Emiten Rokok Terbakar
A
A
A
ISU kenaikan harga rokok telah membakar harga saham tiga emiten rokok. Perdagangan saham tiga emiten yakni PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) berada dalam zona merah sepanjang perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin 22 Agustus 2016.
Mengawali perdagangan, saham HMSP dibuka pada harga Rp4.040 per saham dan ditutup pada level Rp4.020 per saham, yang lebih parah saham GGRM tergerus sebesar Rp875 per saham dari harga pembukaan Rp68.025 per saham menjadi Rp67.150 per saham saat penutupan perdagangan.
Sedangkan saham WIIM sedikit beruntung dibuka pada harga Rp400 per saham dan berakhir pada level Rp402, namun sepanjang perdagangan saham tersebut tertekan yang sempat menyentuh harga terendah sebesar Rp394 per saham. Adapun perdagangan saham PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA) berada dalam posisi stagnan dengan harga pembukaan dan penutupan sebesar Rp460 per saham.
Isu kenaikan harga rokok juga menjadi perdebatan yang membara di tengah masyarakat. Apakah benar pemerintah serius akan menaikkan harga rokok dalam waktu dekat?
Menyadari kabar kenaikan harga rokok yang telah menjadi isu liar di tengah publik terutama di kalangan investor pasar saham, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mencoba menjinakkan melalui pernyataan resmi bahwa belum ada aturan baru seputar harga jual eceran rokok atau tarif cukai baru. Meski demikian, mantan direktur Bank Dunia itu memberi sinyal akan ada kebijakan harga jual eceran ataupun cukai rokok.
Kebijakan tersebut mengacu pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 yang kini dalam tahap konsultasi dengan sejumlah pihak. Menkeu berharap kebijakan itu sudah diputuskan sebelum pembahasan RAPBN 2017 dimulai.
Merebaknya isu kenaikan harga rokok mencapai harga tiga kali lipat dari harga normal sekarang berawal dari hasil survei Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) tentang sensitivitas kenaikan harga rokok terhadap konsumsi rokok.
Yang menarik sebagaimana diungkapkan Kepala PKEKK Hasbullah Thabrany, usulan kenaikan harga rokok justru banyak diamini oleh para perokok sendiri. Dari 1.000 responden yang disurvei lewat telepon untuk periode Desember 2015 hingga Januari 2016 sebanyak 76% perokok setuju harga dan cukai rokok dinaikkan guna menambah dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Berdasarkan data yang dipublikasi PKEKK ternyata harga rokok di negeri ini termasuk paling murah di antara sejumlah negara tetangga yang mencapai tiga hingga empat kali lipat. Dampak dari harga rokok yang murah itu, anak usia sekolah pun mampu membeli rokok. Akibat itu, anak negeri ini akan tumbuh menjadi generasi yang sakit-sakitan pada usia produktif karena rokok bersifat adiktif.
Berdasarkan hasil survei tersebut, seharusnya harga rokok dinaikkan sehingga dapat mencegah anak usia sekolah dan masyarakat kurang mampu untuk membeli rokok. Bagi Hasbullah, harga rokok yang mahal adalah cara paling efektif menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
Rupanya, hasil survei PKEKK telah menggegerkan para pengguna media sosial (medsos). Dalam sekejap informasi tersebut telah melebar dan keluar dari substansi hasil survei tentang perlunya harga rokok dinaikkan.
Melalui medsos terutama pengguna WhatsApp telah beredar kenaikan harga sejumlah rokok. Misalnya, harga rokok Dji Sam Soe sebesar Rp44.800 per bungkus, Sampoerna Mild dibanderol Rp53.500 per bungkus, Gudang Garam Surya seharga Rp42.400 per bungkus. Informasi berantai di medsos itulah yang kemudian membakar saham emiten rokok dan memanaskan suasana di masyarakat, terutama di kalangan perokok.
Terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga ecer dan cukai rokok sebelum pembahasan RAPBN 2017, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh karena tidak hanya berdampak pada industri rokok, tetapi juga sejumlah sektor terkait lain, termasuk para petani tembakau.
Dalam RAPBN 2017 pemerintah mematok pendapatan cukai sebesar Rp157,16 triliun atau naik 6,12% dari target APBNP 2016 sebesar Rp148,09 triliun. Tahun lalu kontribusi rokok pada pendapatan cukai sebesar Rp139,5 triliun dari total pendapatan cukai sebesar Rp144,6 triliun atau sekitar 96%.
Mengawali perdagangan, saham HMSP dibuka pada harga Rp4.040 per saham dan ditutup pada level Rp4.020 per saham, yang lebih parah saham GGRM tergerus sebesar Rp875 per saham dari harga pembukaan Rp68.025 per saham menjadi Rp67.150 per saham saat penutupan perdagangan.
Sedangkan saham WIIM sedikit beruntung dibuka pada harga Rp400 per saham dan berakhir pada level Rp402, namun sepanjang perdagangan saham tersebut tertekan yang sempat menyentuh harga terendah sebesar Rp394 per saham. Adapun perdagangan saham PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA) berada dalam posisi stagnan dengan harga pembukaan dan penutupan sebesar Rp460 per saham.
Isu kenaikan harga rokok juga menjadi perdebatan yang membara di tengah masyarakat. Apakah benar pemerintah serius akan menaikkan harga rokok dalam waktu dekat?
Menyadari kabar kenaikan harga rokok yang telah menjadi isu liar di tengah publik terutama di kalangan investor pasar saham, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mencoba menjinakkan melalui pernyataan resmi bahwa belum ada aturan baru seputar harga jual eceran rokok atau tarif cukai baru. Meski demikian, mantan direktur Bank Dunia itu memberi sinyal akan ada kebijakan harga jual eceran ataupun cukai rokok.
Kebijakan tersebut mengacu pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 yang kini dalam tahap konsultasi dengan sejumlah pihak. Menkeu berharap kebijakan itu sudah diputuskan sebelum pembahasan RAPBN 2017 dimulai.
Merebaknya isu kenaikan harga rokok mencapai harga tiga kali lipat dari harga normal sekarang berawal dari hasil survei Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) tentang sensitivitas kenaikan harga rokok terhadap konsumsi rokok.
Yang menarik sebagaimana diungkapkan Kepala PKEKK Hasbullah Thabrany, usulan kenaikan harga rokok justru banyak diamini oleh para perokok sendiri. Dari 1.000 responden yang disurvei lewat telepon untuk periode Desember 2015 hingga Januari 2016 sebanyak 76% perokok setuju harga dan cukai rokok dinaikkan guna menambah dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Berdasarkan data yang dipublikasi PKEKK ternyata harga rokok di negeri ini termasuk paling murah di antara sejumlah negara tetangga yang mencapai tiga hingga empat kali lipat. Dampak dari harga rokok yang murah itu, anak usia sekolah pun mampu membeli rokok. Akibat itu, anak negeri ini akan tumbuh menjadi generasi yang sakit-sakitan pada usia produktif karena rokok bersifat adiktif.
Berdasarkan hasil survei tersebut, seharusnya harga rokok dinaikkan sehingga dapat mencegah anak usia sekolah dan masyarakat kurang mampu untuk membeli rokok. Bagi Hasbullah, harga rokok yang mahal adalah cara paling efektif menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
Rupanya, hasil survei PKEKK telah menggegerkan para pengguna media sosial (medsos). Dalam sekejap informasi tersebut telah melebar dan keluar dari substansi hasil survei tentang perlunya harga rokok dinaikkan.
Melalui medsos terutama pengguna WhatsApp telah beredar kenaikan harga sejumlah rokok. Misalnya, harga rokok Dji Sam Soe sebesar Rp44.800 per bungkus, Sampoerna Mild dibanderol Rp53.500 per bungkus, Gudang Garam Surya seharga Rp42.400 per bungkus. Informasi berantai di medsos itulah yang kemudian membakar saham emiten rokok dan memanaskan suasana di masyarakat, terutama di kalangan perokok.
Terkait dengan rencana pemerintah menaikkan harga ecer dan cukai rokok sebelum pembahasan RAPBN 2017, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh karena tidak hanya berdampak pada industri rokok, tetapi juga sejumlah sektor terkait lain, termasuk para petani tembakau.
Dalam RAPBN 2017 pemerintah mematok pendapatan cukai sebesar Rp157,16 triliun atau naik 6,12% dari target APBNP 2016 sebesar Rp148,09 triliun. Tahun lalu kontribusi rokok pada pendapatan cukai sebesar Rp139,5 triliun dari total pendapatan cukai sebesar Rp144,6 triliun atau sekitar 96%.
(poe)