Reshuffle dalam Bayang-Bayang Oligarki
A
A
A
DR Firman Noor MA (Hons)
Peneliti Utama LIPI dan
Dosen Ilmu Politik FISIP UI
DALAM setiap reshuffle kabinet yang terjadi sesungguhnya akan selalu melibatkan tiga hal pokok sebagai alasannya. Pertama, demi perbaikan performa kabinet. Pergantian atau reposisi seorang menteri dianggap sebagai langkah paling baik untuk dapat meningkatkan kinerja kabinet. Diasumsikan bahwa menteri-menteri baru akan melakukan akselerasi dan penyesuaian sebagaimana yang diinginkan oleh seorang presiden dan diharapkan oleh orang banyak.
Kedua, terkait upaya memantapkan soliditas kabinet. Dalam soal ini reshuffle adalah bagian dari upaya presiden untuk lebih dapat mengontrol dan memastikan kekompakan langkah seluruh jajarannya. Reshuffle dengan demikian terkait membangun kepastian bahwa presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat membawa biduk pemerintahannya secara gesit atas dasar prioritas dan agenda kepentingannya.
Dengan kata lain, reshuffle adalah upaya mereduksi atau mengeliminasi intervensi kepentingan (vested interest) dari berbagai pihak. Ketiga, terkait masalah power sharing. Reshuffle adalah juga alat politik untuk mendistribusikan kekuasaan guna memperkuat posisi tawar, memelihara basis dukungan, dan membangun investasi politik jangka panjang.
Pada kepentingan ketiga inilah kesepakatan politik antara presiden dan partai-partai politik (secara kelembagaan) menjadi tak terelakkan. Kesepakatan ini di satu sisi berpotensi membantu presiden dalam melakukan akselerasi pembenahan dan menjaga stabilitas internal, namun di sisi lain justru dapat melemahkannya, mengingat politik akomodasi ini lebih mementingkan kepentingan politik-pragmatis ketimbang kapabilitas.
Tiga alasan inilah yang sesungguhnya dapat menjadi parameter atau petunjuk pada titik mana sesungguhnya komitmen atau tujuan dari reshuffle kabinet itu dilakukan. Komposisi jajaran kabinet baru yang terbentuk dapat mengindikasikan seberapa besar kesungguhan Presiden melakukan perbaikan performa kabinetnya, seberapa besar dia mampu memastikan kepemimpinannya, dan seberapa besar terakomodasinya kepentingan politik partai-partai pendukungnya.
Bayang-Bayang Pragmatisme
Kalau diurutkan pada skala prioritas, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjukkan gesture keseriusan dalam upaya melakukan perbaikan performa dan mengakomodasi kepentingan para pendukungnya. Atau, pada upaya perbaikan kualitas kinerja kabinet dan pada persoalan power sharing.
Dalam soal yang pertama penunjukan Sri Mulyani menjadi indikator paling signifikan dari upaya perbaikan itu. Presiden tampak makin menyadari bahwa kondisi Indonesia, terutama dalam soal ekonomi, sudah pada level yang mengkhawatirkan. Untuk itu, dia memerlukan sosok yang amat mumpuni untuk membantunya memimpin Indonesia keluar dari situasi itu. Dalam soal ini pula, presiden mencopot menteri-menteri yang memang selama ini dianggap lemah performanya.
Sementara pada power sharing atau akomodasi politik, hal ini dapat terbaca dengan memberikan semua partai pendukung, termasuk yang belakangan menyatakan takluk kepada beliau meski sebelumnya menjadi rival dalam pilpres, posisi dalam jajaran kabinet kali ini. Tampak presiden sadar betul akan pentingnya membangun investasi politik dukungan saat ini maupun pada masa-masa yang akan datang. Dalam soal ini, presiden harus cerdik dalam mengakomodasi kalangan yang baru masuk tanpa harus menyebabkan berantakannya loyalitas para pendukung lamanya.
Dalam kepentingan inilah Jokowi mempertimbangkan baik-baik proporsi jumlah kursi menteri yang didapatkan para pendukungnya. Komitmen untuk lebih mengakomodasi kalangan profesional nonpartai menyebabkan jumlah kursi bagi partai tidak banyak. Namun, dari komposisi kabinet yang kemudian terbentuk tampak semua dapat bagian yang memuaskan.
Tidak ada protes dari kalangan new comers atau pendukung lawas mencerminkan sempurnanya kesepakatan politik para elite itu. Bahkan bagi Hanura sekalipun, sebagai satu-satunya partai yang berkurang jumlah menterinya. Masuknya Wiranto dalam kabinet sebagai Menko Polhukam adalah kompensasi yang ”adil” bagi partai dengan jumlah kursi terkecil di parlemen ini. Namun, pragmatisme terlihat mengingat janji presiden untuk tidak memasukan ketua umum partai dalam jajaran kabinetnya.
Di sisi lain, reshuffle kali ini belum mampu membuktikan keberhasilan atau komitmen presiden untuk dapat membebaskan diri sepenuhnya dari bayang-bayang ”orang kuat” atau patron di sekitarnya. Indikasinya adalah publik dibuat terkejut dan kecewa dengan masih bertahannya beberapa menteri dengan performa medioker, bahkan jeblok dalam kabinet. Beberapa di antaranya malah tidak mengalami pergeseran.
Sementara menteri yang memberikan suntikan semangat baru, namun tidak cukup impresif di mata ”orang kuat” terpental. Memang Jokowi mampu mempertahankan beberapa orangnya, namun masih bercokolnya menteri-menteri favorit para ”orang kuat” yang sebagiannya untouchables menunjukkan presiden belum mampu memosisikan dirinya sebagai the real patron.
Belum Ada Revolusi
Distribusi kekuasaan melalui pos-pos kabinet menunjukkan bahwa janji Jokowi untuk tidak bagi-bagi kursi sekali lagi tidak relevan. Dengan kenyataan ini jelas tidak ada revolusi dalam soal membangun pemerintahan dengan model pembagian kursi semacam ini. Masuknya Sri Mulyani, yang bagi para pendukung Jokowi dulu adalah sosok yang tidak disukai, kali ini amat diandalkan dalam melakukan gebrakan, tampak seperti memberikan peluang bagi presiden untuk menjalankan politik akomodasi dan memanjakan rekan-rekan koalisinya.
Persoalannya, dengan situasi ini, sebenarnya yang dikorbankan adalah peluang membentuk supertim yang memang total berorientasi pada performa. Hal ini semakin terganggu dengan kenyataan masih kuatnya posisi para patron dalam membangun posisi tawar dengan presiden.
Mungkin presiden yakin bahwa persoalan performa dan power distribution bisa berjalan seiring sejalan.
Tidak perlu dipersoalkan atau bahkan didikotomikan. Mudah-mudahan saja keyakinan itu benar. Namun, keyakinan inilah sebenarnya yang terjadi awal republik ini berdiri dan sejak era reformasi. Malah jika dibanding pemerintah selanjutnya, presiden-presiden masa lalu setidaknya tidak berada dalam bayang-bayang siapa pun.
Selain itu, fenomena semacam inilah yang sebenarnya telah mereduksi konsep presidensialisme dalam makna yang paling substansial. Mengingat presidensialisme seharusnya menghasilkan sosok, yang disebut oleh Theodore Roosevelt– Presiden AS ke-26, kombinasi antara ”raja dan perdana menteri dalam waktu bersamaan”. Artinya, sosok yang sejatinya dapat mengontrol jajaran pemerintahannya secara total, tanpa banyak kompromi.
Peneliti Utama LIPI dan
Dosen Ilmu Politik FISIP UI
DALAM setiap reshuffle kabinet yang terjadi sesungguhnya akan selalu melibatkan tiga hal pokok sebagai alasannya. Pertama, demi perbaikan performa kabinet. Pergantian atau reposisi seorang menteri dianggap sebagai langkah paling baik untuk dapat meningkatkan kinerja kabinet. Diasumsikan bahwa menteri-menteri baru akan melakukan akselerasi dan penyesuaian sebagaimana yang diinginkan oleh seorang presiden dan diharapkan oleh orang banyak.
Kedua, terkait upaya memantapkan soliditas kabinet. Dalam soal ini reshuffle adalah bagian dari upaya presiden untuk lebih dapat mengontrol dan memastikan kekompakan langkah seluruh jajarannya. Reshuffle dengan demikian terkait membangun kepastian bahwa presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat membawa biduk pemerintahannya secara gesit atas dasar prioritas dan agenda kepentingannya.
Dengan kata lain, reshuffle adalah upaya mereduksi atau mengeliminasi intervensi kepentingan (vested interest) dari berbagai pihak. Ketiga, terkait masalah power sharing. Reshuffle adalah juga alat politik untuk mendistribusikan kekuasaan guna memperkuat posisi tawar, memelihara basis dukungan, dan membangun investasi politik jangka panjang.
Pada kepentingan ketiga inilah kesepakatan politik antara presiden dan partai-partai politik (secara kelembagaan) menjadi tak terelakkan. Kesepakatan ini di satu sisi berpotensi membantu presiden dalam melakukan akselerasi pembenahan dan menjaga stabilitas internal, namun di sisi lain justru dapat melemahkannya, mengingat politik akomodasi ini lebih mementingkan kepentingan politik-pragmatis ketimbang kapabilitas.
Tiga alasan inilah yang sesungguhnya dapat menjadi parameter atau petunjuk pada titik mana sesungguhnya komitmen atau tujuan dari reshuffle kabinet itu dilakukan. Komposisi jajaran kabinet baru yang terbentuk dapat mengindikasikan seberapa besar kesungguhan Presiden melakukan perbaikan performa kabinetnya, seberapa besar dia mampu memastikan kepemimpinannya, dan seberapa besar terakomodasinya kepentingan politik partai-partai pendukungnya.
Bayang-Bayang Pragmatisme
Kalau diurutkan pada skala prioritas, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjukkan gesture keseriusan dalam upaya melakukan perbaikan performa dan mengakomodasi kepentingan para pendukungnya. Atau, pada upaya perbaikan kualitas kinerja kabinet dan pada persoalan power sharing.
Dalam soal yang pertama penunjukan Sri Mulyani menjadi indikator paling signifikan dari upaya perbaikan itu. Presiden tampak makin menyadari bahwa kondisi Indonesia, terutama dalam soal ekonomi, sudah pada level yang mengkhawatirkan. Untuk itu, dia memerlukan sosok yang amat mumpuni untuk membantunya memimpin Indonesia keluar dari situasi itu. Dalam soal ini pula, presiden mencopot menteri-menteri yang memang selama ini dianggap lemah performanya.
Sementara pada power sharing atau akomodasi politik, hal ini dapat terbaca dengan memberikan semua partai pendukung, termasuk yang belakangan menyatakan takluk kepada beliau meski sebelumnya menjadi rival dalam pilpres, posisi dalam jajaran kabinet kali ini. Tampak presiden sadar betul akan pentingnya membangun investasi politik dukungan saat ini maupun pada masa-masa yang akan datang. Dalam soal ini, presiden harus cerdik dalam mengakomodasi kalangan yang baru masuk tanpa harus menyebabkan berantakannya loyalitas para pendukung lamanya.
Dalam kepentingan inilah Jokowi mempertimbangkan baik-baik proporsi jumlah kursi menteri yang didapatkan para pendukungnya. Komitmen untuk lebih mengakomodasi kalangan profesional nonpartai menyebabkan jumlah kursi bagi partai tidak banyak. Namun, dari komposisi kabinet yang kemudian terbentuk tampak semua dapat bagian yang memuaskan.
Tidak ada protes dari kalangan new comers atau pendukung lawas mencerminkan sempurnanya kesepakatan politik para elite itu. Bahkan bagi Hanura sekalipun, sebagai satu-satunya partai yang berkurang jumlah menterinya. Masuknya Wiranto dalam kabinet sebagai Menko Polhukam adalah kompensasi yang ”adil” bagi partai dengan jumlah kursi terkecil di parlemen ini. Namun, pragmatisme terlihat mengingat janji presiden untuk tidak memasukan ketua umum partai dalam jajaran kabinetnya.
Di sisi lain, reshuffle kali ini belum mampu membuktikan keberhasilan atau komitmen presiden untuk dapat membebaskan diri sepenuhnya dari bayang-bayang ”orang kuat” atau patron di sekitarnya. Indikasinya adalah publik dibuat terkejut dan kecewa dengan masih bertahannya beberapa menteri dengan performa medioker, bahkan jeblok dalam kabinet. Beberapa di antaranya malah tidak mengalami pergeseran.
Sementara menteri yang memberikan suntikan semangat baru, namun tidak cukup impresif di mata ”orang kuat” terpental. Memang Jokowi mampu mempertahankan beberapa orangnya, namun masih bercokolnya menteri-menteri favorit para ”orang kuat” yang sebagiannya untouchables menunjukkan presiden belum mampu memosisikan dirinya sebagai the real patron.
Belum Ada Revolusi
Distribusi kekuasaan melalui pos-pos kabinet menunjukkan bahwa janji Jokowi untuk tidak bagi-bagi kursi sekali lagi tidak relevan. Dengan kenyataan ini jelas tidak ada revolusi dalam soal membangun pemerintahan dengan model pembagian kursi semacam ini. Masuknya Sri Mulyani, yang bagi para pendukung Jokowi dulu adalah sosok yang tidak disukai, kali ini amat diandalkan dalam melakukan gebrakan, tampak seperti memberikan peluang bagi presiden untuk menjalankan politik akomodasi dan memanjakan rekan-rekan koalisinya.
Persoalannya, dengan situasi ini, sebenarnya yang dikorbankan adalah peluang membentuk supertim yang memang total berorientasi pada performa. Hal ini semakin terganggu dengan kenyataan masih kuatnya posisi para patron dalam membangun posisi tawar dengan presiden.
Mungkin presiden yakin bahwa persoalan performa dan power distribution bisa berjalan seiring sejalan.
Tidak perlu dipersoalkan atau bahkan didikotomikan. Mudah-mudahan saja keyakinan itu benar. Namun, keyakinan inilah sebenarnya yang terjadi awal republik ini berdiri dan sejak era reformasi. Malah jika dibanding pemerintah selanjutnya, presiden-presiden masa lalu setidaknya tidak berada dalam bayang-bayang siapa pun.
Selain itu, fenomena semacam inilah yang sebenarnya telah mereduksi konsep presidensialisme dalam makna yang paling substansial. Mengingat presidensialisme seharusnya menghasilkan sosok, yang disebut oleh Theodore Roosevelt– Presiden AS ke-26, kombinasi antara ”raja dan perdana menteri dalam waktu bersamaan”. Artinya, sosok yang sejatinya dapat mengontrol jajaran pemerintahannya secara total, tanpa banyak kompromi.
(kri)