Mempercepat Revisi UU Pemilu
A
A
A
PEMERINTAH dan DPR dalam waktu dekat akan melakukan revisi terhadap UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden. Revisi tersebut sebagai bagian dari dinamika politik yang terus berkembang sejalan dengan penguatan demokrasi. Selain itu, revisi juga dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi( MK) yang memutuskan adanya penyelenggaraan serentak untuk legislatif dan presiden.
Sayangnya seperti revisi UU terkait pemilu yang sudah-sudah ada indikasi revisi ini akan berlarut-larut. Masalahnya sudah bisa diduga karena tarik-menarik antarpartai politik untuk memperbesar peluang keunggulannya di Pemilu 2019, selain beberapa parpol ingin mengamankan agar tidak menyusut suaranya.
Ada sejumlah poin yang diusulkan pemerintah dalam revisi UU Pemilu dalam waktu dekat ini. Berikut adalah poin-poin penting yang menjadi pembahasan utama.
Pertama, sistem pemilu proporsional terbuka/tertutup. Ada kecenderungan partai-partai menginginkan proporsional tertutup. Itu tecermin dari sikap PDIP, PKS, PKB hasil munas/kongres. Tapi di sisi lain, juga partai-partai menginginkan proporsional terbuka seperti pada Pemilu 2014 lalu, di antaranya PAN, Golkar, PPP, Hanura, Gerindra. Proporsional tertutup adalah pencapaian besar yang sudah kita lakukan dengan cukup baik. Akan rugi jika kita kembali ke sistem proporsional tertutup. Memang, ada beberapa kelemahan sistem ini, namun tetap lebih banyak manfaatnya.
Isu kedua, syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik peserta pemilu. Usulan pertama; semua parpol peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Usulan kedua; yang berhak mengajukan calon adalah parpol yang memenuhi presidential threshold (PT) berdasarkan hasil Pemilu 2014. Dengan pemilu yang serentak antara pileg dan pilpres maka sudah sebaiknya semua parpol bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Jika tidak, nanti kita akan terjebak pada oligarki parpol yang selama ini cenderung tidak sehat.
Isu ketiga, persyaratan partai politik peserta pemilu. Alternatif pertama disesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 UU No 8/2012, artinya seperti hari ini yang sudah jalan. Kepengurusan 100% di provinsi, memiliki kepengurusan 75% di kabupaten/kota, dan kepengurusan di kecamatan 50%, serta menyertakan sekurang-kurangnya keterwakilan perempuan 30%. Alternatif kedua, pengaturan syarat kepengurusan parpol dinaikkan atau ditingkatkan. Dengan demokrasi Indonesia yang makin matang sekalipun masih ada kekurangan di sana-sini, maka konsep yang lama yang ada di UU No 8/2012 sudah cukup baik mengakomodasi pematangan sistem kepartaian kita.
Isu keempat, metode konversi suara ke perolehan kursi legislatif. Ada tiga opsi metode yakni metode Hare (metode yang digunakan pada Pemilu 2014); metode Sainte Lague atau murni (dengan menggunakan bilangan pembagi 1, 3, 5, 7 dan seterusnya); dan metode Sainte Lague atau modifikasi (menggunakan bilangan pembagi 1.4, 3, 5, 7 dan seterusnya). Selain itu, ada penataan daerah pemilihan dan alokasi kursi, pada revisi nanti dilakukan sebagai implikasi lahirnya daerah otonom baru.
Isu kelima, tentang pendanaan partai. Ada kecenderungan pemerintah akan meningkatkan pendanaan parpol. Banyak polemik terkait pendanaan partai dan dampaknya bagi demokrasi dan penguatan partai. Kita sebaiknya tidak alergi dengan konsep pendanaan parpol oleh pemerintah. Ini adalah jalan masuk yang elegan untuk keterbukaan parpol. Pendanaan parpol oleh pemerintah bias mendorong parpol untuk terbuka sistem keuangannya. Memang, tidak akan serta-merta parpol langsung bersih dari masalah. Namun kita harus ingat, bahwa membereskan masalah besar bukanlah pekerjaan semalam. Kita harus melakukannya langkah demi langkah.
Selain semua masalah-masalah perdebatan yang mengemuka, yang terpenting adalah keputusan revisi ini cepat sampai kata sepakat. Jangan sampai menunggu last minute yang menyusahkan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara serta parpol sebagai peserta.
Sayangnya seperti revisi UU terkait pemilu yang sudah-sudah ada indikasi revisi ini akan berlarut-larut. Masalahnya sudah bisa diduga karena tarik-menarik antarpartai politik untuk memperbesar peluang keunggulannya di Pemilu 2019, selain beberapa parpol ingin mengamankan agar tidak menyusut suaranya.
Ada sejumlah poin yang diusulkan pemerintah dalam revisi UU Pemilu dalam waktu dekat ini. Berikut adalah poin-poin penting yang menjadi pembahasan utama.
Pertama, sistem pemilu proporsional terbuka/tertutup. Ada kecenderungan partai-partai menginginkan proporsional tertutup. Itu tecermin dari sikap PDIP, PKS, PKB hasil munas/kongres. Tapi di sisi lain, juga partai-partai menginginkan proporsional terbuka seperti pada Pemilu 2014 lalu, di antaranya PAN, Golkar, PPP, Hanura, Gerindra. Proporsional tertutup adalah pencapaian besar yang sudah kita lakukan dengan cukup baik. Akan rugi jika kita kembali ke sistem proporsional tertutup. Memang, ada beberapa kelemahan sistem ini, namun tetap lebih banyak manfaatnya.
Isu kedua, syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik peserta pemilu. Usulan pertama; semua parpol peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Usulan kedua; yang berhak mengajukan calon adalah parpol yang memenuhi presidential threshold (PT) berdasarkan hasil Pemilu 2014. Dengan pemilu yang serentak antara pileg dan pilpres maka sudah sebaiknya semua parpol bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Jika tidak, nanti kita akan terjebak pada oligarki parpol yang selama ini cenderung tidak sehat.
Isu ketiga, persyaratan partai politik peserta pemilu. Alternatif pertama disesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 UU No 8/2012, artinya seperti hari ini yang sudah jalan. Kepengurusan 100% di provinsi, memiliki kepengurusan 75% di kabupaten/kota, dan kepengurusan di kecamatan 50%, serta menyertakan sekurang-kurangnya keterwakilan perempuan 30%. Alternatif kedua, pengaturan syarat kepengurusan parpol dinaikkan atau ditingkatkan. Dengan demokrasi Indonesia yang makin matang sekalipun masih ada kekurangan di sana-sini, maka konsep yang lama yang ada di UU No 8/2012 sudah cukup baik mengakomodasi pematangan sistem kepartaian kita.
Isu keempat, metode konversi suara ke perolehan kursi legislatif. Ada tiga opsi metode yakni metode Hare (metode yang digunakan pada Pemilu 2014); metode Sainte Lague atau murni (dengan menggunakan bilangan pembagi 1, 3, 5, 7 dan seterusnya); dan metode Sainte Lague atau modifikasi (menggunakan bilangan pembagi 1.4, 3, 5, 7 dan seterusnya). Selain itu, ada penataan daerah pemilihan dan alokasi kursi, pada revisi nanti dilakukan sebagai implikasi lahirnya daerah otonom baru.
Isu kelima, tentang pendanaan partai. Ada kecenderungan pemerintah akan meningkatkan pendanaan parpol. Banyak polemik terkait pendanaan partai dan dampaknya bagi demokrasi dan penguatan partai. Kita sebaiknya tidak alergi dengan konsep pendanaan parpol oleh pemerintah. Ini adalah jalan masuk yang elegan untuk keterbukaan parpol. Pendanaan parpol oleh pemerintah bias mendorong parpol untuk terbuka sistem keuangannya. Memang, tidak akan serta-merta parpol langsung bersih dari masalah. Namun kita harus ingat, bahwa membereskan masalah besar bukanlah pekerjaan semalam. Kita harus melakukannya langkah demi langkah.
Selain semua masalah-masalah perdebatan yang mengemuka, yang terpenting adalah keputusan revisi ini cepat sampai kata sepakat. Jangan sampai menunggu last minute yang menyusahkan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara serta parpol sebagai peserta.
(poe)