnya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud tidak dapat memenuhi semua permintaan tersebut karena keterbatasan anggaran. Tahun ini Kemendikbud hanya mampu memenuhi permintaan BIPA sekitar setengah saja dari total permintaan dari luar negeri.
Investasi
Menarik untuk dikaji, mengapa minat belajar bahasa Indonesia di Australia menurun. Sebaliknya, menarik pula disimak mengapa minat belajar bahasa Indonesia di berbagai negara lain meningkat.
Prof Tim Lindsey menyebut travel warning ke Indonesia yang dikeluarkan Pemerintah Australia menjadi penyebab utama turunnya minat belajar bahasa Indonesia. Warning tidak semata menyebabkan keraguan dan kekhawatiran, juga menyebar ketakutan yang memperkecil harapan masyarakat Australia menangkap potensi dan peluang besar yang tersedia di Indonesia. Padahal, sebagai negara tetangga, Indonesia-Australia memiliki hubungan sangat baik, ditandai oleh kepentingan dan ketergantungan yang erat dalam memajukan dua bangsa, terutama di bidang sosial dan ekonomi.
Travel warning sebenarnya tidak sepenuhnya penyebab minat belajar bahasa Indonesia di Australia turun. Selama ini travel warning lebih dikaitkan dengan isu keamanan, eksekusi hukuman mati, penyakit menular, dan terkadang masalah politik. Faktor yang mendorong suatu masyarakat belajar bahasa asing tidak semata-mata karena kegemaran atau untuk menunjang kegiatan wisata dan sosial masyarakat.
Di dunia yang kini kian menglobal, justru kepentingan ekonomi dan keilmuan lebih menonjol dan menjadi dasar orang belajar bahasa asing. Ini berarti, Indonesia perlu meningkatkan kerja keras agar Indonesia semakin dinilai penting di mata dunia sehingga bahasa Indonesia menjadi semakin penting pula.
Prospek pengajaran bahasa Indonesia di negara-negara Eropa sebetulnya lebih besar dibandingkan Amerika Serikat. Di Eropa sebagian besar pelajar dan mahasiswa diharuskan menguasai setidaknya satu bahasa asing pada usia sembilan tahun. Beberapa negara bahkan menerapkan dua bahasa asing setelah mencapai usia tertentu. Sementara di Amerika Serikat tidak demikian. Tak heran jika General Social Survey pernah mengungkap hanya 25% orang Amerika yang bisa berbahasa selain Inggris.
Ke depan minat mempelajari bahasa Indonesia diperkirakan tetap berkembang dengan baik seiring peningkatan postur regional dan internasional Indonesia di bidang politik, investasi, maupun perdagangan. Perihal ditemukan fakta terkini yang kurang menggembirakan di Australia, itu tentu penting kita catat dan akan menjadi bahan menentukan langkah lanjut.
Namun, perjalanan go global bahasa Indonesia di masa hadapan tentu tidak terlepas dari peran pemerintah dan nonpemerintah serta sinergi keduanya. Termasuk upaya memberdayakan semua stakeholders yang ada di luar negeri. Alumni penerima beasiswa Pemerintah Indonesia misalnya saat ini tersebar di berbagai negara sahabat seperti Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia-BSBI (718 orang di 63 negara) dan Dharmasiswa (6.635 orang di 115 negara). Peran mereka tentu akan luar biasa hebat apabila dibesarkan dan menjadi "entahlah" apabila dikesampingkan. Kita tentu tidak ingin kehilangan investasi yang telah kita tanamkan kepada mereka, yaitu rasa cinta Indonesia.
(poe)