Malu Ekspor Asap ke Negara Tetangga
A
A
A
Tjipta Lesmana
Pengamat Sosial-Politik
JULI lalu Kepolisian Daerah Riau menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada 11 perusahaan yang semula diindikasikan melakukan pembakaran hutan. Padahal, perusahaan-perusahaan itu telah disidik oleh Polri dengan dakwaan melakukan pembakaran hutan. Publik mengecam keras tindakan Polda Riau atas penerbitan SP3 dan Polri pun dituding tidak serius menangani kasus pembakaran hutan. Publik juga menilai Polri meremehkan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang harus menindak tegas pelaku pembakaran hutan.
Ketika media bertanya kepada pihak polda mengapa instansinya menerbitkan SP3, Kapolda Riau Brigadir Jenderal Supriyanto menjawab ia tidak memiliki kewenangan terhadap penyidikan 11 perusahaan pembakar lahan. ”Penyidikan merupakan kewenangan penyidik. Proses penyidikan itu independen, menjadi kewenangan penyidik. Saya tidak pernah ikut campur sama sekali,” jawab kapolda. Ia mempersilakan wartawan media itu untuk bertanya langsung kepada Direktur Reserse Kriminal (Direskrim) atau bidang Humas Polri.
Betapa menyedihkan mendengar jawaban kapolda Riau itu. Ada apa sesungguhnya di balik sikap kapolda yang menghindari pertanyaan media yang notabene adalah bagian dari sistem demokrasi? Sudah waktunya Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk memberikan pemahaman yang benar tentang ”sistem demokrasi” kepada seluruh jajarannya, terutama para kapolda.
Esensi demokrasi adalah ”pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat” (definisi dari Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln). Dalam sistem demokrasi, daulat ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa, apalagi Polri.
Karena daulat ada di tangan rakyat, rakyat berhak: Pertama, terlibat dalam proses pembuatan setiap kebijakan publik. Kedua, mengawasi implementasi setiap kebijakan publik yang sudah disahkan oleh pemerintah dan legislatif. Ketiga, berpartisipasi aktif dalam proses penetapan siapa-siapa yang pantas duduk di pemerintahan dan/atau lembaga legislatif untuk menjalankan kebijakan publik. Keempat, bersuara keras memberikan penilaian terhadap keputusan/kebijakan yang diambil pemerintahan terkait masalah publik apa pun.
Jika putusan hakim misalnya dicurigai mengandung ”faktor XYZ” sehingga menyimpang dari asas keadilan, publik berhak menuntut supaya hakim itu diselidiki secara transparan. Bila publik curiga atas keputusan SP3 Polda Riau, publik tentu berhak bertanya, berhak mengetahui, dan berhak menilai benar-tidaknya keputusan tersebut.
Maka itu, dalam konteks penerbitan SP3 kepada 11 perusahaan oleh Polda Riau, Brigjen Pol Supriyanto menjawab dengan tidak tepat bahwa ”penyidikan merupakan kewenangan penyidik”. Proses penyidikan itu independen, menjadi kewenangan penyidik. Mestinya, dia menjawab, ”Nanti saya tanyakan pada pihak penyidik apa alasan penerbitan SP3”. Saya sependapat kapolda tidak boleh intervensi atas proses penyidikan. Namun, jawaban kapolda memberikan kesan ia sama sekali tidak mengetahui apa alasan penyidik mengeluarkan SP3.
Jelas sekali, berdasarkan teori demokrasi sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas, sikap kapolda yang bungkam telah menabrak prinsip-prinsip demokrasi. Ingat, yang berdaulat dalam sistem demokrasi adalah rakyat. Dan, rakyat berhak mengetahui apa alasan di balik penerbitan SP3 kepada 11 perusahaan yang semula terindikasi kuat terlibat melakukan pembakaran hutan. Dan, ketika rakyat bertanya, pejabat publik wajib memberikan keterangan kepada publik. Yang tidak boleh dibuka kepada publik hanyalah informasi terkait rahasia negara.
Jika dikatakan 11 perusahaan yang memperoleh SP3 ternyata tidak terbukti sengaja membakar hutan, ya harus dijelaskan lagi. Apa betul demikian? Pelanggaran hukum bukan hanya dilihat dari ada atau tidak ada unsur kesengajaan. Faktor akibat dari perbuatan itu juga harus diperhitungkan matang-matang, apalagi akibat fatal dari perbuatan tersebut. Seperti timbulnya lima korban jiwa dan terjangkitnya penyakit saluran pernafasan ribuan warga akibat kebakaran hutan tahun lalu.
Masalah kebakaran hutan lahan (karhutla) tidak boleh dianggap enteng. Karhutla sungguh mencoreng wajah pemerintah kita, paling tidak, mengindikasikan negara ditaklukkan oleh para pengusaha kayu. Karhutla yang terjadi secara rutin tiap tahun sungguh membuat masyarakat di Malaysia dan Singapura marah.
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengatakan, kebakaran tahun ini lebih baik daripada tahun lalu. Data di lapangan tidak demikian. Di Riau sampai 29 Agustus 2016 sudah terdeteksi 145 titik api di 10 Kabupaten Riau. Asap sudah mulai bergerak ke Malaysia dan Singapura sesuai arah angin. Beberapa kali Bandara Dumai lumpuh. Senin (29/8) pesawat dari Jakarta menuju Dumai gagal mendarat di bandara karena jarak pandang terbatas.
Masalah karhutla yang tiap tahun kembali berulang sesungguhnya berpangkal pada penegakan hukum yang amat lemah di negara kita. Aparat penegak hukum terkesan kuat tidak punya niat yang sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum, menindak siapa saja korporasi maupun individu yang terbukti terlibat dalam kebakaran hutan.
Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menumpahkan amarahnya di hadapan para gubernur terkait masalah pembakaran hutan. Dalam acara pertemuan dengan gubernur seluruh Indonesia, hadir juga Kapolri (waktu itu) Jenderal (Pol) Sutanto. Presiden SBY ketika itu baru saja bertemu Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi.
Rupanya, dalam pertemuan tingkat tinggi itu, Badawi secara halus menyinggung masalah asap yang sangat mengganggu rakyat Malaysia. Setelah itu Presiden SBY pun menyampaikan tegurannya kepada aparat penegak hukum tentang asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan.
Perilaku Polisi idem ditto. Awalnya, penegak hukum terkesan semangat sekali, memeriksa pihak-pihak yang dicurigai membakar hutan. Namun, beberapa bulan kemudian, kasus-kasusnya mengambang, lalu keluarlah SP3.
Pemerintah Jokowi harus menunjukkan sikap dan perilaku yang beda kepada rakyat Indonesia dan dunia internasional: bahwa Presiden Jokowi sungguh-sungguh melaksanakan tekadnya memberantas ”mafia asap”. Siapa pun yang terbukti jadi backing di balik karhutla, akan dibabat. Dan, aparat penegak hukum mana pun yang kedapatan melindungi para pengusaha, juga akan ditindak. Kalau perlu, Presiden langsung perintahkan kapolri untuk mencopotnya.
Pengamat Sosial-Politik
JULI lalu Kepolisian Daerah Riau menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada 11 perusahaan yang semula diindikasikan melakukan pembakaran hutan. Padahal, perusahaan-perusahaan itu telah disidik oleh Polri dengan dakwaan melakukan pembakaran hutan. Publik mengecam keras tindakan Polda Riau atas penerbitan SP3 dan Polri pun dituding tidak serius menangani kasus pembakaran hutan. Publik juga menilai Polri meremehkan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang harus menindak tegas pelaku pembakaran hutan.
Ketika media bertanya kepada pihak polda mengapa instansinya menerbitkan SP3, Kapolda Riau Brigadir Jenderal Supriyanto menjawab ia tidak memiliki kewenangan terhadap penyidikan 11 perusahaan pembakar lahan. ”Penyidikan merupakan kewenangan penyidik. Proses penyidikan itu independen, menjadi kewenangan penyidik. Saya tidak pernah ikut campur sama sekali,” jawab kapolda. Ia mempersilakan wartawan media itu untuk bertanya langsung kepada Direktur Reserse Kriminal (Direskrim) atau bidang Humas Polri.
Betapa menyedihkan mendengar jawaban kapolda Riau itu. Ada apa sesungguhnya di balik sikap kapolda yang menghindari pertanyaan media yang notabene adalah bagian dari sistem demokrasi? Sudah waktunya Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk memberikan pemahaman yang benar tentang ”sistem demokrasi” kepada seluruh jajarannya, terutama para kapolda.
Esensi demokrasi adalah ”pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat” (definisi dari Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln). Dalam sistem demokrasi, daulat ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa, apalagi Polri.
Karena daulat ada di tangan rakyat, rakyat berhak: Pertama, terlibat dalam proses pembuatan setiap kebijakan publik. Kedua, mengawasi implementasi setiap kebijakan publik yang sudah disahkan oleh pemerintah dan legislatif. Ketiga, berpartisipasi aktif dalam proses penetapan siapa-siapa yang pantas duduk di pemerintahan dan/atau lembaga legislatif untuk menjalankan kebijakan publik. Keempat, bersuara keras memberikan penilaian terhadap keputusan/kebijakan yang diambil pemerintahan terkait masalah publik apa pun.
Jika putusan hakim misalnya dicurigai mengandung ”faktor XYZ” sehingga menyimpang dari asas keadilan, publik berhak menuntut supaya hakim itu diselidiki secara transparan. Bila publik curiga atas keputusan SP3 Polda Riau, publik tentu berhak bertanya, berhak mengetahui, dan berhak menilai benar-tidaknya keputusan tersebut.
Maka itu, dalam konteks penerbitan SP3 kepada 11 perusahaan oleh Polda Riau, Brigjen Pol Supriyanto menjawab dengan tidak tepat bahwa ”penyidikan merupakan kewenangan penyidik”. Proses penyidikan itu independen, menjadi kewenangan penyidik. Mestinya, dia menjawab, ”Nanti saya tanyakan pada pihak penyidik apa alasan penerbitan SP3”. Saya sependapat kapolda tidak boleh intervensi atas proses penyidikan. Namun, jawaban kapolda memberikan kesan ia sama sekali tidak mengetahui apa alasan penyidik mengeluarkan SP3.
Jelas sekali, berdasarkan teori demokrasi sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas, sikap kapolda yang bungkam telah menabrak prinsip-prinsip demokrasi. Ingat, yang berdaulat dalam sistem demokrasi adalah rakyat. Dan, rakyat berhak mengetahui apa alasan di balik penerbitan SP3 kepada 11 perusahaan yang semula terindikasi kuat terlibat melakukan pembakaran hutan. Dan, ketika rakyat bertanya, pejabat publik wajib memberikan keterangan kepada publik. Yang tidak boleh dibuka kepada publik hanyalah informasi terkait rahasia negara.
Jika dikatakan 11 perusahaan yang memperoleh SP3 ternyata tidak terbukti sengaja membakar hutan, ya harus dijelaskan lagi. Apa betul demikian? Pelanggaran hukum bukan hanya dilihat dari ada atau tidak ada unsur kesengajaan. Faktor akibat dari perbuatan itu juga harus diperhitungkan matang-matang, apalagi akibat fatal dari perbuatan tersebut. Seperti timbulnya lima korban jiwa dan terjangkitnya penyakit saluran pernafasan ribuan warga akibat kebakaran hutan tahun lalu.
Masalah kebakaran hutan lahan (karhutla) tidak boleh dianggap enteng. Karhutla sungguh mencoreng wajah pemerintah kita, paling tidak, mengindikasikan negara ditaklukkan oleh para pengusaha kayu. Karhutla yang terjadi secara rutin tiap tahun sungguh membuat masyarakat di Malaysia dan Singapura marah.
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengatakan, kebakaran tahun ini lebih baik daripada tahun lalu. Data di lapangan tidak demikian. Di Riau sampai 29 Agustus 2016 sudah terdeteksi 145 titik api di 10 Kabupaten Riau. Asap sudah mulai bergerak ke Malaysia dan Singapura sesuai arah angin. Beberapa kali Bandara Dumai lumpuh. Senin (29/8) pesawat dari Jakarta menuju Dumai gagal mendarat di bandara karena jarak pandang terbatas.
Masalah karhutla yang tiap tahun kembali berulang sesungguhnya berpangkal pada penegakan hukum yang amat lemah di negara kita. Aparat penegak hukum terkesan kuat tidak punya niat yang sungguh-sungguh untuk menegakkan hukum, menindak siapa saja korporasi maupun individu yang terbukti terlibat dalam kebakaran hutan.
Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menumpahkan amarahnya di hadapan para gubernur terkait masalah pembakaran hutan. Dalam acara pertemuan dengan gubernur seluruh Indonesia, hadir juga Kapolri (waktu itu) Jenderal (Pol) Sutanto. Presiden SBY ketika itu baru saja bertemu Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi.
Rupanya, dalam pertemuan tingkat tinggi itu, Badawi secara halus menyinggung masalah asap yang sangat mengganggu rakyat Malaysia. Setelah itu Presiden SBY pun menyampaikan tegurannya kepada aparat penegak hukum tentang asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan.
Perilaku Polisi idem ditto. Awalnya, penegak hukum terkesan semangat sekali, memeriksa pihak-pihak yang dicurigai membakar hutan. Namun, beberapa bulan kemudian, kasus-kasusnya mengambang, lalu keluarlah SP3.
Pemerintah Jokowi harus menunjukkan sikap dan perilaku yang beda kepada rakyat Indonesia dan dunia internasional: bahwa Presiden Jokowi sungguh-sungguh melaksanakan tekadnya memberantas ”mafia asap”. Siapa pun yang terbukti jadi backing di balik karhutla, akan dibabat. Dan, aparat penegak hukum mana pun yang kedapatan melindungi para pengusaha, juga akan ditindak. Kalau perlu, Presiden langsung perintahkan kapolri untuk mencopotnya.
(poe)