Buron 'Istimewa' Samadikun
A
A
A
KEBERHASILAN aparat hukum kita dalam membawa buronan kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono kembali ke Indonesia patut diapresiasi.
Namun, prestasi tersebut jangan sampai ditunggangi siapa pun untuk mengeruk keuntungan pribadi demi mencari panggung popularitas.
Kedatangan Samadikun Hartono yang telah buron selama 13 tahun dari China di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma pada Kamis 21 April 2016 memicu berbagai kontroversi.
Pertama, penyambutan yang khusus oleh Jaksa Agung HM Prasetyo di Halim menimbulkan kesan berlebihan dalam memperlakukan seorang buron koruptor kelas kakap. Apalagi di sana sudah dikawal oleh Kepala BIN Sutiyoso.
Tidak sepantasnya seorang koruptor yang menggarong uang rakyat dan membawa lari ke luar negeri diperlakukan begitu istimewa. Jaksa Agung tak sepantasnya menyambut Samadikun sampai ke Halim Perdanakusuma segala.
Jaksa Agung cukup menunggu penyerahan buronan BLBI tersebut dari BIN di kantornya. Tak berlebihan jika akhirnya muncul tudingan miring terhadap Jaksa Agung, yang dinilai mencari panggung atau cari perhatian atas penangkapan Samadikun tersebut.
Bahkan, ada yang menyebut penyambutan Samadikun layaknya menyambut kedatangan seorang presiden.
Sejatinya masih banyak hal yang bisa dilakukan Jaksa Agung di saat lembaganya menjadi sorotan karena minimnya prestasi dalam penegakan hukum. Misalnya bagaimana mendidik para jaksanya agar cermat dan hati-hati dalam mengusut kasus korupsi sehingga tak lagi sering kandas di tengah jalan karena kalah gugatan.
Kita tahu, kejaksaan sudah sering kali kalah dalam praperadilan. Selain kasus La Nyalla Matalitti, sebelumnya Kejagung juga pernah dikalahkan oleh gugatan PT Victoria Securities Indonesia.
Yang jelas, apa yang dilakukan Jaksa Agung ini dinilai telah merendahkannya sebagai seorang pejabat setingkat menteri. Apalagi dalam foto terlihat Jaksa Agung begitu "melayani" Samadikun. Hal itu tentu tidak etis bagi seorang pejabat publik terlihat begitu "akrab" dengan buronan yang telah merugikan rakyat Indonesia.
Kedua, setelah ditangkap di China, Samadikun ternyata tidak diborgol saat tiba di Halim Perdanakusuma. Pemandangan ini semakin menguatkan bahwa Samadikun memang benar-benar mendapatkan perlakuan khusus. Narapidana yang telah kabur dari pertanggungjawaban secara hukum sangat tidak pantas diperlakukan istimewa. Napi yang kabur jelas melecehkan hukum kita.
Betapa tidak bijaksananya seorang koruptor yang melarikan diri selama 13 tahun diperlakukan begitu istimewa. Apakah karena Samadikun orang berada atau ada alasan lain? Apa pun alasannya jelas tidak bisa diterima karena hal itu melukai hati rakyat Indonesia.
Sikap memanjakan Samadikun tersebut dinilai banyak kalangan telah merendahkan martabat masyarakat Indonesia. Selain itu, aparat kita terlalu berani berspekulasi untuk tidak memborgol Samadikun.
Siapa yang akan bertanggung jawab bila sampai Samadikum kabur? Siapa yang bisa menjamin Samadikun tidak kabur? Terlalu berisiko untuk percaya pada penjahat kelas kakap seperti Samadikun yang telah dengan tega membawa lari uang rakyat ke luar negeri.
Aparat kita tampaknya tidak mau belajar dari kasus-kasus kaburnya para penjahat kita. Misalnya kaburnya Eddy Tansil yang hingga saat ini tak tahu rimbanya. Larinya Eddy Tansil sudah pasti karena kecerobohan para aparat kita.
Berbeda dengan Samadikun, kita lihat aparat memperlakukan biasa pada buronan kasus Bank Century, Hartawan Aluwi, yang juga dipulangkan dari Singapura oleh Mabes Polri. Aluwi saat datang terlihat diborgol. Perlakuan terhadap Samadikun seharusnya sama dengan Aluwi karena sama-sama buronan.
Kita berharap kasus Samadikun ini menjadi pelajaran berharga para aparat kita untuk bisa objektif dalam memperlakukan pelaku kejahatan. Kita pasti sudah memiliki standar baku dalam menangkap buron. Sekali lagi jangan sampai prestasi dan hasil jerih payah banyak pihak dimanfaatkan oleh segelintir oknum untuk kepentingan pencitraan.
Penangkapan Samadikun dan Aluwi ini diharapkan menjadi awal bagi semangat aparat kita untuk menyeret para buron lain ke Tanah Air. Yang tak kalah penting saat ini adalah bagaimana mengembalikan harta yang selama ini dibawa lari Samadikun dan Aluwi untuk dikembalikan ke negara.
Namun, prestasi tersebut jangan sampai ditunggangi siapa pun untuk mengeruk keuntungan pribadi demi mencari panggung popularitas.
Kedatangan Samadikun Hartono yang telah buron selama 13 tahun dari China di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma pada Kamis 21 April 2016 memicu berbagai kontroversi.
Pertama, penyambutan yang khusus oleh Jaksa Agung HM Prasetyo di Halim menimbulkan kesan berlebihan dalam memperlakukan seorang buron koruptor kelas kakap. Apalagi di sana sudah dikawal oleh Kepala BIN Sutiyoso.
Tidak sepantasnya seorang koruptor yang menggarong uang rakyat dan membawa lari ke luar negeri diperlakukan begitu istimewa. Jaksa Agung tak sepantasnya menyambut Samadikun sampai ke Halim Perdanakusuma segala.
Jaksa Agung cukup menunggu penyerahan buronan BLBI tersebut dari BIN di kantornya. Tak berlebihan jika akhirnya muncul tudingan miring terhadap Jaksa Agung, yang dinilai mencari panggung atau cari perhatian atas penangkapan Samadikun tersebut.
Bahkan, ada yang menyebut penyambutan Samadikun layaknya menyambut kedatangan seorang presiden.
Sejatinya masih banyak hal yang bisa dilakukan Jaksa Agung di saat lembaganya menjadi sorotan karena minimnya prestasi dalam penegakan hukum. Misalnya bagaimana mendidik para jaksanya agar cermat dan hati-hati dalam mengusut kasus korupsi sehingga tak lagi sering kandas di tengah jalan karena kalah gugatan.
Kita tahu, kejaksaan sudah sering kali kalah dalam praperadilan. Selain kasus La Nyalla Matalitti, sebelumnya Kejagung juga pernah dikalahkan oleh gugatan PT Victoria Securities Indonesia.
Yang jelas, apa yang dilakukan Jaksa Agung ini dinilai telah merendahkannya sebagai seorang pejabat setingkat menteri. Apalagi dalam foto terlihat Jaksa Agung begitu "melayani" Samadikun. Hal itu tentu tidak etis bagi seorang pejabat publik terlihat begitu "akrab" dengan buronan yang telah merugikan rakyat Indonesia.
Kedua, setelah ditangkap di China, Samadikun ternyata tidak diborgol saat tiba di Halim Perdanakusuma. Pemandangan ini semakin menguatkan bahwa Samadikun memang benar-benar mendapatkan perlakuan khusus. Narapidana yang telah kabur dari pertanggungjawaban secara hukum sangat tidak pantas diperlakukan istimewa. Napi yang kabur jelas melecehkan hukum kita.
Betapa tidak bijaksananya seorang koruptor yang melarikan diri selama 13 tahun diperlakukan begitu istimewa. Apakah karena Samadikun orang berada atau ada alasan lain? Apa pun alasannya jelas tidak bisa diterima karena hal itu melukai hati rakyat Indonesia.
Sikap memanjakan Samadikun tersebut dinilai banyak kalangan telah merendahkan martabat masyarakat Indonesia. Selain itu, aparat kita terlalu berani berspekulasi untuk tidak memborgol Samadikun.
Siapa yang akan bertanggung jawab bila sampai Samadikum kabur? Siapa yang bisa menjamin Samadikun tidak kabur? Terlalu berisiko untuk percaya pada penjahat kelas kakap seperti Samadikun yang telah dengan tega membawa lari uang rakyat ke luar negeri.
Aparat kita tampaknya tidak mau belajar dari kasus-kasus kaburnya para penjahat kita. Misalnya kaburnya Eddy Tansil yang hingga saat ini tak tahu rimbanya. Larinya Eddy Tansil sudah pasti karena kecerobohan para aparat kita.
Berbeda dengan Samadikun, kita lihat aparat memperlakukan biasa pada buronan kasus Bank Century, Hartawan Aluwi, yang juga dipulangkan dari Singapura oleh Mabes Polri. Aluwi saat datang terlihat diborgol. Perlakuan terhadap Samadikun seharusnya sama dengan Aluwi karena sama-sama buronan.
Kita berharap kasus Samadikun ini menjadi pelajaran berharga para aparat kita untuk bisa objektif dalam memperlakukan pelaku kejahatan. Kita pasti sudah memiliki standar baku dalam menangkap buron. Sekali lagi jangan sampai prestasi dan hasil jerih payah banyak pihak dimanfaatkan oleh segelintir oknum untuk kepentingan pencitraan.
Penangkapan Samadikun dan Aluwi ini diharapkan menjadi awal bagi semangat aparat kita untuk menyeret para buron lain ke Tanah Air. Yang tak kalah penting saat ini adalah bagaimana mengembalikan harta yang selama ini dibawa lari Samadikun dan Aluwi untuk dikembalikan ke negara.
(dam)