Mengembalikan Polri kepada Fitrahnya

Kamis, 21 Juli 2016 - 13:41 WIB
Mengembalikan Polri...
Mengembalikan Polri kepada Fitrahnya
A A A
Tjatur Sapto Edy
Pimpinan Komisi III DPR RI 2009-2014

PERINGATAN Hari Ulang Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tahun ini terasa begitu istimewa. Di samping genap berusia 70 tahun, Korps Bhayangkara juga mempunyai pemimpin baru yang sudah dilantik Presiden, Jenderal Polisi M Tito Karnavian.

Tito yang mendapatkan dukungan penuh DPR merupakan seorang perwira tinggi polisi berusia muda dengan segudang prestasi dan sarat pengalaman. Momen kali ini juga semakin spesial karena bertepatan dengan Idul Fitri 1437 H, di mana kaum muslimin berharap kembali kepada fitrahnya.

Segudang pekerjaan rumah dan tanggung jawab besar telah menunggu Jenderal Tito. Sejuta harapan masyarakat juga tertumpu di pundak Jenderal Tito. Setidaknya, Tito punya tugas meneruskan sekaligus menambal kekurangan yang sudah dilaksanakan kapolri sebelumnya, Jenderal Badrodin Haiti.

Salah satu pekerjaan rumah besar yang harus mendapat perhatian utama oleh Polri adalah upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ketika dilantik menjadi kapolri pada 2015, Jenderal Badrodin juga sudah meletakkan ihwal kepercayaan masyarakat ini sebagai prioritas kerjanya. Karena, beliau sadar kepercayaan masyarakat adalah faktor penting bagi keberhasilan tugas Polri.

Tidak keliru jika prioritas Jenderal Tito sebagai kapolri yang baru tetap mengusung semangat yang dulu dibawa pimpinan Polri sebelumnya. Sebab, tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, niscaya Polri tak akan sukses menjalankan tugas dan fungsinya.

Perbedaan Fundamental
Polri adalah institusi negara yang paling dekat dengan masyarakat. Dari Merauke sampai Sabang, dari Rote hingga Miangas, Polri adalah tempat masyarakat mengadukan masalah yang dihadapinya. Dengan kedekatan dengan masyarakat tersebut, sebenarnya tidaklah terlalu sulit bagi korps baju cokelat ini untuk meraih kepercayaan masyarakat. Syarat utamanya adalah kembalikan jati diri Polri sesuai amanah UUD 1945.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Polri berpegang kepada UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan UU Nomor 2 Tahun 2002 sebagai landasan operasional. Para perancang konstitusi sudah meletakkan peran dan fungsi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan dan di tengah masyarakat Indonesia dengan sangat pas. Dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat 4 disebutkan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum".

Sementara itu, UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 menyebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b) Menegakkan hukum, c) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Ada perbedaan mendasar ihwal tupoksi Polri pada UUD 1945 Pasal 3 Ayat 4 sebagai landasan konstitusional dan UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 yang menjadi landasan operasional Polri. Sebagai alat negara yang menjaga kamtibmas, konstitusi mengamanatkan Polri untuk mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan peran ini, Polri harus sangat dekat dengan masyarakat.

Di sisi lain, undang-undang menugaskan Polri untuk lebih mengutamakan penegakan hukum, yang harus mengambil jarak dengan masyarakat. Dengan kata lain, konstitusi menggariskan polisi mengutamakan akhlak daripada hukum. Memang seharusnya begitu karena hukum adalah strata terendah dari akhlak. Orang yang berakhlak pastilah menjalankan hukum, tetapi belum tentu sebaliknya.

Kembali kepada Fitrah
Mencermati tugas konstitusional Polri, pantaslah jika disebut Polri itu berperan sebagai "ibu" di tengah-tengah masyarakat. Secara kodrati ibu memiliki sifat melindungi, mengayomi, dan melayani dengan penuh ketulusan dan kelembutan. Betapa indahnya susunan kalimat dalam konstitusi tersebut.

Namun, landasan operasional Polri berdasarkan UU Polri dapat dikatakan menempatkan Polri lebih berperan menjadi "bapak" di tengah masyarakat dengan mengutamakan penegakan hukum yang penuh ketegasan. Akibat itu, wajah Polri di masyarakat cenderung lebih maskulin ketimbang feminin lantaran unsur penegakan hukum yang lebih menonjol. Posisi inilah yang mengakibatkan jauhnya jarak polisi dengan masyarakat. Banyak kesan berkembang, masyarakat merasa takut apabila berurusan dengan Polri.

Lebih jauh kesan maskulin Polri juga bisa dilihat dari postur personalia Polri. Dari Mabes Polri hingga polsek, jumlah polisi wanita
tidaklah proporsional dengan polisi pria. Sangat sedikit polisi wanita yang menapaki jenjang sampai pangkat perwira tinggi. Saat ini tidak ada polwan yang memegang jabatan kapolda. Seingat penulis tidak pernah dijumpai perwira tinggi polisi wanita yang hadir dalam rapat kerja Polri dengan Komisi III DPR RI.

Revolusi Mental Polri berarti mengembalikan fitrah Polri sesuai amanah konstitusi dengan perannya yang lebih "keibuan" yang
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Dengan penonjolan peran ini, hubungan masyarakat kepada Polri dan sebaliknya akan semakin dekat.

Perasaan dekat ini akan membangun kepercayaan di dua belah pihak. Secara legislasi, pengembalian Polri kepada fitrahnya ini dapat dilakukan oleh DPR dan Presiden dengan melakukan revisi atas UU Nomor 2 Tahun 2002 yang telah tercantum dalam Program Legislasi Nasional.

Kejadian penghentian mobil Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) oleh seorang anggota polisi yang hendak membantu seorang tua menyeberang jalan, yang akhirnya viral di dunia maya, bisa menjadi salah satu contoh wajah "keibuan" Polri. Pun, dengan sikap ikhlas yang ditunjukkan oleh kapolda NTB atas akhlak anak buahnya tersebut merupakan benih kepercayaan masyarakat yang seharusnya terus-menerus disemai.

Sekali lagi, Dirgahayu Kepolisian Republik Indonesia. Selamat bertugas Jenderal Tito Karnavian.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6135 seconds (0.1#10.140)