Haji Mabrur dan Solidaritas Sosial

Selasa, 13 September 2016 - 08:31 WIB
Haji Mabrur dan Solidaritas Sosial
Haji Mabrur dan Solidaritas Sosial
A A A
Amidhan Shaberah
Ketua MUI (1995-2015)/Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI (1991-1996)

MENJADI haji mabrur yang jaminannya surga adalah cita-cita utama "Para Tamu Allah" seluruh dunia di Mekkah pada Zulhijah ini. Rasulullah menyatakan: "Bagi orang yang hajinya mabrur, balasannya adalah surga". Dengan landasan statement Rasulullah itulah, setiap umat Islam termotivasi untuk menunaikan ibadah haji. Jutaan umat Islam dari seluruh dunia berbondong-bondong menuju Mekkah untuk satu tujuan: mengharap surga.

Tapi, dari jutaan jamaah haji itu, seberapa banyak orang yang hajinya mabrur? Hanya Allah yang tahu. Alkisah, di sebuah dusun ada penjual sandal dari kayu. Orang ini sangat ingin berangkat haji sehingga dia menabung sedikit demi sedikit dari hasil menjual sandalnya itu. Setelah menabung bertahun-tahun dan merasa bekalnya cukup ia segera menunaikan niatnya untuk berangkat haji. Namun, di tengah perjalanan dia melewati suatu desa yang terpapar wabah penyakit sehingga penduduknya tidak bisa bekerja dan tidak ada makanan yang bisa disantap. Pedagang itu jatuh iba dan menyerahkan bekal hajinya untuk membantu penduduk desa itu. Karena bekalnya habis, ia pun pulang, tidak jadi berangkat haji.

Di tempat lain, ada seorang ulama yang zuhud sedang beribadah dan berdoa kepada Allah. Dalam doanya ia bertanya kepada Allah: "Ya Tuhanku? Dari sekian banyak orang yang berangkat haji tahun ini berapakah yang Engkau terima hajinya?"

Lalu, Allah memberikan jawaban melalui Jibril: "Tidak satu pun." Jibril kemudian berbisik: Tetapi, Allah telah menerima haji seorang yang tidak berangkat haji. Si zahid terkejut: "Siapakah orang itu?" Lalu, Jibril menunjukkan ciri-ciri orang itu, di mana asalnya dan pekerjaannya apa.

Ia pun segera mencari orang itu sesuai petunjuk Jibril. Ketika menemukan pedagang sandal itu, ulama zuhud tersebut berkata: "Benar kamu seorang pedagang sandal?" Jawab pedagang sandal: "Benar." Si zahid berkata: "Benar, kamu orangnya yang ingin berangkat haji, tetapi tidak jadi?" Pedagang sandal dengan sedih menjawab: "Benar."

Ulama zuhud itu berkata: "Apa yang menyebabkan kamu urung berangkat haji?" Lantas pedagang sandal itu bercerita kenapa dia tidak jadi berangkat haji. "Saya tak jadi berangkat ke Mekkah karena menyedekahkan bekal saya kepada penduduk desa," katanya kepada ulama zuhud tadi. Si zahid kemudian berkata: "Berbahagialah kamu, sesungguhnya dari sekian banyak hamba yang berhaji tahun ini, Allah hanya menerima hajimu, haji mabrur saudaraku."

Pedagang sandal itu heran: "Dari mana kamu tahu?" Si zahid berkata: "Jibril memberitahuku kala aku berdoa kepada Allah." Mendengar itu, kemudian bersujudlah si pedagang sandal tadi, lalu memuji Allah berkali-kali dan setelah itu ia semakin rajin bersedekah dan beribadah kepada Allah.

Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah pedagang sandal yang hajinya mabrur tersebut. Pertama, berniat haji harus ikhlas semata-mata karena Allah. Dengan landasan ikhlas karena Allah itulah, calon haji tidak punya obsesi apa pun kecuali ingin "berjumpa" dengan Allah di Rumah-Nya. Maka, ketika dalam perjalanan calon haji menemukan suatu "ladang amal" yang nilainya amat tinggi di hadapan Allah -membantu masyarakat yang menderita karena wabah penyakit- pedagang sandal itu dengan ikhlas membantu mereka sampai bekalnya habis. Ia percaya Allah tahu niatnya. Dan, benar Allah mengetahui ketulusan niat pedagang sandal tersebut sehingga Allah menjadikan hajinya mabrur. Dengan landasan itu pula, haji adalah sebuah landasan takwa.

Apa itu takwa? Secara tekstual, orang mengartikannya "takut kepada Allah". Tapi, esensi takwa lebih jauh dari sekadar takut. Takwa adalah sebuah sikap hidup yang selalu mengacu kepada Sunnatullah. Jagat bergerak dan berkembang menurut hukum-hukum Allah (Sunnatullah). Jika seseorang berbuat curang, esensinya telah melanggar Sunnatullah. Itu artinya orang itu melanggar hukum-hukum alam sehingga akan merusak universe. Seorang pedagang daging yang mengurangi timbangannya misalnya mungkin secara selintas kesalahannya sepele. Keuntungan akibat kecurangannya juga tidak seberapa. Tapi, secara esensial, jika ditautkan dengan pendistorsian hukum gravitasi, ia telah merusak hukum alam atau Sunnatullah yang sangat berbahaya. Pedagang daging tadi telah berlaku tidak adil. Ia merusak keseimbangan alam. Itulah sebabnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menyatakan: Tegakkan keadilan meski bumi akan runtuh. Dengan demikian, esensi haji tersebut merupakan upaya menegakkan hukum-hukum alam.

Allamah Ali Syariati melukiskan ibadah haji dengan sejumlah ritusnya sebagai simbol pergerakan universe. Gelombang manusia yang mengelilingi Kakbah (tawaf), menurut Ali Syariati, adalah simbol pergerakan alam raya yang mengelilingi "Pusat"-nya. Gerakan tawaf itu, mulai dari yang paling mikro sampai yang paling makro, merupakan simbol "kehidupan" jagat raya. Mulai dari elektron-elektron yang mengelilingi inti atom hingga bintang-bintang yang mengelilingi galaksi, dan galaksi-galaksi yang mengelilingi supragalaksi. Itulah hakikat perlunya penegakan keadilan. Dan, keadilan itu hanya bisa ditegakkan dengan takwa.

Kedua, untuk menjadi haji mabrur, kepedulian sosial menjadi sarat utama. Ini artinya, seseorang yang berniat menjalankan ibadah haji, namun hidupnya antisosial, ibadah hajinya bisa muspro. Artinya, ibadah hajinya nyaris tak ada gunanya di mata Allah. Seperti orang yang puasa Ramadan, tapi yang didapatnya hanya lapar dan dahaga karena ibadah puasanya tercemari ihwal yang "membatalkan" esensi puasanya -yaitu tidak dapat menahan hawa nafsu dan banyak berbuat mungkar. Puasa mereka muspro. Yang diperolehnya hanya lapar dan dahaga. Begitu pula orang yang berniat haji. Bila seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya tak punya kepedulian sosial, mengharapkan haji mabrur hanya ilusi.

Dengan demikian, bila ada orang yang serakah misalnya naik haji bahkan berkali-kali, tapi tak punya kepedulian sosial terhadap sesamanya, dia sebetulnya hanya menghambur-hamburkan uang. Ibadah hajinya muspro. Demikian ekstrem hubungan haji dengan kepedulian sosial sehingga muncul kisah penjual sandal yang tak pernah pergi ke Mekkah, tapi niat hajinya diterima Allah sehingga dia menjadi satu-satunya haji mabrur pada saat itu. Ekstremitas cerita di atas hendaknya dinilai dari sudut "pentingnya" kepedulian sosial dalam kehidupan umat Islam. Dan, haji adalah sebuah ibadah dengan penekanan pentingnya kepedulian sosial tersebut. Dari perspektif ini pula, kita memaknai "kurban" di Hari Idul Adha. Esensi kurban tersebut adalah kepedulian sosial.

Memaknai pentingnya kepedulian sosial ini misalnya terlihat dari ujian Nabi Ibrahim ketika mendapat perintah untuk "menyembelih" putranya Ismail. Ismail - menurut Ali Syariati -adalah simbolisasi "harta tersayang" Ibrahim. Alquran menjelaskan salah satu harta paling berharga dalam kehidupan manusia adalah anak. Dan, Allah menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih putra kinasihnya, Ismail. Itulah ujian terberat Ibrahim. Dan, Ibrahim berhasil menjalani ujian itu. Sekali lagi, ujian penyembelihan Ismail merupakan bentuk "ekstremitas" suruhan Allah kepada manusia agar mau berkurban untuk kemaslahatan umat.

Kenapa kepedulian sosial merupakan ibadah yang tingkat kewajibannya sangat ekstrem? Karena, kepedulian sosial merupakan spirit kehidupan bermasyarakat untuk menciptakan sebuah negeri yang makmur dan penuh maghfirah. Negeri makmur dan maghfirah ini hanya akan terjadi jika masyarakatnya punya kepedulian sosial yang tinggi, baik antarindividu, antarkomunitas, antaragama, dan antar-ras. Dalam kerangka inilah, Allah berfirman: "Sesungguhnya kami menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan dan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar manusia saling kenal mengenal. Adapun manusia termulia adalah manusia yang paling bertakwa (Al-Hujarat: 13). Dan, orang yang paling bertakwa adalah orang yang paling besar kepedulian sosialnya. Sebuah hadis menyatakan manusia terbaik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya untuk manusia lain.

Pelajaran ketiga adalah menjadi haji mabrur meniscayakan harta kita halal dan diperoleh dengan cara halal. Ibadah haji adalah "penyucian" diri secara paripurna. Pakaian ihram misalnya mengingatkan umat Islam terhadap kain kafan. Harta sebanyak apa pun, yang dibawa mati hanyalah selembar kain kafan. Dan, bila manusia mencari harta yang tidak halal, makna hidupnya akan muspro. Hancur. Karena itu, salah satu sarat penting jika seseorang ingin hajinya mabrur, harta yang diperolehnya harus halal. Tanpa itu, hajinya hanya mendapatkan rasa lelah dan pening. Allah tidak akan menerima haji yang dananya berasal dari korupsi, manipulasi, dan lain-lain.

Dengan demikian, esensi haji sesungguhnya sebuah upaya transformasi kehidupan dari yang hitam menjadi putih; dari yang gelap menjadi terang. Dari yang individual menjadi sosial. Haji adalah sebuah penyadaran bahwa kita hidup di bumi bersama umat manusia yang lain yang harus saling membantu dan tolong menolong atas nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4026 seconds (0.1#10.140)