Poros Maritim Dunia dan Laut China Selatan
A
A
A
SENGKETA wilayah laut di Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara sepertinya masih jauh dari kata sepakat. Kemarin (12/7), Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, baru saja menolak klaim China atas wilayah di Laut China Selatan yang oleh Filipina diklaim sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE) miliknya. Namun, putusan tersebut ditolak China yang sejak awal menolak proses arbitrase ini.
Lalu menjadi pertanyaan, sekalipun Indonesia tidak ikut dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan, bagaimana seharusnya negeri ini bersikap? Apakah tidak mungkin suatu saat sengketa merembet ke wilayah yang Indonesia kuasai? Bagaimana pula Indonesia yang belakangan membetot perhatian dunia dengan konsep Poros Maritim Dunia akan memandang wilayah lautnya dan potensi masalah yang bisa muncul? Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi kian menarik karena Indonesia diarahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan perhatian lebih besar pada sektor maritim.
Lalu bagaimana konsep Poros Maritim Dunia menjawab ini? Jika mengacu pada konsep besar yang sayangnya belum jelas turunan praktisnya ini, Indonesia sudah menegaskan pada salah satu dari lima pilar Poros Maritim Dunia ini: "Sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudra, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim" Kementerian Pertahanan pun memberikan perhatian serius masalah potensi sengketa wilayah laut ini.
Masalah wilayah harus menjadi perhatian serius. Kita bisa lihat Pengadilan Arbitrase Internasional tidaklah mengikat jika salah satu pihak tidak menginginkan kasus yang melibatkan para pihak untuk dibawa ke arbitrase internasional. Misalnya dalam kasus sengketa beberapa bagian wilayah di Laut China Selatan antara China dan Filipina.
Dalam sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara ini, China menggunakan konsep yang umum dikenal sebagai nine-dash line. Lewat konsep tersebut China mengklaim wilayah perairan Laut China Selatan hingga ratusan kilometer di selatan Provinsi Kepulauan Hainan yang mencakup sekitar 90% wilayah perairan Laut China Selatan.
Setidaknya ada enam negara yang menjadi negara pengklaim (claimant state) di Laut China Selatan, yaitu China, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, serta Filipina. Indonesia sendiri tidak termasuk dalam claimant state, tetapi perannya akan sangat penting sekalipun sedari awal munculnya sengketa di Laut China Selatan ini Indonesia sudah menyatakan netralitasnya.
Dengan kondisi sengketa wilayah perairan seperti ini, tentu bukan tidak mungkin Indonesia akan ikut terseret dalam sengketa. Bahkan bukan tidak mungkin juga wilayah ZEE Indonesia diklaim oleh negara lain seperti Filipina yang merasa ZEE-nya diklaim China. Apalagi banyak wilayah ZEE Indonesia yang bersinggungan dengan wilayah sengketa di Laut China Selatan, misalnya wilayah Kepulauan Natuna.
Memang United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 sudah menjamin hak Indonesia sebagai negara kepulauan, tetapi bukan berarti Indonesia akan aman dari sengketa wilayah. Belajar dari pahitnya pengalaman kehilangan Sipadan-Ligitan yang diambil Malaysia melalui Pengadilan Arbitrase Internasional dan sengketa tak berujung di Laut China Selatan, Indonesia perlu untuk meneguhkan pengendaliannya terhadap wilayah laut yang dimiliki.
Pertama, bangun pangkalan militer ataupun pos pemantauan militer di wilayah-wilayah terluar di Indonesia dan tingkatkan patroli. Ini akan menjadi bukti penguasaan wilayah Indonesia.
Kedua, bangun kegiatan ekonomi di pulau-pulau terluar Indonesia. Hal inilah yang alpa kita lakukan sehingga bisa menjadi sarana Malaysia saat mengklaim Sipadan-Ligitan.
Ketiga, giatkan pelatihan militer bersama dengan negara-negara yang berpotensi sengketa wilayah dengan Indonesia. Pelatihan bersama dengan sendirinya meneguhkan batas-batas wilayah yang diakui bersama.
Sengketa di Laut China Selatan ini harus menjadi pengingat para pengambil kebijakan di negeri ini bahwa masalah yang sama bisa saja menghampiri Indonesia. Kita harus siap baik dari segi pertahanan-keamanan maupun diplomasi.
Lalu menjadi pertanyaan, sekalipun Indonesia tidak ikut dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan, bagaimana seharusnya negeri ini bersikap? Apakah tidak mungkin suatu saat sengketa merembet ke wilayah yang Indonesia kuasai? Bagaimana pula Indonesia yang belakangan membetot perhatian dunia dengan konsep Poros Maritim Dunia akan memandang wilayah lautnya dan potensi masalah yang bisa muncul? Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi kian menarik karena Indonesia diarahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan perhatian lebih besar pada sektor maritim.
Lalu bagaimana konsep Poros Maritim Dunia menjawab ini? Jika mengacu pada konsep besar yang sayangnya belum jelas turunan praktisnya ini, Indonesia sudah menegaskan pada salah satu dari lima pilar Poros Maritim Dunia ini: "Sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudra, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim" Kementerian Pertahanan pun memberikan perhatian serius masalah potensi sengketa wilayah laut ini.
Masalah wilayah harus menjadi perhatian serius. Kita bisa lihat Pengadilan Arbitrase Internasional tidaklah mengikat jika salah satu pihak tidak menginginkan kasus yang melibatkan para pihak untuk dibawa ke arbitrase internasional. Misalnya dalam kasus sengketa beberapa bagian wilayah di Laut China Selatan antara China dan Filipina.
Dalam sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara ini, China menggunakan konsep yang umum dikenal sebagai nine-dash line. Lewat konsep tersebut China mengklaim wilayah perairan Laut China Selatan hingga ratusan kilometer di selatan Provinsi Kepulauan Hainan yang mencakup sekitar 90% wilayah perairan Laut China Selatan.
Setidaknya ada enam negara yang menjadi negara pengklaim (claimant state) di Laut China Selatan, yaitu China, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, serta Filipina. Indonesia sendiri tidak termasuk dalam claimant state, tetapi perannya akan sangat penting sekalipun sedari awal munculnya sengketa di Laut China Selatan ini Indonesia sudah menyatakan netralitasnya.
Dengan kondisi sengketa wilayah perairan seperti ini, tentu bukan tidak mungkin Indonesia akan ikut terseret dalam sengketa. Bahkan bukan tidak mungkin juga wilayah ZEE Indonesia diklaim oleh negara lain seperti Filipina yang merasa ZEE-nya diklaim China. Apalagi banyak wilayah ZEE Indonesia yang bersinggungan dengan wilayah sengketa di Laut China Selatan, misalnya wilayah Kepulauan Natuna.
Memang United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 sudah menjamin hak Indonesia sebagai negara kepulauan, tetapi bukan berarti Indonesia akan aman dari sengketa wilayah. Belajar dari pahitnya pengalaman kehilangan Sipadan-Ligitan yang diambil Malaysia melalui Pengadilan Arbitrase Internasional dan sengketa tak berujung di Laut China Selatan, Indonesia perlu untuk meneguhkan pengendaliannya terhadap wilayah laut yang dimiliki.
Pertama, bangun pangkalan militer ataupun pos pemantauan militer di wilayah-wilayah terluar di Indonesia dan tingkatkan patroli. Ini akan menjadi bukti penguasaan wilayah Indonesia.
Kedua, bangun kegiatan ekonomi di pulau-pulau terluar Indonesia. Hal inilah yang alpa kita lakukan sehingga bisa menjadi sarana Malaysia saat mengklaim Sipadan-Ligitan.
Ketiga, giatkan pelatihan militer bersama dengan negara-negara yang berpotensi sengketa wilayah dengan Indonesia. Pelatihan bersama dengan sendirinya meneguhkan batas-batas wilayah yang diakui bersama.
Sengketa di Laut China Selatan ini harus menjadi pengingat para pengambil kebijakan di negeri ini bahwa masalah yang sama bisa saja menghampiri Indonesia. Kita harus siap baik dari segi pertahanan-keamanan maupun diplomasi.
(kri)