Menguji Kewenangan Pembatalan Perda
A
A
A
Oce Madril
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
PEMERINTAH telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (perda). Menteri dalam negeri (Mendagri) sebagai pihak yang berwenang dalam pembatalan ribuan perda ini beralasan bahwa perda-perda tersebut telah mengganggu iklim ekonomi dan investasi. Tercatat bahwa ini merupakan pembatalan perda secara masif dari sisi kuantitas yang pernah dilakukan oleh pemerintah. Namun, pembatalan ribuan perda ini telah menimbulkan perdebatan.
Banyak pihak mempertanyakan aspek konstitusionalitas kewenangan mendagri untuk membatalkan perda-perda tersebut. Bahkan menurut Mahfud MD, mekanisme pembatalan perda itu keliru secara hukum. Dalam tulisannya di koran ini, Mahfud berpendapat bahwa seharusnya upaya yang ditempuh untuk membatalkan perda-perda yang dianggap bermasalah itu melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung (MA), bukan melalui mendagri. Sementara di sisi lain, pemerintah bersikukuh bahwa pembatalan perda ini semata-mata dilakukan karena memang dibenarkan oleh UU Pemerintahan Daerah.
Polemik perihal kewenangan mendagri ini muncul lantaran tidak sinkronnya berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini ada dua UU yang saling bertabrakan, yaitu UU Pemda dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, UU Pemda juga dinilai bertentangan dengan konstitusi, khususnya mengenai mekanisme pengujian terhadap perda.
Rezim Pengawasan
Dari perspektif hukum pemda, mekanisme pembatalan perda bukanlah hal baru. Mekanisme ini telah diperkenalkan sejak era pemerintahan orde lama melalui UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan tersebut bermetamorfosa hingga saat ini. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang digunakan saat ini juga memuat aturan serupa.
UU Pemda menggunakan pendekatan executive review atau pengujian sebuah aturan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini yang melakukan pengujian atas Perda adalah kementerian dalam negeri. Seolah-olah, pemerintah pusat menjadi hakim yang melakukan review atas produk hukum daerah. Dalam perspektif hukum pemda, pembatalan perda merupakan bagian dari mekanisme pengawasan pusat atas daerah.
Ada dua model pengawasan yang dilakukan. Pertama, pengawasan represif (repressief toezicht) dan kedua, pengawasan preventif (preventief toezicht). Kedua model pengawasan ini dilakukan sebagai mekanisme kontrol pusat atas produk hukum daerah, baik berupa perda maupun peraturan kepala daerah, sehingga setiap penyusunan regulasi di daerah harus dikonsultasikan ke pemerintah pusat dan jika ditemukan perda yang dianggap bermasalah maka pemerintah pusat berwenang membatalkannya.
Kewenangan pembatalan perda ini telah secara tegas diatur dalam UU Pemda. Akan tetapi memang tidak ada pengaturan lebih rinci bagaimana kewenangan pembatalan itu dilakukan. UU hanya mengatur bahwa ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dasar pembatalan, yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
Bertentangan dengan kepentingan umum meliputi; terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, dan gender.
Alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar pembatalan masih sangat umum-abstrak sehingga memberikan ruang penafsiran yang sangat luas bagi pemegang kewenangan ini.
Rezim Judicial Review
Berbeda dengan UU Pemda, konstitusi menganut rezim judicial review atau pengujian melalui mekanisme peradilan bagi peraturan yang diduga melanggar konstitusi atau peraturan di atasnya. Dalam Pasal 24A dan 24C ditegaskan bahwa bagi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 diuji di MK, sementara peraturan di bawah UU diuji di MA.
Pengaturan ini ditegaskan lagi dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dengan UU, pengujiannya dilakukan oleh MA.
Menurut ketentuan Pasal 7 UU 12/2011, perda merupakan salah satu jenis aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang posisinya berada di bawah UU. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, hanya MA-lah yang berwenang menguji sebuah perda. Sehingga dari sudut pandang konstitusi, ketentuan pembatalan perda yang dilakukan oleh mendagri jelas bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 dan secara horizontal dengan UU 12/2011.
Hak pemda untuk membuat perda dilindungi oleh konstitusi. Ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 6 UUD 1945 bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ini artinya, kewenangan pemda dalam membuat perda bersumber langsung dari konstitusi.
Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa penyusunan perda bukanlah perkara sederhana. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui, termasuk konsultasi dengan pemerintah pusat. Perda tidak hanya disusun oleh pemda dan DPRD saja. Ada banyak stakeholder yang terlibat melalui partisipasi masyarakat. Bahkan ada perda yang memang diinisiasi oleh kelompok masyarakat sipil. Secara biaya, penyusunan sebuah perda bisa memakan ratusan juta rupiah dana APBD. Karenanya, pembatalan sebuah perda harus betul-betul melalui pertimbangan yang matang.
Selain berpotensi melanggar konstitusi, mekanisme pembatalan perda ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya bagaimana mekanisme yang digunakan kementerian dalam negeri dalam mengkaji perda-perda yang diduga bermasalah itu? Apakah pembatalan dilakukan terhadap keseluruhan perda atau hanya sebagian pasal saja? Bagaimana akibat hukum atas kebijakan yang lahir atas dasar perda yang dibatalkan? Upaya hukum apa yang tersedia jika pemda dan/atau masyarakat daerah merasa dirugikan karena pembatalan perda itu?
Tidak ada pengaturan yang lebih lanjut yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Minimnya pengaturan memberikan kewenangan yang sangat luas bagi mendagri. Luasnya diskresi mendagri ini sayangnya tidak diikuti dengan adanya mekanisme kontrol. Di sinilah rentan terjadi penyalahgunaan wewenang.
Ke depan, perdebatan ini bisa dibawa ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kewenangan pembatalan perda ini, bisa mengajukan judicial review atas UU Pemda. MK akan memberikan kata final atas pertanyaan-pertanyaan terkait konstitusionalitas kewenangan pemerintah untuk membatalkan perda.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
PEMERINTAH telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (perda). Menteri dalam negeri (Mendagri) sebagai pihak yang berwenang dalam pembatalan ribuan perda ini beralasan bahwa perda-perda tersebut telah mengganggu iklim ekonomi dan investasi. Tercatat bahwa ini merupakan pembatalan perda secara masif dari sisi kuantitas yang pernah dilakukan oleh pemerintah. Namun, pembatalan ribuan perda ini telah menimbulkan perdebatan.
Banyak pihak mempertanyakan aspek konstitusionalitas kewenangan mendagri untuk membatalkan perda-perda tersebut. Bahkan menurut Mahfud MD, mekanisme pembatalan perda itu keliru secara hukum. Dalam tulisannya di koran ini, Mahfud berpendapat bahwa seharusnya upaya yang ditempuh untuk membatalkan perda-perda yang dianggap bermasalah itu melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung (MA), bukan melalui mendagri. Sementara di sisi lain, pemerintah bersikukuh bahwa pembatalan perda ini semata-mata dilakukan karena memang dibenarkan oleh UU Pemerintahan Daerah.
Polemik perihal kewenangan mendagri ini muncul lantaran tidak sinkronnya berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini ada dua UU yang saling bertabrakan, yaitu UU Pemda dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, UU Pemda juga dinilai bertentangan dengan konstitusi, khususnya mengenai mekanisme pengujian terhadap perda.
Rezim Pengawasan
Dari perspektif hukum pemda, mekanisme pembatalan perda bukanlah hal baru. Mekanisme ini telah diperkenalkan sejak era pemerintahan orde lama melalui UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan tersebut bermetamorfosa hingga saat ini. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang digunakan saat ini juga memuat aturan serupa.
UU Pemda menggunakan pendekatan executive review atau pengujian sebuah aturan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini yang melakukan pengujian atas Perda adalah kementerian dalam negeri. Seolah-olah, pemerintah pusat menjadi hakim yang melakukan review atas produk hukum daerah. Dalam perspektif hukum pemda, pembatalan perda merupakan bagian dari mekanisme pengawasan pusat atas daerah.
Ada dua model pengawasan yang dilakukan. Pertama, pengawasan represif (repressief toezicht) dan kedua, pengawasan preventif (preventief toezicht). Kedua model pengawasan ini dilakukan sebagai mekanisme kontrol pusat atas produk hukum daerah, baik berupa perda maupun peraturan kepala daerah, sehingga setiap penyusunan regulasi di daerah harus dikonsultasikan ke pemerintah pusat dan jika ditemukan perda yang dianggap bermasalah maka pemerintah pusat berwenang membatalkannya.
Kewenangan pembatalan perda ini telah secara tegas diatur dalam UU Pemda. Akan tetapi memang tidak ada pengaturan lebih rinci bagaimana kewenangan pembatalan itu dilakukan. UU hanya mengatur bahwa ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dasar pembatalan, yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
Bertentangan dengan kepentingan umum meliputi; terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, dan gender.
Alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar pembatalan masih sangat umum-abstrak sehingga memberikan ruang penafsiran yang sangat luas bagi pemegang kewenangan ini.
Rezim Judicial Review
Berbeda dengan UU Pemda, konstitusi menganut rezim judicial review atau pengujian melalui mekanisme peradilan bagi peraturan yang diduga melanggar konstitusi atau peraturan di atasnya. Dalam Pasal 24A dan 24C ditegaskan bahwa bagi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 diuji di MK, sementara peraturan di bawah UU diuji di MA.
Pengaturan ini ditegaskan lagi dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dengan UU, pengujiannya dilakukan oleh MA.
Menurut ketentuan Pasal 7 UU 12/2011, perda merupakan salah satu jenis aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang posisinya berada di bawah UU. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, hanya MA-lah yang berwenang menguji sebuah perda. Sehingga dari sudut pandang konstitusi, ketentuan pembatalan perda yang dilakukan oleh mendagri jelas bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 dan secara horizontal dengan UU 12/2011.
Hak pemda untuk membuat perda dilindungi oleh konstitusi. Ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 6 UUD 1945 bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ini artinya, kewenangan pemda dalam membuat perda bersumber langsung dari konstitusi.
Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa penyusunan perda bukanlah perkara sederhana. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui, termasuk konsultasi dengan pemerintah pusat. Perda tidak hanya disusun oleh pemda dan DPRD saja. Ada banyak stakeholder yang terlibat melalui partisipasi masyarakat. Bahkan ada perda yang memang diinisiasi oleh kelompok masyarakat sipil. Secara biaya, penyusunan sebuah perda bisa memakan ratusan juta rupiah dana APBD. Karenanya, pembatalan sebuah perda harus betul-betul melalui pertimbangan yang matang.
Selain berpotensi melanggar konstitusi, mekanisme pembatalan perda ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya bagaimana mekanisme yang digunakan kementerian dalam negeri dalam mengkaji perda-perda yang diduga bermasalah itu? Apakah pembatalan dilakukan terhadap keseluruhan perda atau hanya sebagian pasal saja? Bagaimana akibat hukum atas kebijakan yang lahir atas dasar perda yang dibatalkan? Upaya hukum apa yang tersedia jika pemda dan/atau masyarakat daerah merasa dirugikan karena pembatalan perda itu?
Tidak ada pengaturan yang lebih lanjut yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Minimnya pengaturan memberikan kewenangan yang sangat luas bagi mendagri. Luasnya diskresi mendagri ini sayangnya tidak diikuti dengan adanya mekanisme kontrol. Di sinilah rentan terjadi penyalahgunaan wewenang.
Ke depan, perdebatan ini bisa dibawa ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kewenangan pembatalan perda ini, bisa mengajukan judicial review atas UU Pemda. MK akan memberikan kata final atas pertanyaan-pertanyaan terkait konstitusionalitas kewenangan pemerintah untuk membatalkan perda.
(kri)