Nasionalisme Versus Transnasionalisme
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
WARGA bangsa Indonesia hingga kini masih dalam suasana memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan Harkitnas merujuk pada pendirian gerakan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Jakarta oleh Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter. Meski pada awalnya lebih menunjukkan sifat eksklusif karena anggotanya Jawa sentris, sejak 1930 Budi Utomo membuka diri bagi orang luar Jawa.
Tanggal pendirian Budi Utomo ditetapkan sebagai permulaan kebangkitan nasional atau gerakan kebangsaan (nasionalisme). Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Budi Utomo merupakan permulaan dari siklus 20 tahunan yang sangat menentukan perjalanan bangsa. Seperti diketahui, setelah berdirinya Budi Utomo terjadi beberapa peristiwa yang sangat melegenda.
Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan episode kedua yang menunjukkan semangat kaum muda tatkala berikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Selanjutnya pada 1945 lahir angkatan 45 yang berperan dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Pada 1966 ditandai dengan munculnya angkatan 66 yang menyelamatkan bangsa dari pemberontakan Gerakan 30 September.
Rezim Orde Baru yang menggantikan Orde Lama juga dilanda gerakan protes sejak pertengahan 1980-an. Meski demikian, gerakan protes itu baru menunjukkan hasil spektakuler pada 21 Mei 1998, tatkala Presiden Soeharto menyatakan mundur. Sejak Orde Baru tumbang pada 1998, kita pun mengenal era reformasi. Sayang sekali, spirit reformasi yang penuh idealita itu harus berjalan tertatih-tatih. Itu karena ada begitu banyak persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya yang terus mendera bangsa.
Sebagai gerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis-Jawa, Budi Utomo telah menunjukkan sifat terbuka. Itu dapat diamati melalui penerimaan anggota Budi Utomo terhadap kelompok dari luar. Dalam hal ini patut dikemukakan hubungan baik tokoh-tokoh Budi Utomo dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri dan ideolog Muhammadiyah. Kiai Dahlan bahkan aktif mengajar agama di kalangan aktivis Budi Utomo.
Saat Budi Utomo menyelenggarakan kongres pada 1917, Kiai Dahlan diundang secara khusus untuk memberikan ceramah. Hebatnya, kongres itu diselenggarakan di rumah Kiai Dahlan. Peserta kongres sangat tertarik dengan ceramah Kiai Dahlan. Sebagian anggota Budi Utomo juga meminta Kiai Dahlan memberikan pengajian sekaligus membuka cabang Muhammadiyah di daerahnya.
Fakta sejarah yang menarik ini penting karena dapat memberikan pelajaran bahwa telah terjadi sinergi antara pelopor gerakan nasionalisme dengan tokoh-tokoh Islam. Sinergi itu dimungkinkan karena di antara mereka memiliki kesamaan tujuan, yakni mengantar bangsa menjadi lebih maju, berdaulat, dan terbebas dari segala penindasan.
Pertemuan tokoh-tokoh nasionalis dan agamais juga menunjukkan bahwa cita-cita gerakan kebangsaan sejalan dengan ajaran agama. Melalui gerakan kebangsaan, tokoh-tokoh nasionalis-agamais berjuang dengan sepenuh hati untuk mencapai kedaulatan bangsa. Apalagi Islam juga mengajarkan sejumlah nilai yang sejalan dengan nasionalisme, seperti kemerdekaan (al-hurriyah), keadilan (al-adalah), musyawarah (syura), dan kesamaan derajat (al-musawa).
Nilai-nilai keagamaan itu jelas relevan dengan keinginan tokoh-tokoh pergerakan agar bangsa terbebas dari kolonialisme. Melalui kesamaan persepsi inilah tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berlatar belakang nasionalis maupun agamais, bersatu untuk mewujudkan suatu organisasi politik yang dalam konteks modern disebut negara bangsa (nation-state).
Kesadaran mengenai pentingnya mewujudkan suatu bangsa jelas membutuhkan pengorbanan. Apalagi jika berkaca pada realitas kemajemukan bangsa yang multietnik, agama, dan budaya. Dalam konteks inilah perlu dipahami pernyataan teoretikus politik asal Prancis, Ernest Renan (1823-1892). Renan mendefinisikan bangsa sebagai suatu perwujudan solidaritas tingkat tinggi yang dibangun oleh kesediaan berkorban pada masa lalu berikut kesiapan menghadapi masa depan.
Ungkapan Renan memberikan penegasan bahwa untuk tetap menjadi suatu bangsa dibutuhkan kemampuan merawat solidaritas dan semangat rela berkorban. Untuk merawat nilai-nilai solidaritas dan pengorbanan yang menjadi ikatan suatu bangsa ternyata tidak mudah. Apalagi, saat ini keinginan untuk memperkuat gagasan tentang kebangsaan memperoleh tantangan seiring dengan menguatnya posisi gerakan keagamaan yang bercorak transnasional. Gerakan keagamaan transnasional bisa ditemukan dalam beberapa kelompok Islam yang senantiasa memperjuangkan simbol-simbol keislaman.
Meski gerakan keagamaan transnasional sangat bervariasi, umumnya mereka memiliki pandangan politik yang sama. Doktrin politik yang dianut adalah bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan. Ajaran Islam dipahami mencakup persoalan agama dan negara sekaligus (al-din wa al-dawlah). Doktrin ini menekankan Islam sebagai totalitas sistem yang secara universal bersifat kompatibel sehingga harus dilaksanakan di segala waktu dan tempat.
Bagi gerakan keagamaan yang fundamentalis, pemisahan agama dan negara adalah sesuatu yang tidak terbayangkan. Kelompok fundamentalis juga berpandangan bahwa praktik politik yang harus dijadikan rujukan adalah Islam periode awal, yakni pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Cita-cita kelompok Islam politik ini kemudian diwujudkan melalui perjuangan yang berorientasi pada gerakan transnasional. Kelompok ini berpandangan bahwa sistem khilafah merupakan solusi untuk menegakkan cita-cita politik umat.
Dengan mencitakan dunia yang dipimpin seorang khalifah berarti tidak ada tempat bagi gagasan nasionalisme. Itu karena nasionalisme menekankan kesamaan tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan nasionalisme juga mengakui eksistensi keragaman etnik, agama, budaya, dan bahasa, sebagai entitas yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Lain dengan itu, gagasan transnasional bersifat lintas batas dan didasarkan kesamaan agama. Pandangan ini jelas bertabrakan dengan gagasan nasionalisme dan hukum internasional yang mengatur batas wilayah suatu bangsa. Kini tugas kita adalah mengajak kelompok-kelompok fundamentalis untuk terus berdialog. Kelompok-kelompok fundamentalis harus diyakinkan bahwa nasionalisme sejalan dengan ajaran agama dan keinginan para pendiri negeri. Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan hasil konsensus tokoh-tokoh nasionalis-agamais. Kini tugas semua komponen bangsa adalah mengisi negeri tercinta dengan berbagai capaian yang membanggakan.
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
WARGA bangsa Indonesia hingga kini masih dalam suasana memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan Harkitnas merujuk pada pendirian gerakan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Jakarta oleh Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter. Meski pada awalnya lebih menunjukkan sifat eksklusif karena anggotanya Jawa sentris, sejak 1930 Budi Utomo membuka diri bagi orang luar Jawa.
Tanggal pendirian Budi Utomo ditetapkan sebagai permulaan kebangkitan nasional atau gerakan kebangsaan (nasionalisme). Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Budi Utomo merupakan permulaan dari siklus 20 tahunan yang sangat menentukan perjalanan bangsa. Seperti diketahui, setelah berdirinya Budi Utomo terjadi beberapa peristiwa yang sangat melegenda.
Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan episode kedua yang menunjukkan semangat kaum muda tatkala berikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Selanjutnya pada 1945 lahir angkatan 45 yang berperan dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Pada 1966 ditandai dengan munculnya angkatan 66 yang menyelamatkan bangsa dari pemberontakan Gerakan 30 September.
Rezim Orde Baru yang menggantikan Orde Lama juga dilanda gerakan protes sejak pertengahan 1980-an. Meski demikian, gerakan protes itu baru menunjukkan hasil spektakuler pada 21 Mei 1998, tatkala Presiden Soeharto menyatakan mundur. Sejak Orde Baru tumbang pada 1998, kita pun mengenal era reformasi. Sayang sekali, spirit reformasi yang penuh idealita itu harus berjalan tertatih-tatih. Itu karena ada begitu banyak persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya yang terus mendera bangsa.
Sebagai gerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis-Jawa, Budi Utomo telah menunjukkan sifat terbuka. Itu dapat diamati melalui penerimaan anggota Budi Utomo terhadap kelompok dari luar. Dalam hal ini patut dikemukakan hubungan baik tokoh-tokoh Budi Utomo dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri dan ideolog Muhammadiyah. Kiai Dahlan bahkan aktif mengajar agama di kalangan aktivis Budi Utomo.
Saat Budi Utomo menyelenggarakan kongres pada 1917, Kiai Dahlan diundang secara khusus untuk memberikan ceramah. Hebatnya, kongres itu diselenggarakan di rumah Kiai Dahlan. Peserta kongres sangat tertarik dengan ceramah Kiai Dahlan. Sebagian anggota Budi Utomo juga meminta Kiai Dahlan memberikan pengajian sekaligus membuka cabang Muhammadiyah di daerahnya.
Fakta sejarah yang menarik ini penting karena dapat memberikan pelajaran bahwa telah terjadi sinergi antara pelopor gerakan nasionalisme dengan tokoh-tokoh Islam. Sinergi itu dimungkinkan karena di antara mereka memiliki kesamaan tujuan, yakni mengantar bangsa menjadi lebih maju, berdaulat, dan terbebas dari segala penindasan.
Pertemuan tokoh-tokoh nasionalis dan agamais juga menunjukkan bahwa cita-cita gerakan kebangsaan sejalan dengan ajaran agama. Melalui gerakan kebangsaan, tokoh-tokoh nasionalis-agamais berjuang dengan sepenuh hati untuk mencapai kedaulatan bangsa. Apalagi Islam juga mengajarkan sejumlah nilai yang sejalan dengan nasionalisme, seperti kemerdekaan (al-hurriyah), keadilan (al-adalah), musyawarah (syura), dan kesamaan derajat (al-musawa).
Nilai-nilai keagamaan itu jelas relevan dengan keinginan tokoh-tokoh pergerakan agar bangsa terbebas dari kolonialisme. Melalui kesamaan persepsi inilah tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berlatar belakang nasionalis maupun agamais, bersatu untuk mewujudkan suatu organisasi politik yang dalam konteks modern disebut negara bangsa (nation-state).
Kesadaran mengenai pentingnya mewujudkan suatu bangsa jelas membutuhkan pengorbanan. Apalagi jika berkaca pada realitas kemajemukan bangsa yang multietnik, agama, dan budaya. Dalam konteks inilah perlu dipahami pernyataan teoretikus politik asal Prancis, Ernest Renan (1823-1892). Renan mendefinisikan bangsa sebagai suatu perwujudan solidaritas tingkat tinggi yang dibangun oleh kesediaan berkorban pada masa lalu berikut kesiapan menghadapi masa depan.
Ungkapan Renan memberikan penegasan bahwa untuk tetap menjadi suatu bangsa dibutuhkan kemampuan merawat solidaritas dan semangat rela berkorban. Untuk merawat nilai-nilai solidaritas dan pengorbanan yang menjadi ikatan suatu bangsa ternyata tidak mudah. Apalagi, saat ini keinginan untuk memperkuat gagasan tentang kebangsaan memperoleh tantangan seiring dengan menguatnya posisi gerakan keagamaan yang bercorak transnasional. Gerakan keagamaan transnasional bisa ditemukan dalam beberapa kelompok Islam yang senantiasa memperjuangkan simbol-simbol keislaman.
Meski gerakan keagamaan transnasional sangat bervariasi, umumnya mereka memiliki pandangan politik yang sama. Doktrin politik yang dianut adalah bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan. Ajaran Islam dipahami mencakup persoalan agama dan negara sekaligus (al-din wa al-dawlah). Doktrin ini menekankan Islam sebagai totalitas sistem yang secara universal bersifat kompatibel sehingga harus dilaksanakan di segala waktu dan tempat.
Bagi gerakan keagamaan yang fundamentalis, pemisahan agama dan negara adalah sesuatu yang tidak terbayangkan. Kelompok fundamentalis juga berpandangan bahwa praktik politik yang harus dijadikan rujukan adalah Islam periode awal, yakni pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat. Cita-cita kelompok Islam politik ini kemudian diwujudkan melalui perjuangan yang berorientasi pada gerakan transnasional. Kelompok ini berpandangan bahwa sistem khilafah merupakan solusi untuk menegakkan cita-cita politik umat.
Dengan mencitakan dunia yang dipimpin seorang khalifah berarti tidak ada tempat bagi gagasan nasionalisme. Itu karena nasionalisme menekankan kesamaan tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan nasionalisme juga mengakui eksistensi keragaman etnik, agama, budaya, dan bahasa, sebagai entitas yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Lain dengan itu, gagasan transnasional bersifat lintas batas dan didasarkan kesamaan agama. Pandangan ini jelas bertabrakan dengan gagasan nasionalisme dan hukum internasional yang mengatur batas wilayah suatu bangsa. Kini tugas kita adalah mengajak kelompok-kelompok fundamentalis untuk terus berdialog. Kelompok-kelompok fundamentalis harus diyakinkan bahwa nasionalisme sejalan dengan ajaran agama dan keinginan para pendiri negeri. Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan hasil konsensus tokoh-tokoh nasionalis-agamais. Kini tugas semua komponen bangsa adalah mengisi negeri tercinta dengan berbagai capaian yang membanggakan.
(poe)