Stop Bullying Sejak Dini

Selasa, 17 Mei 2016 - 19:01 WIB
Stop Bullying Sejak...
Stop Bullying Sejak Dini
A A A
Susanto
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia

KASUS bullying kembali mencuat. Kali ini bullying terjadi di SMA di Jakarta. Sebuah video beredar terdapat beberapa siswi SMA disiram, disuruh merokok, dan dipaksa memakai bra di luar seragam oleh siswa senior. Kasus ini menjadi fakta bahwa bullying masih mengakar dalam dunia pendidikan dan sekaligus dapat menjadi trigger untuk percepatan penerbitan peraturan presiden (perpres) tentang pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.

Bullying merupakan fenomena gunung es. Data bullying yang ada sejatinya belum merepresentasikan masalah yang sesungguhnya.Faktanya, kasus bullying masih banyak terjadi baik di sekolah negeri maupun swasta, baik sekolah di perkotaan maupun di desa. Fatalnya, kasus bullying yang seringkali terjadi selalu terwariskan dari generasi ke generasi dan kurang terpantau oleh guru, bahkan orang tua.

Kasus bullying bukan hanya terjadi pada jenjang SMP dan SLTA. Dari sejumlah data dan pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bullying terjadi pula pada jenjang anak usia dini. Pada usia inilah, kasus bullying kurang mendapat perhatian lebih karena dianggap hal yang wajar. Anak usia dini yang pasif, kurang bisa bersosialisasi dan cenderung mengalah, umumnya rentan menjadi korban bullying. Namun, kondisi ini seringkali lepas dari perhatian orang tua, guru, bahkan orang sekitar.

Dari sisi norma, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar bagi perlindungan anak. Undang-Undang (UU) Nomor 35/2014 atas Perubahan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 9 ayat 1 secara tegas menyatakan (a), ”setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/ atau pihak lain”. Meski secara normatif negara telah menunjukkan komitmennya, beragam permisivitas bullying masih terus terjadi dengan berbagai variasi dan polanya.

Kompleksitas Bullying
Data pengaduan KPAI pada 2015 menunjukkan anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa, sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Anak korban tawuran 71 siswa, sementara anak menjadi pelaku tawuran 88 siswa.

Di pihak lain, hasil riset global Ispsos bekerja sama dengan Reuters menempatkan kasus bullying sebagai masalah serius. Sebanyak 74% responden dari Indonesia menunjuk Facebook sebagai media tempat terjadi cyberbullying. Korban cyberbullying umum-nya anak usia sekolah. Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) melaporkan bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%.

Menurut penelitian Universities of Oxford, Warwick, Bristol, dan UCL, anak-anak yang sering di-bully baik oleh temannya maupun saudaranya sendiri berpotensi dua kali lebih besar mengalami depresi saat dewasa nanti. Selain itu, mereka juga berisiko dua kali lipat melakukan penganiayaan terhadap diri sendiri. Dampak dari bullying sangat besar apabila dilakukan oleh saudara sendiri daripada oleh orang lain. Dari pengakuan anak korban bully oleh saudara mereka beberapa kali seminggu, dua kali lipat lebih besar mengalami depresi hingga 12,3%, kecemasan 16%, dan 19% kemungkinan menyakiti diri sendiri.

Mencegah Bullying pada Anak
Maraknya kasus bullying yang menjadi tradisi membutuhkan upaya serius dari berbagai elemen bangsa. Tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi, serta paguyuban berbasis masyarakat perlu terlibat aktif sebelum terjadi kasus, bukan sebaliknya.

Orang tua, lingkungan sekitar, dan tenaga pendidik perlu melakukan langkah antisipatif agar anak tidak menjadi korban dan pelaku bullying. Berikut tips yang perlu dikembangkan.

Pertama, selalu waspada terhadap perilaku yang tidak biasa. Meski tak memiliki gejala yang sama, secara umum ada keluhan seperti sakit perut, khawatir, ketakutan, tidak mau ke sekolah, mudah marah, gampang tersinggung, membangkang, atau ada perubahan dalam tidur dan nafsu makan, merupakan pertanda ada masalah. Bisa kemungkinan bullying atau ada masalah lain yang perlu didalami lebih jauh.

Kedua, jadilah role model positif bagi anak. Menurut teori belajar Bandura, yang dikenal sebagai social learning (belajar sosial), anak belajar dari meniru ihwal yang dilakukan orang lain. Pendek kata, lingkungan adalah faktor penting yang memengaruhi perilaku. Jika anak dibesarkan di lingkungan permisif dengan bully, berpotensi anak melakukan hal yang sama.

Pola asuh orang tuanya dan orang terdekat seperti kakak, kakek, nenek, pengasuh, dan orang sekitar yang sering berinteraksi dengan anak bisa menjadi stimulus. Maka itu, jadilah model perilaku yang tepat dan terbaik untuk anak.

Ketiga, ajarilah anak apa makna menjadi teman baik. Tidak sedikit orang tua menyerahkan proses berteman anak secara alamiah, namun kurang mengenalkan nilai bagaimana berteman dengan baik dan apa manfaat berteman jika dilakukan dengan cara baik. Di antara skill berteman yang perlu ditumbuhkan pada anak adalah melatih kemampuan pengelolaan emosi, melatih anak bertemu sikap teman yang berbeda, serta melatih keterampilan sosial. Anak belajar mendengarkan sekaligus belajar berbicara. Anak belajar menyetujui sekaligus menolak ajakan teman secara efektif.

Keempat, jadikan rumah sebagai surga yang aman bagi anak seusai jam sekolah. Jadikan rumah sebagai surga bagi penghuninya. Lingkungan keluarga yang mendatangkan rasa aman dan nyaman, tanpa ada muatan kekerasan/ diskriminasi dalam bertutur kata, bersikap, dan bertindak adalah lingkungan terbaik. Tempat kembali dari aktivitas, untuk sama-sama menjadi pribadi yang saling menghargai dan saling melindungi, saling memahami, saling berbagi informasi, saling belajar, dan tak akan berhenti berlatih menjadi lebih baik. Inilah oleh Peter Senge disebut sebagai mastery learning (belajar tuntas).

Kelima, manfaatkan televisi sebagai media sarana belajar dan lindungi anak dari tayangan/hiburan/pemberitaan yang bermuatan kekerasan. Saat ini televisi belum semua acara TV memberikan jaminan aman bagi tumbuh kembang anak. Dampingi anak, pilihkan acara yang tepat untuk mereka dan jika ada tayangan bermuatan kekerasan, jelaskan secara tepat untuk tidak mencontoh perilaku tersebut. Tumbuhkan literasi anak agar mampu memilih dan memilah acara yang terbaik sesuai fase perkembangannya.

Keenam, jadilah pendengar yang baik untuk anak. Kesibukan kerja terkadang membuat orang tua mengabaikan cerita-cerita anak. Ada baiknya luangkan waktu sejenak untuk mendengarkan cerita, curhat, usulan, atau pandangan anak. Jauhkan kesan menghindar dari anak untuk menyampaikan cerita apalagi tertutup. Dengan menjadi pendengar yang baik, anak menjadi nyaman untuk mengungkapkan sesuatu serta membiasakan anak mendialogkan dengan orang tua jika ada ihwal yang terjadi pada diri anak, termasuk kemungkinan menjadi korban atau pelaku bully. Semoga...!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6891 seconds (0.1#10.140)