Menimbang Operasi Militer

Jum'at, 22 Juli 2016 - 10:30 WIB
Menimbang Operasi Militer
Menimbang Operasi Militer
A A A
PERLUKAH Indonesia terlibat dalam operasi militer membebaskan 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf di Filipina? Apakah langkah ini menjadi pilihan rasional yang bisa menyelesaikan persoalan tersebut? Dua pertanyaan itulah paling tidak yang mesti terjawab sebelum TNI benar-benar turun melakukan operasi militer di Filipina.

Kepastian adanya operasi militer memang masih dibicarakan dalam pertemuan trilateral yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis kemarin. Pertemuan melibatkan negara yang terseret langsung aksi kriminalitas Abu Sayyaf, yakni Filipina, Indonesia, dan Malaysia. Walaupun hasil pertemuan belum diketahui atau bahkan pertemuan ditunda, operasi militer tampaknya menjadi pilihan tidak terelakkan .

Hal ini bisa terlihat dari sinyal yang disampaikan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Menurut dia, rencana tersebut secara prinsip sudah dibicarakan dengan menteri pertahanan Filipina. TNI bahkan sudah diizinkan untuk memasuki wilayah perairan Filipina. Mantan pangkostrad TNI AD tersebut bahkan sudah berbicara teknis terkait kemungkinan TNI menyisir Abu Sayyaf dari selatan.

Pertanyaan ini beriringan dengan pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Saat menyampaikan amanat upacara bendera di Mabes TNI Cilangkap (18/7), dia telah meminta prajuritnya bersiap jika setiap saat mendapatkan tugas membebaskan WNI yang disandera Abu Sayyaf di Filipina.

Pernyataan kedua pejabat tersebut bisa disebut sangat maju sejak pertama kali sejumlah WNI menjadi korban penyanderaan April lalu. Sejauh itu, pembebasan sandera masih berkutat pada opsi negosiasi atau membayar tebusan. Sementara itu, opsi operasi militer masih sebatas nukilan wacana karena terbentur konstitusi Filipina yang tidak mengizinkan ada keterlibatan militer asing di negaranya.

Sejauh ini, di luar persoalan konstitusi, pemerintah Filipina belum memberikan pernyataannya. Negeri jiran tersebut masih fokus berupaya bisa membebaskan sendiri sandera asing dengan menggempur basis-basis Abu Sayyaf di Filipina Selatan.

Kendati demikian, opsi pelibatan militer Indonesia terbuka mengingatkan Filipina sendiri sangat dirugikan dengan sepak terjang Abu Sayyaf. Militer Indonesia, misalnya, meminta suplai batu bara untuk pembangkit listrik dihentikan karena tidak ada jaminan keamanan terhadap pelayaran di perairan selatan Filipina. Apalagi, pemimpin baru Filipina, Presiden Rodrigo Duterte sudah menunjukkan tekadnya menghabisi Abu Sayyaf.

Keterlibatan Indonesia dalam operasi militer untuk membantu Filipina membebaskan sandera menjadi rasional dibandingkan beberapa pilihan tersedia. Membayar tebusan, misalnya, sudah pasti harus dieliminasi karena justru akan menyuburkan gairah Abu Sayyaf untuk "berbisnis". Pendekatan tersebut justru berpotensi meningkatkan tensi pembajakan, penculikan, dan penyanderaan.

Negosiasi--dengan bantuan tokoh MNLF Nur Misuari--yang konon efektif untuk membebaskan empat WNI yang pertama kali disandera, ternyata juga tidak membangun kesadaran baru bagi Abu Sayyaf untuk menghentikan aksinya, terutama terhadap WNI. Secara tidak langsung, hal tersebut mengindikasikan Nur Misuari tidak sepenuhnya mampu mengontrol Abu Sayyaf, yang konon terpecah dalam banyak faksi dengan agenda dan kepentingan masing-masing.

Satu-satunya pilihan yang paling tepat adalah memberi kesempatan kepada militer Filipina, seperti dilakukan saat ini dengan mengerahkan 10 batalion untuk menggempur Abu Sayyaf. Namun, mampukah tentara Filipina? Pertanyaan ini relevan karena faktanya sejauh ini kekuatan tentara Filipina belum mampu menunjukkan kedigdayaannya.

Bagaimana jika pemerintah Filipina benar-benar mengizinkan keterlibatan TNI dalam operasi militer? TNI memang mempunyai seabrek pengalaman dan kemampuan yang tak perlu dipertanyakan. Namun, TNI tetap saja berhitung secara detail agar operasi militer tersebut sukses, seperti diingatkan Menko Polhukam Luhut B Panjaitan. Selain itu, hal ini juga serta-merta akan menjadi pertaruhan kredibilitas pasukan khusus TNI, dan tentu saja mempertaruhkan jiwa sandera.

Salah satu yang perlu diperhitungkan adalah operasi ini bukan operasi pembebasan sandera biasa dengan titik lokasi yang jelas dan terfokus. Sebaliknya bisa menjadi semioperasi antigerilya; karena yang dihadapi, musuh yang menguasai medan yang luas, memahami betul wilayahnya, dan menyatu atau bahkan mendapat dukungan rakyat.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7282 seconds (0.1#10.140)