Sengkarut Obat Ilegal
A
A
A
Prof Dr Sudjito SH MSi
Guru Besar Ilmu Hukum, Pengajar Hukum Kesehatan di UGM
KORAN SINDO, edisi Jumat 9 September 2016, mewartakan tentang sengkarut obat ilegal yang sudah berlangsung belasan tahun di negeri ini. Berbagai bukti dan pernyataan pengamat maupun pakar dikemukakan. Bukti-bukti dimaksud adalah ditemukannya 42,48 juta butir obat ilegal di Banten. Estimasi omzet dari peredaran obat ilegal di Indonesia mencapai USD200 juta.
Persoalan kelembagaan, regulasi, dan penganggaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai menjadi titik sentral per-masalahan dan mesti dibenahi. Tak kurang pentingnya, masalah penegakan hukum dipandang masih lemah sehingga berimbas pada tidak jeranya pelaku kejahatan perobatan. Mafia obat ilegal nyata adanya dan karena itu disarankan penegakan hukum harus dari hulu hingga hilir.
Ketika kita menyadari bahwa kejahatan perobatan merupakan mafia, kejahatan sistemik, lantas bagaimana mengurai benang kusut, merinci kesengkarutannya, serta mencari solusinya? Dari perspektif hukum progresif, ada beberapa agenda aksi yang dapat diprogramkan sebagai upaya pembenahan.
Pertama, pembenahan sumber daya manusia. Peran manusia senantiasa penting karena manusia memiliki kekuatan hukum dahsyat untuk memobilisasikan hukum agar pesan-pesan moral tentang kejujuran, keadilan, kepastian, kemanfaatan, dan sebagainya dapat sampai pada sasaran.
Hukum sebagai teks, semisal Perpres Nomor 103/2001 yang menjadi dasar keberadaan dan dasar bekerja BPOM, tidak akan dapat berfungsi efektif tanpa sentuhan manusia-manusianya. Kualitas dan karakter sumber daya manusia di BPOM amat menentukan keefektifan kerjanya.
Kendati demikian, manusia dalam hukum progresif tidak sesempit itu. Dalam keutuhannya, dimaksud manusia meliputi: pembuat kebijakan, pemberi izin, pelaku usaha, distributor, pengecer, sampai pada masyarakat pengguna obat. Pendek kata, seluruh manusia, dari hulu sampai hilir yang terlibat atau berkepentingan dengan obat. Mereka itu, keseluruhannya, perlu dibenahi mentalitas dan moralitasnya.
Tamanaha (2006) dalam Teori Cermin (Mirror Theory) menjelaskan bahwa hukum sebagai teks maupun perilaku sesungguhnya merupakan cermin belaka dari masyarakatnya. Ditarik ke sengkarut obat ilegal, masalah itu muncul karena perilaku masyarakat secara keseluruhan, bukan semata-mata manusia di BPOM.
Dengan perasaan sedih, harus diakui bahwa masyarakat kita masih bermasalah. Masyarakat “bawah” gemar memilih obat murah karena keterbatasan daya beli. Kegemaran demikian disambut pengecer, distributor, dan produsen untuk memproduksi dan mendistribusikan obat ilegal yang harganya murah.
Di lapangan terlihat nyata obat ilegal beredar luas ketika terjadi kongkalikong oknum aparat dengan pelaku kejahatan. Pemberian “amplop“ cukup menjadi pembuka jalan distribusi yang lancar. Dapat diduga, di tingkat “atas”, kongkalikong sejenis juga terjalin antara pembuat kebijakan, pemberi izin, dan pengawas dengan pelaku kejahatan perobatan.
Harus diakui bahwa kualitas dan karakter sumber daya masyarakat sudah rusak. Bagaimanakah mereka mesti dididik dan dipahamkan tentang persoalan obat-obatan sehingga menjadi masyarakat sehat, sadar, dan komitmen pada obat-obat legal, serta-merta antiobat ilegal? Ini persoalan laten dan sudah berlangsung lama, tetapi belum terlihat upaya sistemik mengatasi itu.
Kedua, mobilisasi hukum. Indonesia ini negara hukum, bukan negara perundang-undangan. Sekian banyak hukum berlaku, dan diterima masyarakat. Ada hukum agama, hukum adat, dan hukum positif. Keseluruhannya perlu dimobilisasi agar kekuatan hukum di dalamnya dapat disatupadukan menjadi kekuatan dahsyat untuk pemberantasan obat ilegal. Dalam kerangka mobilisasi hukum, tokoh agama, pemuka adat, dan aparat negara perlu berkolaborasi, bersinergi, sebagaimana bersatunya sapu lidi walaupun kecil-kecil, amat kuat setelah disuhi.
Sejurus dengan itu, pemberantasan obat ilegal dilakukan melalui pranata agama, pranata adat, maupun pranata negara. Sanksi hukuman kepada pelaku kejahatan pun mestinya meliputi sanksi hukum agama, sanksi hukum adat, dan sanksi hukum negara. Dengan mobilisasi hukum, pemberantasan obat ilegal dapat menjadi gerakan nasional. Presiden atau setidaknya menteri kesehatan diharapkan menjadi “komandan perang”, yang berdiri di barisan terdepan medan peperangan.
Pola pikir konvensional Komisi IX DPR tentang Pembuatan RUU Pengawasan Obat dan Makanan, hemat saya, tergolong kontra produktif, pemborosan, dan mengganggu komitmen terwujudnya gerakan nasional pemberantasan obat ilegal dan karena itu disarankan ditarik ulang. Diingatkan bahwa sengkarut obat ilegal bukan persoalan parsialistik pada BPOM saja, melainkan persoalan mafia dan bersifat sistemik sehingga perlu diselesaikan secara holistik dan sistemik pula.
Ketiga, advokasi kepada pembuat kebijakan, birokrat, dan aparat penegak hukum. Mereka perlu diadvokasi agar kebijakan-kebijakan perobatan ditinjau ulang, diikuti dengan “rule breaking “ atas peraturan perundangan usang. Untuk keperluan ini, pelibatan para ahli baik akademisi maupun praktisi dipandang penting. Sudah semestinya, advokasi dilakukan secara profesional, dilandasi moralitas tinggi, sehingga imun godaan suap dan gratifikasi dari oknum-oknum pelaku usaha.
Seiring penguatan paham kapitalisme, demi kelancaran usaha, sering gratifikasi dari produsen obat kepada dokter atau rumah sakit, mewabah dan sulit diberantas. Misal, pemberian hadiah berupa barang, atau fasilitas seminar, kongres, pariwisata, dan lain-lain. Produsen gemar memberinya, dokter dan rumah sakit suka menerimanya, sementara masyarakat pengguna obat menjadi korbannya karena harga obat menjadi mahal. “Kalau mau murah, ya silakan beli obat generik atau obat ilegal,” katanya.
Kapan sengkarut obat ilegal teratasi? Kapan budaya antiobat ilegal terwujud? Gagasan dangkal tentang hukum progresif ini diharapkan dapat dikembangkan sehingga menjadi sarana solusinya. Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum, Pengajar Hukum Kesehatan di UGM
KORAN SINDO, edisi Jumat 9 September 2016, mewartakan tentang sengkarut obat ilegal yang sudah berlangsung belasan tahun di negeri ini. Berbagai bukti dan pernyataan pengamat maupun pakar dikemukakan. Bukti-bukti dimaksud adalah ditemukannya 42,48 juta butir obat ilegal di Banten. Estimasi omzet dari peredaran obat ilegal di Indonesia mencapai USD200 juta.
Persoalan kelembagaan, regulasi, dan penganggaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai menjadi titik sentral per-masalahan dan mesti dibenahi. Tak kurang pentingnya, masalah penegakan hukum dipandang masih lemah sehingga berimbas pada tidak jeranya pelaku kejahatan perobatan. Mafia obat ilegal nyata adanya dan karena itu disarankan penegakan hukum harus dari hulu hingga hilir.
Ketika kita menyadari bahwa kejahatan perobatan merupakan mafia, kejahatan sistemik, lantas bagaimana mengurai benang kusut, merinci kesengkarutannya, serta mencari solusinya? Dari perspektif hukum progresif, ada beberapa agenda aksi yang dapat diprogramkan sebagai upaya pembenahan.
Pertama, pembenahan sumber daya manusia. Peran manusia senantiasa penting karena manusia memiliki kekuatan hukum dahsyat untuk memobilisasikan hukum agar pesan-pesan moral tentang kejujuran, keadilan, kepastian, kemanfaatan, dan sebagainya dapat sampai pada sasaran.
Hukum sebagai teks, semisal Perpres Nomor 103/2001 yang menjadi dasar keberadaan dan dasar bekerja BPOM, tidak akan dapat berfungsi efektif tanpa sentuhan manusia-manusianya. Kualitas dan karakter sumber daya manusia di BPOM amat menentukan keefektifan kerjanya.
Kendati demikian, manusia dalam hukum progresif tidak sesempit itu. Dalam keutuhannya, dimaksud manusia meliputi: pembuat kebijakan, pemberi izin, pelaku usaha, distributor, pengecer, sampai pada masyarakat pengguna obat. Pendek kata, seluruh manusia, dari hulu sampai hilir yang terlibat atau berkepentingan dengan obat. Mereka itu, keseluruhannya, perlu dibenahi mentalitas dan moralitasnya.
Tamanaha (2006) dalam Teori Cermin (Mirror Theory) menjelaskan bahwa hukum sebagai teks maupun perilaku sesungguhnya merupakan cermin belaka dari masyarakatnya. Ditarik ke sengkarut obat ilegal, masalah itu muncul karena perilaku masyarakat secara keseluruhan, bukan semata-mata manusia di BPOM.
Dengan perasaan sedih, harus diakui bahwa masyarakat kita masih bermasalah. Masyarakat “bawah” gemar memilih obat murah karena keterbatasan daya beli. Kegemaran demikian disambut pengecer, distributor, dan produsen untuk memproduksi dan mendistribusikan obat ilegal yang harganya murah.
Di lapangan terlihat nyata obat ilegal beredar luas ketika terjadi kongkalikong oknum aparat dengan pelaku kejahatan. Pemberian “amplop“ cukup menjadi pembuka jalan distribusi yang lancar. Dapat diduga, di tingkat “atas”, kongkalikong sejenis juga terjalin antara pembuat kebijakan, pemberi izin, dan pengawas dengan pelaku kejahatan perobatan.
Harus diakui bahwa kualitas dan karakter sumber daya masyarakat sudah rusak. Bagaimanakah mereka mesti dididik dan dipahamkan tentang persoalan obat-obatan sehingga menjadi masyarakat sehat, sadar, dan komitmen pada obat-obat legal, serta-merta antiobat ilegal? Ini persoalan laten dan sudah berlangsung lama, tetapi belum terlihat upaya sistemik mengatasi itu.
Kedua, mobilisasi hukum. Indonesia ini negara hukum, bukan negara perundang-undangan. Sekian banyak hukum berlaku, dan diterima masyarakat. Ada hukum agama, hukum adat, dan hukum positif. Keseluruhannya perlu dimobilisasi agar kekuatan hukum di dalamnya dapat disatupadukan menjadi kekuatan dahsyat untuk pemberantasan obat ilegal. Dalam kerangka mobilisasi hukum, tokoh agama, pemuka adat, dan aparat negara perlu berkolaborasi, bersinergi, sebagaimana bersatunya sapu lidi walaupun kecil-kecil, amat kuat setelah disuhi.
Sejurus dengan itu, pemberantasan obat ilegal dilakukan melalui pranata agama, pranata adat, maupun pranata negara. Sanksi hukuman kepada pelaku kejahatan pun mestinya meliputi sanksi hukum agama, sanksi hukum adat, dan sanksi hukum negara. Dengan mobilisasi hukum, pemberantasan obat ilegal dapat menjadi gerakan nasional. Presiden atau setidaknya menteri kesehatan diharapkan menjadi “komandan perang”, yang berdiri di barisan terdepan medan peperangan.
Pola pikir konvensional Komisi IX DPR tentang Pembuatan RUU Pengawasan Obat dan Makanan, hemat saya, tergolong kontra produktif, pemborosan, dan mengganggu komitmen terwujudnya gerakan nasional pemberantasan obat ilegal dan karena itu disarankan ditarik ulang. Diingatkan bahwa sengkarut obat ilegal bukan persoalan parsialistik pada BPOM saja, melainkan persoalan mafia dan bersifat sistemik sehingga perlu diselesaikan secara holistik dan sistemik pula.
Ketiga, advokasi kepada pembuat kebijakan, birokrat, dan aparat penegak hukum. Mereka perlu diadvokasi agar kebijakan-kebijakan perobatan ditinjau ulang, diikuti dengan “rule breaking “ atas peraturan perundangan usang. Untuk keperluan ini, pelibatan para ahli baik akademisi maupun praktisi dipandang penting. Sudah semestinya, advokasi dilakukan secara profesional, dilandasi moralitas tinggi, sehingga imun godaan suap dan gratifikasi dari oknum-oknum pelaku usaha.
Seiring penguatan paham kapitalisme, demi kelancaran usaha, sering gratifikasi dari produsen obat kepada dokter atau rumah sakit, mewabah dan sulit diberantas. Misal, pemberian hadiah berupa barang, atau fasilitas seminar, kongres, pariwisata, dan lain-lain. Produsen gemar memberinya, dokter dan rumah sakit suka menerimanya, sementara masyarakat pengguna obat menjadi korbannya karena harga obat menjadi mahal. “Kalau mau murah, ya silakan beli obat generik atau obat ilegal,” katanya.
Kapan sengkarut obat ilegal teratasi? Kapan budaya antiobat ilegal terwujud? Gagasan dangkal tentang hukum progresif ini diharapkan dapat dikembangkan sehingga menjadi sarana solusinya. Wallahualam.
(poe)