Vaksin Palsu
A
A
A
TINDAK kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita kian memprihatinkan. Baru-baru ini Bareskrim Mabes Polri berhasil membongkar sindikat pembuatan dan penjualan vaksin palsu yang diberikan untuk anak-anak balita.
Yang lebih membuat kita tercengang, praktik nista ini telah dilakukan oleh kelompok penjahat yang sengaja memanfaatkan jejaring kesehatan baik di rumah sakit, klinik maupun apotek yang sudah berlangsung selama 13 tahun. Mengapa kejahatan yang sangat berbahaya dan mengancam masa depan anak-anak Indonesia itu bisa berlangsung sangat lama tanpa ketahuan oleh para pihak yang berwenang?
Jaringan pemalsu vaksin ini terungkap karena laporan masyarakat tentang kondisi balitanya yang ganjil setelah diberi vaksin untuk imunisasi wajib seperti ketentuan pemerintah. Vaksin palsu ini pun sudah memakan korban jiwa. Pertanyaan besarnya, mengapa peredaran vaksin palsu ini bisa tidak terdeteksi selama puluhan tahun? Lantas apa yang dikerjakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan para pihak yang bertanggung jawab dalam pengawasan dan peredaran obat? Mengapa harus ada korban jiwa dahulu baru ramai-ramai bertindak?
Mestinya pencegahan adalah tindakan paling rasional yang harus dimaksimalkan. Apa jadinya jika keteledoran badan atau lembaga pengawas obat berlangsung terus-menerus? Vaksin palsu ini bisa meracuni setiap bayi karena berisi cairan infus dicampur antibiotik dengan dosis yang tidak diketahui berapa besarnya.
Polisi menemukan enam titik yang dijadikan lokasi beredarnya vaksin palsu itu, di antaranya di wilayah Bekasi, Kemang, dan Bintaro. Belum diketahui berapa puluh ribu vaksin palsu yang sudah beredar dan telanjur digunakan untuk imunisasi bayi-bayi kita selama 13 tahun terakhir. Kementerian Kesehatan, kepolisian, BPOM, dan instansi terkait harus turun tangan membentuk tim khusus untuk menyelidiki sejauh mana dampak yang ditimbulkan vaksin palsu itu terhadap balita.
Tim ini juga harus mencari tahu berapa dan siapa bayi-bayi yang sudah terkena vaksin palsu ini. Harus ditelusuri berapa jumlah vaksin palsu yang sudah diproduksi dan diedarkan oleh jaringan penjahat kakap ini sejak pertama hingga mereka tertangkap. Perlu dipikirkan pula metode yang baik dan tepat untuk mencegah dampak vaksin palsu yang sudah telanjur masuk dalam tubuh bayi.
Harus dicari tahu pula mengapa komplotan pembuat dan pengedar vaksin palsu di wilayah Jabodetabek ini bisa leluasa bergerak tanpa terendus selama 13 tahun. Kecurigaan polisi akan keterlibatan oknum-oknum terkait baik di Kementerian Kesehatan, BPOM atau jaringan kesehatan lain harus dibuka secara transparan agar publik mengerti sejauh mana perkembangan penyidikan di Bareskrim Mabes Polri.
Transparansi penyidikan itu diharapkan bisa membantu masyarakat untuk semakin waspada terhadap kemungkinan ada komplotan lain yang masih leluasa melakukan perbuatan tercela itu di wilayah Jabodetabek atau wilayah di luar Jabodetabek. Keterlibatan oknum juga harus diusut tuntas hingga ke level yang paling tinggi.
Jangan sampai penyidikan kasus ini hanya fokus pada pelaku lapangan saja. Polisi harus berani mengungkap dan membongkar pelindung komplotan ini di level paling tinggi. Secara logika jika kejahatan luar biasa ini bisa berlangsung selama 13 tahun, berarti ada masalah dengan fungsi pengawasannya.
Mengapa pengawasan obat bisa lemah lunglai dalam waktu selama itu? Apakah ada beking-bekingan dengan imbalan uang atau materi lain? Atau apakah ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan peredaran dan pembuatan vaksin palsu itu di luar komplotan dan sejaringnya?
Kita berharap aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga ke pengadilan nanti konsisten dan memiliki visi yang sama terhadap kejahatan komplotan ini. Ancaman hukuman 15 tahun penjara rasanya kurang untuk membuat jera para pelaku mengingat daya rusak yang diakibatkan perbuatan mereka.
Yang lebih membuat kita tercengang, praktik nista ini telah dilakukan oleh kelompok penjahat yang sengaja memanfaatkan jejaring kesehatan baik di rumah sakit, klinik maupun apotek yang sudah berlangsung selama 13 tahun. Mengapa kejahatan yang sangat berbahaya dan mengancam masa depan anak-anak Indonesia itu bisa berlangsung sangat lama tanpa ketahuan oleh para pihak yang berwenang?
Jaringan pemalsu vaksin ini terungkap karena laporan masyarakat tentang kondisi balitanya yang ganjil setelah diberi vaksin untuk imunisasi wajib seperti ketentuan pemerintah. Vaksin palsu ini pun sudah memakan korban jiwa. Pertanyaan besarnya, mengapa peredaran vaksin palsu ini bisa tidak terdeteksi selama puluhan tahun? Lantas apa yang dikerjakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan para pihak yang bertanggung jawab dalam pengawasan dan peredaran obat? Mengapa harus ada korban jiwa dahulu baru ramai-ramai bertindak?
Mestinya pencegahan adalah tindakan paling rasional yang harus dimaksimalkan. Apa jadinya jika keteledoran badan atau lembaga pengawas obat berlangsung terus-menerus? Vaksin palsu ini bisa meracuni setiap bayi karena berisi cairan infus dicampur antibiotik dengan dosis yang tidak diketahui berapa besarnya.
Polisi menemukan enam titik yang dijadikan lokasi beredarnya vaksin palsu itu, di antaranya di wilayah Bekasi, Kemang, dan Bintaro. Belum diketahui berapa puluh ribu vaksin palsu yang sudah beredar dan telanjur digunakan untuk imunisasi bayi-bayi kita selama 13 tahun terakhir. Kementerian Kesehatan, kepolisian, BPOM, dan instansi terkait harus turun tangan membentuk tim khusus untuk menyelidiki sejauh mana dampak yang ditimbulkan vaksin palsu itu terhadap balita.
Tim ini juga harus mencari tahu berapa dan siapa bayi-bayi yang sudah terkena vaksin palsu ini. Harus ditelusuri berapa jumlah vaksin palsu yang sudah diproduksi dan diedarkan oleh jaringan penjahat kakap ini sejak pertama hingga mereka tertangkap. Perlu dipikirkan pula metode yang baik dan tepat untuk mencegah dampak vaksin palsu yang sudah telanjur masuk dalam tubuh bayi.
Harus dicari tahu pula mengapa komplotan pembuat dan pengedar vaksin palsu di wilayah Jabodetabek ini bisa leluasa bergerak tanpa terendus selama 13 tahun. Kecurigaan polisi akan keterlibatan oknum-oknum terkait baik di Kementerian Kesehatan, BPOM atau jaringan kesehatan lain harus dibuka secara transparan agar publik mengerti sejauh mana perkembangan penyidikan di Bareskrim Mabes Polri.
Transparansi penyidikan itu diharapkan bisa membantu masyarakat untuk semakin waspada terhadap kemungkinan ada komplotan lain yang masih leluasa melakukan perbuatan tercela itu di wilayah Jabodetabek atau wilayah di luar Jabodetabek. Keterlibatan oknum juga harus diusut tuntas hingga ke level yang paling tinggi.
Jangan sampai penyidikan kasus ini hanya fokus pada pelaku lapangan saja. Polisi harus berani mengungkap dan membongkar pelindung komplotan ini di level paling tinggi. Secara logika jika kejahatan luar biasa ini bisa berlangsung selama 13 tahun, berarti ada masalah dengan fungsi pengawasannya.
Mengapa pengawasan obat bisa lemah lunglai dalam waktu selama itu? Apakah ada beking-bekingan dengan imbalan uang atau materi lain? Atau apakah ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan peredaran dan pembuatan vaksin palsu itu di luar komplotan dan sejaringnya?
Kita berharap aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga ke pengadilan nanti konsisten dan memiliki visi yang sama terhadap kejahatan komplotan ini. Ancaman hukuman 15 tahun penjara rasanya kurang untuk membuat jera para pelaku mengingat daya rusak yang diakibatkan perbuatan mereka.
(kri)