Indonesia Darurat Korupsi

Sabtu, 02 Juli 2016 - 14:34 WIB
Indonesia Darurat Korupsi
Indonesia Darurat Korupsi
A A A
Darurat korupsi. Kalimat singkat ini mungkin cocok untuk menggambarkan betapa ‘’virus’’ korupsi sudah benar-benar mencengkeram erat negara ini. Karena itu, tanpa upaya yang luar biasa, tidak akan mungkin negara ini bisa terbebas dari korupsi.

Kondisi darurat korupsi ini bisa digambarkan dengan bagaimana penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi selama ini sama sekali seperti tidak memberikan efek jera.

Bayangkan, dalam seminggu terakhir ini saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dua kali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat negara dan aparat hukum. Salah satunya anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana yang diduga terlibat kasus suap proyek jalan di Sumatera Barat. Satunya lagi panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Santoso yang diduga terlibat kasus dugaan suap untuk memengaruhi putusan perkara perdata di PN Jakpus.

Kita hanya bisa mengelus dada kalau mau menelisik lebih dalam siapa pelaku yang ditangkap. Dua-duanya merupakan pejabat atau pegawai yang terkait dengan hukum. I Putu Sudiartana merupakan anggota Komisi Hukum DPR yang beberapa hari sebelum ditangkap ternyata sempat menghadiri acara buka puasa bersama dengan para pimpinan KPK. Sangat ironis. Satunya lagi, Santoso, jelas merupakan aparat penegak hukum di PN Jakpus.

Memang kalau dilihat dari barang bukti yang disita, itu tidak terlalu besar. Namun fakta ini memiliki makna yang mendalam terkait kondisi bangsa ini yang semakin sulit lepas dari jerat korupsi.

Kita sudah melakukan berbagai cara untuk memberantas korupsi, termasuk membentuk KPK. Dan dalam perjalanannya, sudah banyak pejabat maupun penegak hukum yang dijebloskan ke penjara karena korupsi.

Berbagai penegakan hukum yang dilakukan KPK tidak dijadikan pelajaran sama sekali bagi pejabat atau aparat penegak hukum lain. Apa kita gagal dalam upaya pemberantasan korupsi? Apa strategi penegakan hukum terkait kasus hukum kurang tepat? Apakah hukuman yang diterima para koruptor masih terlalu ringan? Apakah masyarakat kita memang sedang sakit? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut menjadi renungan seluruh komponen bangsa ini.

Barangkali jika mayoritas masyarakat kita sekuler seperti di negara-negara komunis sosialis, adanya korupsi mungkin masih bisa ‘’dimaklumi’’. Karena mereka tidak percaya adanya Tuhan atau kehidupan setelah mati.

Indonesia memang bukan negara agama, tetapi masyarakat Indonesia dikenal sangat agamais. Dan semua agama yang dianut oleh masyarakat kita sangat melarang korupsi. Kita percaya siapa yang korupsi masuk neraka. Namun tetap saja korupsi di Indonesia seperti gurita dan sudah membudaya, bahkan mulai dari tingkat bawah hingga ke tingkat elite. Sangat ironis. Ini menandakan bahwa kita belum sepenuhnya beragama. Gemerlapnya materi telah membutakan hati nurani para koruptor.

Kita harus jujur mengakui bahwa kita saat ini gagal dalam memberantas korupsi. Kehadiran KPK ternyata belum mampu untuk memberangus para koruptor. KPK tampaknya hanya sebagai pemadam kebakaran saja. Di mana ada satu koruptor yang ditangkap, tumbuh lagi yang lainnya. KPK tak bisa menghentikan korupsi dari akarnya.

Langkah pencegahan yang dilakukan KPK juga belum sepenuhnya berhasil. Polri dan kejaksaan yang seharusnya menjadi mitra bersama KPK dalam upaya pemberantasan korupsi juga tak berfungsi optimal. Bahkan mereka terkesan mandul. Dan akhir-akhir ini kedua institusi hukum tersebut hanya menjadi alat politik pihak tertentu untuk menyerang lawan politiknya. Ironis memang, tapi itulah fakta yang harus kita terima.

Karena itu, kita harus sadar bahwa perlu strategi lain yang lebih komprehensif untuk bisa memberantas para koruptor tersebut. Pertama , kita harus menyinergikan KPK, Polri, dan kejaksaan agar bisa bersama-sama dalam pemberantasan korupsi. Kedua , perlu ada kesepakatan bersama bahwa para koruptor ini telah merusak bangsa sehingga harus dihukum seberat-beratnya, termasuk dihukum mati atau hukuman lain yang berefek jera.

Ketiga, pembangunan mental setiap warga harus terus ditumbuhkan mulai dari pendidikan keluarga yang benar-benar agamais sehingga masyarakat akhirnya menyadari betul bahwa korupsi merupakan tindakan tercela dan sangat hina. Mari kita mulai dari diri kita untuk tidak korupsi.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0527 seconds (0.1#10.140)