Hukuman Mati Koruptor Tidak Selesaikan Masalah
A
A
A
JAKARTA - Upaya melakukan tuntutan hukuman pidana mati bagi koruptor yang digawangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau akan dijatuhi hakim di pengadilan dinilai tak akan menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi di Indonesia.
"Hukuman mati tidak selalu mnyelesaikan masalah. Jangan juga bentuk hukuman mati ini berubah menjadi retorika politik," ujar pakar hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin saat berbicang dengan Koran Sindo, kemarin.
Menurut Muslimin, apa yang disampaikan KPK lewat komisioner Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan tentang penerapan tuntutan hukuman pidana mati bagi koruptor menyikapi obral remisi bagi narapaidana koruptor juga tak relevan.
Muslimin berpandangan, gejala yang ada di Indonesia saat semua hal yang serius seolah dikaitkan dengan bentuk pemidanaan hukuman mati.
"Kemudian, seolah tuntas dengan hukuman demikian. Yang penting, kultur penegakan hukum dirubah orientasinya. Dari yang selalu bersifat prosedural menjadi yang substantif. Problem kultural ini laten dan akut. Tetapi tidak sederhana," tegasnya.
Mantan Dekan Fakulas Syariah dan Hukum (FSH) ini menuturkan, Korea Selatan saja maju karena ada kultur hukum yang matang. Di negeri ginseng itu, lanjut Muslimin, mantan presiden Korsel Roh Moo-Hyun yang terindikasi korupsi langsung secara sukarela menghukum dirinya sendiri dengan kearifan lokal.
"Isolasi diri bahkan bunuh diri. Karena dorongan perasaan bersalah dan penodaan norma publik," imbuh Muslimin.
Dia menuturkan, harus diakui kultur hukum Korsel dan langkah yang diambil Roh Moo-Hyun masih sulit pada masyarakat kita. Karenanya, menurut Muslimin, sensitivitas norma publik di Indonesia harus ditingkatkan. Perilaku mentolerir budaya korupsi dieliminasi. Jangan lagi memberikan kelonggaran kepada korupsi.
"Bentuk hukuman mati, alternatif terakhir. Jangan menjadi isu lipservice atau komoditi politik," tandasnya.
‎Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso menyatakan, penerapan hukuman pidana mati bagi pelaku tindak pidana termasuk korupsi mestinya berbeda atau tidak ada kaitannya dengan pengetatan remisi.
Karenanya Topo tidak sepakat dengan pernyataan KPK yang disampaikan Basaria Panjaitan. "Menegakkan hukum, tidak bisa karena dendam. Menurut saya hukuman seumur hidup sudah lebih dari cukup," ujar Topo kepada Koran Sindo, kemarin
Guru besar hukum pidana UI ini menuturkan, remisi bagi para narapidana (napi) sebenarnya adalah urusan pemerintah. Topo berpandangan, pada peringatan HUT RI ke-71 ini yang mendapat remisi bukan hanya napi kasus korupsi.
Karenanya, sepanjang aturan ditaati maka sah saja remisi diberikan pemerintah kepada napi. "Kan remisi wewenang pemerintah, (untuk antisipasi tidak ada penolakan remisi dari penegak hukum termasuk KPK) harusnya sinergi pemerintah dengan KPK dan aparat penegak hukum lain," tegas Topo.
"Hukuman mati tidak selalu mnyelesaikan masalah. Jangan juga bentuk hukuman mati ini berubah menjadi retorika politik," ujar pakar hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin saat berbicang dengan Koran Sindo, kemarin.
Menurut Muslimin, apa yang disampaikan KPK lewat komisioner Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan tentang penerapan tuntutan hukuman pidana mati bagi koruptor menyikapi obral remisi bagi narapaidana koruptor juga tak relevan.
Muslimin berpandangan, gejala yang ada di Indonesia saat semua hal yang serius seolah dikaitkan dengan bentuk pemidanaan hukuman mati.
"Kemudian, seolah tuntas dengan hukuman demikian. Yang penting, kultur penegakan hukum dirubah orientasinya. Dari yang selalu bersifat prosedural menjadi yang substantif. Problem kultural ini laten dan akut. Tetapi tidak sederhana," tegasnya.
Mantan Dekan Fakulas Syariah dan Hukum (FSH) ini menuturkan, Korea Selatan saja maju karena ada kultur hukum yang matang. Di negeri ginseng itu, lanjut Muslimin, mantan presiden Korsel Roh Moo-Hyun yang terindikasi korupsi langsung secara sukarela menghukum dirinya sendiri dengan kearifan lokal.
"Isolasi diri bahkan bunuh diri. Karena dorongan perasaan bersalah dan penodaan norma publik," imbuh Muslimin.
Dia menuturkan, harus diakui kultur hukum Korsel dan langkah yang diambil Roh Moo-Hyun masih sulit pada masyarakat kita. Karenanya, menurut Muslimin, sensitivitas norma publik di Indonesia harus ditingkatkan. Perilaku mentolerir budaya korupsi dieliminasi. Jangan lagi memberikan kelonggaran kepada korupsi.
"Bentuk hukuman mati, alternatif terakhir. Jangan menjadi isu lipservice atau komoditi politik," tandasnya.
‎Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Topo Santoso menyatakan, penerapan hukuman pidana mati bagi pelaku tindak pidana termasuk korupsi mestinya berbeda atau tidak ada kaitannya dengan pengetatan remisi.
Karenanya Topo tidak sepakat dengan pernyataan KPK yang disampaikan Basaria Panjaitan. "Menegakkan hukum, tidak bisa karena dendam. Menurut saya hukuman seumur hidup sudah lebih dari cukup," ujar Topo kepada Koran Sindo, kemarin
Guru besar hukum pidana UI ini menuturkan, remisi bagi para narapidana (napi) sebenarnya adalah urusan pemerintah. Topo berpandangan, pada peringatan HUT RI ke-71 ini yang mendapat remisi bukan hanya napi kasus korupsi.
Karenanya, sepanjang aturan ditaati maka sah saja remisi diberikan pemerintah kepada napi. "Kan remisi wewenang pemerintah, (untuk antisipasi tidak ada penolakan remisi dari penegak hukum termasuk KPK) harusnya sinergi pemerintah dengan KPK dan aparat penegak hukum lain," tegas Topo.
(maf)