Politik dan Air Mata Kartini

Sabtu, 23 April 2016 - 06:54 WIB
Politik dan Air Mata...
Politik dan Air Mata Kartini
A A A
Fauzun Nihayah
Pengurus PP Fatayat NU

PEMBERONTAKAN
terhadap dominasi dan hegemoni kaum pria, bahkan lebih dari itu: emansipasi. Sebuah sikap sekaligus upaya menaikkan peringkat posisi kaum wanita di hadapan pria. Bisa sejajar, bahkan lebih tinggi. Itulah perspektif sosial ketika mencermati sikap keterpanggilan RA
Kartini.

Dan perspektif inilah yang terus membahana sehingga Kartini tercatat sebagai pejuang kesetaraan gender (pro terhadap wanita), sekaligus antidiskriminasi hanya karena beda pria-wanita. Kesan kuat tentang Kartini tak sedikit menuai kritik. Sikap dan upaya Kartini dinilai mendegradasi posisi pria, atau yang lebih personal menjauhkan diri dari kodrat sebagai wanita itu sendiri.

Tudingan itu bisa proporsional, tapi juga melampaui batas atau keliru. Tergantung perspektif mana yang diambil. Kedua sorot pandang relatif memiliki rasionalitas. Yang perlu kita renungkan, benarkah Kartini berusaha melawan peran dan posisi pria yang dominan dalam berbagai pentas kehidupan? Tidak.

Yang lebih mendasari adalah ratapannya pada nasib kaum wanita, yang dalam berbagai posisi sosial kemasyarakatan memang menyedihkan. Itulah faktualitas pada masa kolonial saat itu. Dalam hal ini secara verbal-formal kegelisahan Kartini terkesan kuat dalam aspek gender. Namun, sejatinya adalah dimensi kemanusiaan seorang Kartini yang jauh lebih kuat. Dan itulah cara pandang Kartini yang relatif memahami aspek manusia secara universal.

Komitmen kemanusiaan Kartini sesungguhnya mencerminkan kematangan individu, yang menurut psikolog sosial dan antropolog Prancis Gustave le Bon (7 May 1841-13 Desember 1931), disebut sebagai "individuasi". Kartini, karena kematangan mental dan pikirnya mampu memahami jati diri manusia terkait gender pria ataupun wanita, yang sama-sama memiliki tempat atau hak yang harus dihargai. Karena itu, pembedaan perlakuan hanya karena gender merupakan praktik ketidakadilan dan karena itu harus diakhiri.

Ada hal menarik ketika mencermati cara pandang Kartini yang terkesan kuat sebagai seorang liberalis. Penilaian ini jika dikaitkan hubungan keluarga asal ningrat, tak terlalu meleset. Darah "biru" yang feodal cenderung dekat dengan kolonial. Di sana kita lihat korelasinya dengan paham liberalisme.

Namun sebagai keluarga ningrat, ternyata Kartini cukup kental sikap religusitasnya. Ketika diselisik, memberontaknya Kartini diawali dengan perenungan yang mendalam setelah mencermati sejumlah ayat Alquran hasil "mengaji" bersama seorang ulama (Kiai Sholeh Darat asal Semarang).

Di antara pemikiran yang disampaikan sang kiai dan cukup dan membakar emosi kejuangannya adalah, Allah tidak membedakan derajat kaum pria ataupun wanita. Semuanya sama. Yang membedakannya kualitas ketakwaan, bukan ras atau suku bangsa, apalagi gender.

Dengan memahami postulat Kitab Suci ini, seorang Kartini bangkit untuk menerjemahkannya secara konkret. "Allahumma akhrijnii min al-dzulumati ila al-nuur " - Ya Allah keluarkanlah aku dari kegelapan menuju cahaya yang benderang (QS Al-Baqarah: 257) diakui memperkuat tekad untuk mengubah nasib kaum hawa yang saat itu memang sangat memprihatinkan. Inilah ajaran yang membuat Kartini selalu gelisah akibat panorama sosial yang paradoks.

High Politics dan Air Mata

Seorang Kartini memang tidak terlibat dalam kancah politik praktis. Namun demikian, putri Adipati Rembang ini terlibat cukup jauh dalam dunia politik yang lebih menitikberatkan nilai-nilai positif-konstruktif melalui pendidikan.

Nilai-nilai yang diperjuangkan adalah mengangkat harkat kaum hawa agar terjadi perubahan mendasar bagi kehidupannya. Meski kecil harapan untuk melihat hasilnya secara ideal saat itu, Kartini meyakini upayanya akan terwujud.

Meski harus melewati gelombang masa yang tidak cukup satu atau dua tahun, atau dengan kata lain dalam waktu relatif singkat. Kartini menyadari bahwa kaum hawa secara gradual tapi pasti harus diubah cara pandang (paradigma) tentang jati diri dirinya sebagai wanita.

Ia tidak boleh lagi manut pada adat yang ada: harus ada di belakang (wingking), sebagai teman (konco) ngobrol, apalagi hanya sebagai pemuas nafsu. Juga, tidak sepantasnya wanita diposisikan hanya untuk mengurus dapur dan tak boleh berkiprah untuk urusan "depan" (dunia luar yang hiruk-pikuk, penuh panorama, gejolak dan kepentingan).

Kartini sadar, untuk mengubah posisi wanita tak ada kata lain kecuali harus melalui pintu pendidikan. Tidak harus formal. Yang terpenting adalah melek huruf sebagai tangga awal untuk bisa membaca (mendapatkan informasi) dari berbagai media.

Dari bacaannya, akliahnya berkembang. Pemahamannya pun berkembang. Di sana--secara berproses--kaum hawa akan meningkat dan menyadari posisi hak-hak serta kewajibannya. Sejarah mencatat, terobosan Kartini harus menghadapi "tembok raksasa", yakni tradisi dan budaya feodal yang tidak mengakomodasi upaya perbaikan derajat kaum wanita.

Tapi, Kartini yang sudah terinjeksi tentang pemahaman terkait ilmu (pendidikan) tetap "melawan" kendala besar itu, meski harus alami "pemasungan" (tak boleh keluar rumah). Namun, untaian matan hadis seperti "mencari ilmu wajib hukumnya bagi kaum lelaki ataupun prempuan" memompa semangat untuk menggelar pendidikan (mengajar) kaum hawa, meski dengan sembunyi-sembunyi dan sarana terbatas.

Itulah high politics Kartini yang setelah melewati dua abad lebih terlihat hasilnya. Karena itu, wanita Indonesia sepantasnya berhutang budi karena perjuangan dan kejuangannya. Namun demikian andai Kartini hidup lagi, tentu putri kelahiran 21 April 1879 ini meneteskan air mata. Apa yang dicita-citakan untuk perubahan besar kaum wanita, ada pemandangan yang tetap menyayat hatinya. Tangisnya bukan karena persoalan pendidikan, tapi justru masalah mental kaum wanita.

Di berbagai belahan Nusantara--karena jebakan gaya hidup hedonistik atau degradasi moral--tak sedikit kaum hawa terjebak pada perilaku yang sangat pragmatis (jual diri). Atau, merelakan diri menjadi aktor pelengkap (komoditas) untuk kepentingan sempit kaum pria, terkait bisnis, politik atau lainnya.

Namun, terdapat juga pemandangan, karena ketidakberdayaan kaum hawa itu sendiri, tak sedikit di antara mereka menjadi korban keganasan kaum pria seperti yang sering kita saksikan pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Juga, sering kita saksikan pada panorama perlakuan jahat di tengah kungkungan majikan pria dan keluarganya.

Bisa jadi, nasib wanita nahas ini akibat keterbatasan ilmu dan pengetahuan, atau karena karakter personal pihak yang mempekerjakannya. Tentu, seluruh panorama tak indah itu menyakiti hati Kartini. Kini, sebagai refleksi terima kasih kepada sang penjuang wanita, kita ditantang bagaimana harus mereduksi panorama menyedihkan, yang hingga kini masih mendera sebagian wanita. Dalam hal ini, ada beberapa pemikiran yang bisa kita diskusikan lebih jauh.

Pertama, kaum wanita harus ikut andil dalam menentukan arah kebijakan bangsa dengan membekali diri (pengetahuan yang konstruktif terkait masalah kebangsaan). Kedua, perempuan harus mengoptimalkan segala potensinya untuk terjun langsung membenahi sektor pendidikan kita. Kaum perempuan (ibu) sebagai madrasatul ulaa bagi anak-anaknya harus siap memberikan pendidikan yang baik dimulai dari lingkungan keluarga. Dan yang tidak boleh ketinggalan adalah peningkatan mutu intelektual dan pengembangan moral yang luhur yang akan menjadikan kualitas sumber daya manusia unggul.

Ketiga, wanita harus memiliki semangat patriotisme tinggi dan menghidupkan semangat kemandirian sekaligus mengeliminasi ketergantungan kepada bangsa lain dalam mengeksplorasi kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini. Keempat, perempuan harus cerdas dan mandiri, serta memiliki kecerdasan dan daya guna, yang mampu memberikan manfaat, baik untuk diri mereka sendiri maupun lingkungannya. Kelima, perempuan terus berdikari dalam upaya menyetarakan derajat kaum perempuan dengan laki-laki, dan tetap menjalin kerja sama yang baik dari berbagai pihak dalam menggalang serta mengimplementasikan cita-cita RA Kartini.

Yang terpenting, Hari Kartini tidak hanya diperingati secara simbolik saja, namun semangatnya harus mewarnai perbaikan kehidupan masyarakat meliputi pendidikan, politik, ekonomi, kesehatan, sosial budaya serta bidang lainnya. Perjuangan RA Kartini ini perjuangan yang never ending process.

Setiap anak zaman di antaranya kaum hawa menghadapi tantangan tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Jadi, yang perlu dijaga secara istikamah adalah semangat untuk senantiasa memperjuangkan hak-hak perempuan tanpa diskriminasi.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0731 seconds (0.1#10.140)