Prostitusi Anak dan Kampanye LGBT
A
A
A
PROSTITUSI anak kembali terungkap. Kasus terakhir terbilang sangat mencengangkan, sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak, kasus yang dibongkar Bareskrim Mabes Polri melibatkan 99 anak di bawah umur. Mereka dijual sang mucikari berinisial AR untuk melayani nafsu kelompok gay.
Kemarin polisi kembali mengungkap jaringan prostitusi anak untuk kelompok gay. Jaringan mucikari U yang ditangkap di Pasar Ciawi melibatkan empat anak. Hingga kemarin, polisi masih menelusuri kemungkinan adanya jaringan lain, korban lain, dan juga siapa saja konsumen yang mengeksploitasi anak di bawah umur untuk memuaskan hasrat seksual menyimpangnya.
Terbongkarnya kasus prostitusi anak untuk kaum gay secara konkret mengindikasikan serangan kelompok LGBT untuk menyebarkan virus penyimpangannya semakin intensif. Mereka paham betul bahwa langkah strategis untuk melebarkan pengaruh dan menumbuhkembangkan perilaku yang sama adalah dengan menjerat anak di bawah umur.
Hal ini bukanlah isapan jempol. Pasalnya, menjadi LGBT bukan hanya karena faktor ”gen gay” atau ”born gay ” seperti selama ini mereka dengungkan, melainkan juga karena penularan seperti halnya penyakit anjing gila atau HIV/AIDS. Seperti hasil penelitian Paul Cameron di Family Research Institute, perilaku homoseksual terjadi karena semasa kecil pernah disodomi, pendidikan pro-homoseksual, dan penggambaran perilaku homoseksual sebagai perilaku normal.
Berangkat dari teori Cameron, penularan perilaku homoseksual bukan hanya melalui pengalaman pernah disodomi, seperti kasus prostitusi anak di kawasan Puncak, Bogor tersebut, melainkan juga dengan jalan memengaruhi pola pikir, dalam hal ini lewat pendidikan dan penggambaran homoseksual sebagai perilaku normal. Penyebaran lewat cara ini jauh lebih berbahaya karena menyasar kultur dan bisa berdampak masif.
Penyebaran lewat cara itulah yang kini tengah digarap kelompok liberal dan didukung kelompok kapitalisme internasional seperti Nike, juga lembaga internasional seperti UNDP. Mereka melakukan kampanye LGBT, terutama di negara-negara yang resisten terhadap kehadiran mereka, seperti Indonesia. UNDP, misalnya, tak segan mengucurkan dana USD8 juta, seperti tercantum dalam laporan Being LGBT in Asia (BLIA) fase 2 yang digelar dari Desember 2014 hingga September 2017.
Seperti halnya teori proxy war yang dikenal dalam dunia kemiliteran, mereka memanfaatkan simpul-simpul strategis di dalam negeri seperti LSM dan media untuk membantu kampanye. Di simpul media, misalnya, sebuah organisasi jurnalis telah menggelar pelatihan terhadap 20 editor dari lima kota besar di Tanah Air untuk mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap kalangan LGBT, seperti tercantum dalam laporan bertajuk ”Transforming Media Engagement into Results” yang dirilis BLIA.
Berdasarkan fakta tersebut, pemberian penghargaan kepada Forum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, dan Queer (LGBTQ) bisa dipahami bagian dari kesatuan gerak untuk mengampanyekan LGBT, dengan tujuan akhir menjadikan LGBT dan perilakunya sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur dan kultur bangsa ini. Dengan demikian, perilaku homoseksual adalah perilaku normal.
Kehadiran Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin pada puncak acara pemberian penghargaan untuk Forum LGBTQ sangat disayangkan. Menag boleh berkilah tidak tahu atau dijebak, tapi ada kesan sikapnya masih abu-abu. Ketidaktegasan sikap inilah yang dimanfaatkan kekuatan pro LGBT yang terus bergerak sistematis dan menggunakan berbagai macam cara demi mengampanyekan LGBT.
Bagi bangsa ini, termasuk Menag Lukman Hakim, menghadapi gerakan LGBT tidak perlu ragu-ragu. Hal ini bukan hanya karena LGBT dilaknat agama-agama, melainkan jelas bertentangan dengan Pancasila yang merupakan fondasi berdirinya bangsa ini, terutama sila 1 dan 2. Selain melanggar prinsip ketuhanan, LGBT juga membahayakan keberadaban manusia karena mengancam keberlangsungan umat manusia.
Kemarin polisi kembali mengungkap jaringan prostitusi anak untuk kelompok gay. Jaringan mucikari U yang ditangkap di Pasar Ciawi melibatkan empat anak. Hingga kemarin, polisi masih menelusuri kemungkinan adanya jaringan lain, korban lain, dan juga siapa saja konsumen yang mengeksploitasi anak di bawah umur untuk memuaskan hasrat seksual menyimpangnya.
Terbongkarnya kasus prostitusi anak untuk kaum gay secara konkret mengindikasikan serangan kelompok LGBT untuk menyebarkan virus penyimpangannya semakin intensif. Mereka paham betul bahwa langkah strategis untuk melebarkan pengaruh dan menumbuhkembangkan perilaku yang sama adalah dengan menjerat anak di bawah umur.
Hal ini bukanlah isapan jempol. Pasalnya, menjadi LGBT bukan hanya karena faktor ”gen gay” atau ”born gay ” seperti selama ini mereka dengungkan, melainkan juga karena penularan seperti halnya penyakit anjing gila atau HIV/AIDS. Seperti hasil penelitian Paul Cameron di Family Research Institute, perilaku homoseksual terjadi karena semasa kecil pernah disodomi, pendidikan pro-homoseksual, dan penggambaran perilaku homoseksual sebagai perilaku normal.
Berangkat dari teori Cameron, penularan perilaku homoseksual bukan hanya melalui pengalaman pernah disodomi, seperti kasus prostitusi anak di kawasan Puncak, Bogor tersebut, melainkan juga dengan jalan memengaruhi pola pikir, dalam hal ini lewat pendidikan dan penggambaran homoseksual sebagai perilaku normal. Penyebaran lewat cara ini jauh lebih berbahaya karena menyasar kultur dan bisa berdampak masif.
Penyebaran lewat cara itulah yang kini tengah digarap kelompok liberal dan didukung kelompok kapitalisme internasional seperti Nike, juga lembaga internasional seperti UNDP. Mereka melakukan kampanye LGBT, terutama di negara-negara yang resisten terhadap kehadiran mereka, seperti Indonesia. UNDP, misalnya, tak segan mengucurkan dana USD8 juta, seperti tercantum dalam laporan Being LGBT in Asia (BLIA) fase 2 yang digelar dari Desember 2014 hingga September 2017.
Seperti halnya teori proxy war yang dikenal dalam dunia kemiliteran, mereka memanfaatkan simpul-simpul strategis di dalam negeri seperti LSM dan media untuk membantu kampanye. Di simpul media, misalnya, sebuah organisasi jurnalis telah menggelar pelatihan terhadap 20 editor dari lima kota besar di Tanah Air untuk mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap kalangan LGBT, seperti tercantum dalam laporan bertajuk ”Transforming Media Engagement into Results” yang dirilis BLIA.
Berdasarkan fakta tersebut, pemberian penghargaan kepada Forum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, dan Queer (LGBTQ) bisa dipahami bagian dari kesatuan gerak untuk mengampanyekan LGBT, dengan tujuan akhir menjadikan LGBT dan perilakunya sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur dan kultur bangsa ini. Dengan demikian, perilaku homoseksual adalah perilaku normal.
Kehadiran Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin pada puncak acara pemberian penghargaan untuk Forum LGBTQ sangat disayangkan. Menag boleh berkilah tidak tahu atau dijebak, tapi ada kesan sikapnya masih abu-abu. Ketidaktegasan sikap inilah yang dimanfaatkan kekuatan pro LGBT yang terus bergerak sistematis dan menggunakan berbagai macam cara demi mengampanyekan LGBT.
Bagi bangsa ini, termasuk Menag Lukman Hakim, menghadapi gerakan LGBT tidak perlu ragu-ragu. Hal ini bukan hanya karena LGBT dilaknat agama-agama, melainkan jelas bertentangan dengan Pancasila yang merupakan fondasi berdirinya bangsa ini, terutama sila 1 dan 2. Selain melanggar prinsip ketuhanan, LGBT juga membahayakan keberadaban manusia karena mengancam keberlangsungan umat manusia.
(kri)