Mafia Hukum
A
A
A
ADA satu pertanyaan besar dalam benak setiap masyarakat Indonesia yang belum bisa dijawab dengan tegas oleh para pemegang otoritas. Mengapa praktik korupsi di lembaga peradilan kita begitu sulit diberantas?
Pertanyaan berikutnya, bukankah sudah berulang kali oknum-oknum di semua lembaga penegak hukum tertangkap tangan sedang melakukan transaksi kotor pengurusan kasus atau penanganan perkara dengan imbalan materi? Benarkah ada semacam organisasi bawah tanah yang sengaja beroperasi untuk meraup untung di tengah semakin keringnya rasa keadilan dalam hukum kita?
Tentu ini pertanyaan sulit. Kita semua pasti geregetan melihat perilaku aparat penegak hukum yang memanfaatkan posisinya untuk meraup keuntungan pribadi dengan memperjualbelikan rasa keadilan.
Terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan (OTT) seorang Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang disangka menerima suap dari pegawai swasta yang perusahaannya sedang terlibat perkara di pengadilan tersebut.
Dalam penangkapan di sebuah hotel di Jakarta itu, penyidik KPK menemukan bukti berupa uang tunai. KPK kemudian mengembangkan penyidikan dengan menggeledah ruang kerja dan rumah pribadi Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Dari penggeledahan itu ditemukan sejumlah bukti berupa uang miliaran rupiah, Nurhadi pun dicegah bepergian ke luar negeri oleh Imigrasi atas permintaan KPK. Belum jelas sejauh mana keterlibatan Nurhadi dalam dugaan suap penanganan perkara tersebut. Penyidikan sedang dikembangkan.
Penyimpangan dalam penegakan hukum tidak hanya terjadi di lingkungan lembaga peradilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga MA), tapi juga ada di kepolisian, kejaksaan, bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
KPK sebagai lembaga yang paling gencar memberantas praktik mafia hukum pun tak lepas dari jebakan maut virus mematikan ini. Benarkah kejahatan ini terorganisasi seperti halnya organisasi teroris maupun organisasi kejahatan yang mendunia?
Ada semacam energi besar yang bergerak dengan leluasa untuk mengondisikan praktik jual beli perkara dalam dunia peradilan kita. Jika dilihat dari fakta satu penangkapan ke penangkapan oknum penegak hukum, sepertinya kejahatan luar biasa ini terpelihara secara sistematis.
Ada semacam sistem yang bekerja otomatis di setiap lini dalam penanganan kasus, penyidikan perkara, persidangan hingga putusan hakim di pengadilan yang memaksa para pihak yang beperkara (dalam hal ini masyarakat) untuk menggunakan cara-cara kotor agar dimenangkan dengan imbalan uang atau materi-materi yang menggiurkan.
Jika asumsi di atas benar, berarti tidak gampang memberantas praktik mafia peradilan. Yang terjadi selama ini seperti memencet balon. Dipencet di bawah menggelembung ke atas, dipencet di atas menggelembung di bawah. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan yang tiada pernah putus. Karena itu pemberantasan mafia hukum tidak cukup hanya dilakukan oleh satu lembaga saja seperti KPK.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, KPK tidak mungkin sanggup bekerja sendirian menghadapi praktik mafia hukum yang sudah menggurita seperti kanker ganas ini.
Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai kepala pemerintahan harus ambil tindakan tegas yang nyata. Keterlibatan langsung pemerintah atau Presiden dalam satuan tugas antimafia hukum (jika nanti dibentuk) sangatlah krusial.
Ada dukungan moral dan kebijakan yang riil untuk memutus mata rantai praktik mafia hukum ini. Tanpa kesungguhan semua pihak, membebaskan lembaga penegakan hukum dari aksi para mafia seperti menegakkan benang basah atau mencari jarum di tumpukan jerami. Sulit.
Padahal kejahatan ini berdampak besar tidak hanya pada penegakan hukum dan penciptaan rasa keadilan, tapi bisa pula merusak sendi-sendikehidupanberbangsa dan bernegara di semua bidang. Minimal orang tidak lagi percaya dengan lembaga penegak hukum kita.
Keadilan adalah barang langka dan mahal yang tidak mungkin berpihak kepada mereka yang miskin dan lemah. Keadilan hanyalah milik pihak-pihak yang mampu mengakses dan memengaruhi oknum-oknum di lembaga hukum sesuai keinginan mereka.
Ini sangat berbahaya. Jika terus dibiarkan, masyarakat akan berusaha mencari keadilan lain dengan cara mereka sendiri. Kita berharap hal ini tidak terjadi. Tapi kita juga tercengang karena mafia hukum seperti momok menakutkan yang sulit dibasmi.
Pertanyaan berikutnya, bukankah sudah berulang kali oknum-oknum di semua lembaga penegak hukum tertangkap tangan sedang melakukan transaksi kotor pengurusan kasus atau penanganan perkara dengan imbalan materi? Benarkah ada semacam organisasi bawah tanah yang sengaja beroperasi untuk meraup untung di tengah semakin keringnya rasa keadilan dalam hukum kita?
Tentu ini pertanyaan sulit. Kita semua pasti geregetan melihat perilaku aparat penegak hukum yang memanfaatkan posisinya untuk meraup keuntungan pribadi dengan memperjualbelikan rasa keadilan.
Terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan (OTT) seorang Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang disangka menerima suap dari pegawai swasta yang perusahaannya sedang terlibat perkara di pengadilan tersebut.
Dalam penangkapan di sebuah hotel di Jakarta itu, penyidik KPK menemukan bukti berupa uang tunai. KPK kemudian mengembangkan penyidikan dengan menggeledah ruang kerja dan rumah pribadi Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Dari penggeledahan itu ditemukan sejumlah bukti berupa uang miliaran rupiah, Nurhadi pun dicegah bepergian ke luar negeri oleh Imigrasi atas permintaan KPK. Belum jelas sejauh mana keterlibatan Nurhadi dalam dugaan suap penanganan perkara tersebut. Penyidikan sedang dikembangkan.
Penyimpangan dalam penegakan hukum tidak hanya terjadi di lingkungan lembaga peradilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga MA), tapi juga ada di kepolisian, kejaksaan, bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK).
KPK sebagai lembaga yang paling gencar memberantas praktik mafia hukum pun tak lepas dari jebakan maut virus mematikan ini. Benarkah kejahatan ini terorganisasi seperti halnya organisasi teroris maupun organisasi kejahatan yang mendunia?
Ada semacam energi besar yang bergerak dengan leluasa untuk mengondisikan praktik jual beli perkara dalam dunia peradilan kita. Jika dilihat dari fakta satu penangkapan ke penangkapan oknum penegak hukum, sepertinya kejahatan luar biasa ini terpelihara secara sistematis.
Ada semacam sistem yang bekerja otomatis di setiap lini dalam penanganan kasus, penyidikan perkara, persidangan hingga putusan hakim di pengadilan yang memaksa para pihak yang beperkara (dalam hal ini masyarakat) untuk menggunakan cara-cara kotor agar dimenangkan dengan imbalan uang atau materi-materi yang menggiurkan.
Jika asumsi di atas benar, berarti tidak gampang memberantas praktik mafia peradilan. Yang terjadi selama ini seperti memencet balon. Dipencet di bawah menggelembung ke atas, dipencet di atas menggelembung di bawah. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan yang tiada pernah putus. Karena itu pemberantasan mafia hukum tidak cukup hanya dilakukan oleh satu lembaga saja seperti KPK.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, KPK tidak mungkin sanggup bekerja sendirian menghadapi praktik mafia hukum yang sudah menggurita seperti kanker ganas ini.
Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai kepala pemerintahan harus ambil tindakan tegas yang nyata. Keterlibatan langsung pemerintah atau Presiden dalam satuan tugas antimafia hukum (jika nanti dibentuk) sangatlah krusial.
Ada dukungan moral dan kebijakan yang riil untuk memutus mata rantai praktik mafia hukum ini. Tanpa kesungguhan semua pihak, membebaskan lembaga penegakan hukum dari aksi para mafia seperti menegakkan benang basah atau mencari jarum di tumpukan jerami. Sulit.
Padahal kejahatan ini berdampak besar tidak hanya pada penegakan hukum dan penciptaan rasa keadilan, tapi bisa pula merusak sendi-sendikehidupanberbangsa dan bernegara di semua bidang. Minimal orang tidak lagi percaya dengan lembaga penegak hukum kita.
Keadilan adalah barang langka dan mahal yang tidak mungkin berpihak kepada mereka yang miskin dan lemah. Keadilan hanyalah milik pihak-pihak yang mampu mengakses dan memengaruhi oknum-oknum di lembaga hukum sesuai keinginan mereka.
Ini sangat berbahaya. Jika terus dibiarkan, masyarakat akan berusaha mencari keadilan lain dengan cara mereka sendiri. Kita berharap hal ini tidak terjadi. Tapi kita juga tercengang karena mafia hukum seperti momok menakutkan yang sulit dibasmi.
(dam)