Menanti Eksekusi Mati
A
A
A
Prof Amzulian Rifai, Ph.D
Ketua Ombudsman RI
BEBERAPA minggu lalu Jaksa Agung RI menegaskan eksekusi terpidana mati narkoba akan dilakukan segera setelah semua persiapan selesai. Meski enggan membocorkan kapan waktu persisnya, jaksa agung mengatakan telah menyiapkan rohaniwan untuk eksekusi terpidana mati tahap tiga tersebut. Juga dikemukakan, eksekusi akan dilaksanakan di Nusakambangan seperti dua eksekusi sebelumnya.
Konon kategori priority adalah para penjahat narkoba yang telah memiliki putusan pengadilan bersifat tetap (inkracht). Memang di antara mereka masih menggunakan upaya hukum terakhir (lagi), lebih sekadar upaya menunda eksekusi saja. Sesungguhnya tidak ada bukti baru (novum) sebagai dasar peninjauan kembali.
Tiga terpidana mati dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Tembesi di Batam sudah dipindahkan ke penjara Nusakambangan Minggu 8 Mei malam. Mereka adalah Agus Hadi (53), Pudjo (42), dan Suryanto (53). Ketiganya dijatuhi hukuman mati atas dakwaan perdagangan narkoba. Tiga tahanan dari Batam itu disatukan dengan beberapa terpidana mati lainnya. Di Nusakambangan, sudah ada 59 terpidana mati yang menanti eksekusi.
Dari aspek kemanusiaan semata, "wajar saja" jika para outlaws ini melakukan berbagai cara untuk menghapus status terpidana mati. Sejahat apa pun seseorang, dia tetaplah manusia yang memiliki berbagai perasaan. Pada tingkatan tertentu, siapa saja memiliki perasaan waswas, takut, rindu, juga berbaur dengan berbagai kenangan hidup. Semua ini menambah hasratnya untuk tidak ingin dieksekusi mati.
Pro dan Kontra
Perdebatan soal hukuman mati tidak pernah berhenti. Ada pro dan kontra yang cukup kuat terhadap digunakannya instrumen hukuman mati ini. Sungguhpun beberapa angka dan fakta memberikan bayangan kepada kita soal hukuman mati.
Sebagai "bahan cerita", jumlah eksekusi mati di dunia tahun 2015 tertinggi sejak tahun 1990. Hampir 90% di antaranya terjadi di Iran, Arab Saudi, dan Pakistan. Sementara Indonesia masuk dalam daftar 10 besar. Mengutip Amnesty International, di tahun 2015 setidaknya 1.634 orang menemui ajal melalui vonis mati.
Diyakini bahwa jumlah eksekusi mati sebenarnya jauh lebih tinggi, mengingat negara seperti China tidak mengeluarkan angka resmi jumlah tereksekusi mati. Angka eksekusi mati yang diketahui meningkat lebih dari 50% dibanding 2014. Peningkatan jumlah signifikan ini tentu saja mengkhawatirkan baik bagi negara yang pro maupun kelompok yang kontra dengan hukuman mati.
Negara yang pro dengan hukuman mati memandang "hanya dengan cara ini" mereka dapat mengatasi berbagai kejahatan yang sudah di luar batas. Di luar batas perikemanusiaan baik skala maupun cara melakukannya. Kejahatan narkoba yang parahnya sudah maksimal menjadi alasan menerapkan hukuman mati ini.
Negara yang pro dengan hukuman mati pun "terus aktif" melaksanakan eksekusi mati. Setidaknya 977 narapidana dihukum mati di Iran tahun lalu. Mereka kebanyakan terjerat delik perdagangan narkoba. Sementara Pakistan melaksanakan lebih dari 320 eksekusi. Dan sedikitnya 158 orang dihukum pancung di Arab Saudi. China tetap dengan hukuman mati tertinggi, lebih dari 1.000 eksekusi mati pada 2015.
Indonesia yang kembali menggulirkan eksekusi mati di awal era Presiden Joko Widodo berada di posisi kesembilan dengan 14 narapidana. Bahkan Nigeria pada 2014 mengeksekusi mati 659 orang, meningkat lebih dari 500 orang bila dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya 141 orang. Bahkan pengadilan militer menghukum mati sebanyak 70 tentara. Mereka divonis terkait dengan konflik senjata dengan Boko Haram. Sementara itu Mesir menghukum mati 509 orang di tahun 2014. Jumlah itu meningkat 400 orang bila dibandingkan dengan tahun 2013.
Salah satu alasan negara yang pro dengan hukuman mati menilai kelakuan para outlaws itu "sudah kelewatan", di luar nilai-nilai kemanusiaan. Selain terkait dengan national security, juga ada di antara mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perdagangan narkoba yang sudah membunuh banyak pengguna.
Negara seperti Indonesia telah mendeklarasikan narkoba sebagai kejahatan luar biasa. Itu juga sebabnya diyakini hanya dengan cara-cara luar biasa saja diprediksi mampu mengurangi kejahatan jenis ini. Eksekusi mati tidak dipandang sebagai pelanggaran HAM karena tindakan itu justru proteksi pula terhadap korban pelanggaran HAM luar biasa.
Namun berbeda bagi mereka yang kontra dengan hukuman mati. Pihak yang kontra terhadap hukuman mati menilai hukuman ini sebagai tindakan mencabut nyawa yang bertentangan dengan sila-sila yang ada di Pancasila. Padahal, menurut kelompok ini, hanya Tuhan saja yang memiliki hak untuk mencabut nyawa seseorang, bukan oleh manusia lainnya.
Mereka yang kontra dengan hukuman mati berargumentasi pula jika hukuman mati yang bertujuan menimbulkan efek jera, juga tidak mencapai tujuan itu. Malah ditegaskan efek jera atas hukuman mati adalah sebuah ilusi. Ilusi atas kegagalan negara dalam melindungi masyarakatnya. Kejahatan narkotika tetap akan ada manakala negara tidak siap dengan strategi komprehensif dan tuntas. Justru dengan mengedepankan penegakan hukum semata, itu merupakan langkah mundur yang tidak solutif.
Menghapus Hukuman Mati
Gerakan untuk menghapus hukuman mati terus menggema. Negara-negara Eropa menjadi pelopornya. Ada lembaga donor dalam berbagai jelmaannya juga bergerak men-support berbagai organisasi untuk berkampanye menghapus hukuman mati. Tentu saja atas nama perlindungan hak asasi manusia.
Memang jumlah negara yang menghapus hukuman mati terus meningkat dari masa ke masa. Filipina misalnya, telah menghapus hukuman mati sejak 2006. Mayoritas negara yang menghapus hukuman mati adalah negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara dan Amerika Selatan. Sejauh ini terdapat lebih dari 117 negara di dunia telah menghapus hukuman mati baik dalam perundangan maupun dalam praktiknya.
Negara-negara yang menghapus hukuman mati mengajukan beberapa alasan signifikan. Pertama, hukuman mati menempatkan nyawa yang tidak berdosa berisiko (puts innocent lives at risk). Penyebabnya karena ada kemungkinan seseorang yang sesungguhnya benar-benar tidak bersalah tetapi terlanjur diganjar hukuman mati.
Di Amerika Serikat misalnya, sejak diterapkannya kembali hukuman mati tahun 1976, ada 138 terpidana mati yang dibatalkan eksekusi matinya. Malah ada di antara mereka yang dibatalkan pelaksanaan eksekusinya dalam hitungan menit. Alasan lainnya, pengacara yang lemah pembelaannya sangat mungkin berakhir dengan hukuman mati.
Diyakini bahwa beberapa terpidana mati terjadi karena memang tidak efektifnya strategi pembelaan. Suatu studi oleh Columbia University menyimpulkan, 68% hukuman mati dibatalkan oleh pengadilan tinggi. Adapun mereka yang tetap dihukum mati dikarenakan lemahnya pembelaan.
Hukuman Mati dan Kedaulatan
Dalam hubungan antarnegara mana pun, persoalan yang sering kali paling sensitif adalah perihal kedaulatan (sovereignity). Diterapkan atau dihapuskannya hukuman mati juga terkait dengan kedaulatan suatu negara. Isu hukuman mati tentu saja sangat mudah mengganggu hubungan antarnegara.
Hubungan Indonesia-Australia yang memang sering kali up and down sempat menurun drastis ketika dua pelaku kriminal narkoba warga Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dieksekusi mati. Perdana Menteri Australia Tony Abort "marah besar" dengan memanggil pulang duta besarnya. Itu pun masih dikaitkan dengan jasa bantuan kemanusiaan Australia saat bencana Tsunami Aceh di masa lalu.
Indonesia juga menghadapi berbagai tekanan di saat harus mengeksekusi mati para terpidana mati yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya para terhukum ini telah menggunakan semua upaya hukum yang menjadi haknya. Tidak ada lagi upaya hukum yang dapat digunakan untuk menghapus label terhukum mati. Tekanan terhadap Indonesia akan terus ada karena sejauh ini "kebanyakan" para terhukum mati adalah warga negara asing.
Secara yuridis tidak ada yang salah dengan sikap tegas Jaksa Agung mengeksekusi para terhukum mati. Penyebabnya karena Indonesia menjalankan kedaulatannya. Pro dan kontra boleh saja tetap ada, tetapi secara yuridis perundang-undangan Indonesia memang memberlakukan vonis mati.
Dalam kondisi "hiruk-pikuk" protes negara lain, Presiden Joko Widodo tetap menegaskan untuk melanjutkan eksekusi mati. Sikap tegas ini selain menunjukkan kedaulatan hukum Indonesia, juga sebagai langkah serius menghapus berbagai kejahatan yang sangat meresahkan seperti perdagangan narkoba. Ini artinya kita tengah menanti realisasi eksekusi mati yang tidak lama lagi akan terjadi.
Ketua Ombudsman RI
BEBERAPA minggu lalu Jaksa Agung RI menegaskan eksekusi terpidana mati narkoba akan dilakukan segera setelah semua persiapan selesai. Meski enggan membocorkan kapan waktu persisnya, jaksa agung mengatakan telah menyiapkan rohaniwan untuk eksekusi terpidana mati tahap tiga tersebut. Juga dikemukakan, eksekusi akan dilaksanakan di Nusakambangan seperti dua eksekusi sebelumnya.
Konon kategori priority adalah para penjahat narkoba yang telah memiliki putusan pengadilan bersifat tetap (inkracht). Memang di antara mereka masih menggunakan upaya hukum terakhir (lagi), lebih sekadar upaya menunda eksekusi saja. Sesungguhnya tidak ada bukti baru (novum) sebagai dasar peninjauan kembali.
Tiga terpidana mati dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Tembesi di Batam sudah dipindahkan ke penjara Nusakambangan Minggu 8 Mei malam. Mereka adalah Agus Hadi (53), Pudjo (42), dan Suryanto (53). Ketiganya dijatuhi hukuman mati atas dakwaan perdagangan narkoba. Tiga tahanan dari Batam itu disatukan dengan beberapa terpidana mati lainnya. Di Nusakambangan, sudah ada 59 terpidana mati yang menanti eksekusi.
Dari aspek kemanusiaan semata, "wajar saja" jika para outlaws ini melakukan berbagai cara untuk menghapus status terpidana mati. Sejahat apa pun seseorang, dia tetaplah manusia yang memiliki berbagai perasaan. Pada tingkatan tertentu, siapa saja memiliki perasaan waswas, takut, rindu, juga berbaur dengan berbagai kenangan hidup. Semua ini menambah hasratnya untuk tidak ingin dieksekusi mati.
Pro dan Kontra
Perdebatan soal hukuman mati tidak pernah berhenti. Ada pro dan kontra yang cukup kuat terhadap digunakannya instrumen hukuman mati ini. Sungguhpun beberapa angka dan fakta memberikan bayangan kepada kita soal hukuman mati.
Sebagai "bahan cerita", jumlah eksekusi mati di dunia tahun 2015 tertinggi sejak tahun 1990. Hampir 90% di antaranya terjadi di Iran, Arab Saudi, dan Pakistan. Sementara Indonesia masuk dalam daftar 10 besar. Mengutip Amnesty International, di tahun 2015 setidaknya 1.634 orang menemui ajal melalui vonis mati.
Diyakini bahwa jumlah eksekusi mati sebenarnya jauh lebih tinggi, mengingat negara seperti China tidak mengeluarkan angka resmi jumlah tereksekusi mati. Angka eksekusi mati yang diketahui meningkat lebih dari 50% dibanding 2014. Peningkatan jumlah signifikan ini tentu saja mengkhawatirkan baik bagi negara yang pro maupun kelompok yang kontra dengan hukuman mati.
Negara yang pro dengan hukuman mati memandang "hanya dengan cara ini" mereka dapat mengatasi berbagai kejahatan yang sudah di luar batas. Di luar batas perikemanusiaan baik skala maupun cara melakukannya. Kejahatan narkoba yang parahnya sudah maksimal menjadi alasan menerapkan hukuman mati ini.
Negara yang pro dengan hukuman mati pun "terus aktif" melaksanakan eksekusi mati. Setidaknya 977 narapidana dihukum mati di Iran tahun lalu. Mereka kebanyakan terjerat delik perdagangan narkoba. Sementara Pakistan melaksanakan lebih dari 320 eksekusi. Dan sedikitnya 158 orang dihukum pancung di Arab Saudi. China tetap dengan hukuman mati tertinggi, lebih dari 1.000 eksekusi mati pada 2015.
Indonesia yang kembali menggulirkan eksekusi mati di awal era Presiden Joko Widodo berada di posisi kesembilan dengan 14 narapidana. Bahkan Nigeria pada 2014 mengeksekusi mati 659 orang, meningkat lebih dari 500 orang bila dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya 141 orang. Bahkan pengadilan militer menghukum mati sebanyak 70 tentara. Mereka divonis terkait dengan konflik senjata dengan Boko Haram. Sementara itu Mesir menghukum mati 509 orang di tahun 2014. Jumlah itu meningkat 400 orang bila dibandingkan dengan tahun 2013.
Salah satu alasan negara yang pro dengan hukuman mati menilai kelakuan para outlaws itu "sudah kelewatan", di luar nilai-nilai kemanusiaan. Selain terkait dengan national security, juga ada di antara mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perdagangan narkoba yang sudah membunuh banyak pengguna.
Negara seperti Indonesia telah mendeklarasikan narkoba sebagai kejahatan luar biasa. Itu juga sebabnya diyakini hanya dengan cara-cara luar biasa saja diprediksi mampu mengurangi kejahatan jenis ini. Eksekusi mati tidak dipandang sebagai pelanggaran HAM karena tindakan itu justru proteksi pula terhadap korban pelanggaran HAM luar biasa.
Namun berbeda bagi mereka yang kontra dengan hukuman mati. Pihak yang kontra terhadap hukuman mati menilai hukuman ini sebagai tindakan mencabut nyawa yang bertentangan dengan sila-sila yang ada di Pancasila. Padahal, menurut kelompok ini, hanya Tuhan saja yang memiliki hak untuk mencabut nyawa seseorang, bukan oleh manusia lainnya.
Mereka yang kontra dengan hukuman mati berargumentasi pula jika hukuman mati yang bertujuan menimbulkan efek jera, juga tidak mencapai tujuan itu. Malah ditegaskan efek jera atas hukuman mati adalah sebuah ilusi. Ilusi atas kegagalan negara dalam melindungi masyarakatnya. Kejahatan narkotika tetap akan ada manakala negara tidak siap dengan strategi komprehensif dan tuntas. Justru dengan mengedepankan penegakan hukum semata, itu merupakan langkah mundur yang tidak solutif.
Menghapus Hukuman Mati
Gerakan untuk menghapus hukuman mati terus menggema. Negara-negara Eropa menjadi pelopornya. Ada lembaga donor dalam berbagai jelmaannya juga bergerak men-support berbagai organisasi untuk berkampanye menghapus hukuman mati. Tentu saja atas nama perlindungan hak asasi manusia.
Memang jumlah negara yang menghapus hukuman mati terus meningkat dari masa ke masa. Filipina misalnya, telah menghapus hukuman mati sejak 2006. Mayoritas negara yang menghapus hukuman mati adalah negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara dan Amerika Selatan. Sejauh ini terdapat lebih dari 117 negara di dunia telah menghapus hukuman mati baik dalam perundangan maupun dalam praktiknya.
Negara-negara yang menghapus hukuman mati mengajukan beberapa alasan signifikan. Pertama, hukuman mati menempatkan nyawa yang tidak berdosa berisiko (puts innocent lives at risk). Penyebabnya karena ada kemungkinan seseorang yang sesungguhnya benar-benar tidak bersalah tetapi terlanjur diganjar hukuman mati.
Di Amerika Serikat misalnya, sejak diterapkannya kembali hukuman mati tahun 1976, ada 138 terpidana mati yang dibatalkan eksekusi matinya. Malah ada di antara mereka yang dibatalkan pelaksanaan eksekusinya dalam hitungan menit. Alasan lainnya, pengacara yang lemah pembelaannya sangat mungkin berakhir dengan hukuman mati.
Diyakini bahwa beberapa terpidana mati terjadi karena memang tidak efektifnya strategi pembelaan. Suatu studi oleh Columbia University menyimpulkan, 68% hukuman mati dibatalkan oleh pengadilan tinggi. Adapun mereka yang tetap dihukum mati dikarenakan lemahnya pembelaan.
Hukuman Mati dan Kedaulatan
Dalam hubungan antarnegara mana pun, persoalan yang sering kali paling sensitif adalah perihal kedaulatan (sovereignity). Diterapkan atau dihapuskannya hukuman mati juga terkait dengan kedaulatan suatu negara. Isu hukuman mati tentu saja sangat mudah mengganggu hubungan antarnegara.
Hubungan Indonesia-Australia yang memang sering kali up and down sempat menurun drastis ketika dua pelaku kriminal narkoba warga Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dieksekusi mati. Perdana Menteri Australia Tony Abort "marah besar" dengan memanggil pulang duta besarnya. Itu pun masih dikaitkan dengan jasa bantuan kemanusiaan Australia saat bencana Tsunami Aceh di masa lalu.
Indonesia juga menghadapi berbagai tekanan di saat harus mengeksekusi mati para terpidana mati yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya para terhukum ini telah menggunakan semua upaya hukum yang menjadi haknya. Tidak ada lagi upaya hukum yang dapat digunakan untuk menghapus label terhukum mati. Tekanan terhadap Indonesia akan terus ada karena sejauh ini "kebanyakan" para terhukum mati adalah warga negara asing.
Secara yuridis tidak ada yang salah dengan sikap tegas Jaksa Agung mengeksekusi para terhukum mati. Penyebabnya karena Indonesia menjalankan kedaulatannya. Pro dan kontra boleh saja tetap ada, tetapi secara yuridis perundang-undangan Indonesia memang memberlakukan vonis mati.
Dalam kondisi "hiruk-pikuk" protes negara lain, Presiden Joko Widodo tetap menegaskan untuk melanjutkan eksekusi mati. Sikap tegas ini selain menunjukkan kedaulatan hukum Indonesia, juga sebagai langkah serius menghapus berbagai kejahatan yang sangat meresahkan seperti perdagangan narkoba. Ini artinya kita tengah menanti realisasi eksekusi mati yang tidak lama lagi akan terjadi.
(kri)