Mengganti Bunga Acuan
A
A
A
BAGI masyarakat awam, ketika Bank Indonesia (BI) menurunkan level BI Rate maka yang terbayang adalah perekonomian nasional mulai kondusif dan segera diikuti penurunan suku bunga perbankan. Hal itu benar adanya, karena bank sentral berani mengoreksi atau menurunkan level suku bunga acuan bila iklim perekonomian nasional mendukung alias membaik, hanya tidak otomatis terjadi penyesuaian suku bunga pinjaman dari perbankan.
Pada tahap ini, selalu menimbulkan pertanyaan mengapa? Bukankah BI Rate adalah suku bunga acuan? Apakah tidak ada instrumen lain yang lebih efektif? Apalagi, pemerintah belakangan ini cukup getol untuk menurunkan suku bunga pinjaman perbankan menjadi single digit akhir tahun ini.
Karena itu, kebijakan BI mengganti suku bunga acuan baru dari BI Rate menjadi BI 7 Day Reverse Repo Rate dinilai sebagai langkah yang tepat. Selama ini, fakta lapangan menunjukkan sudah beberapa kali BI menurunkan suku bunga acuan namun suku bunga perbankan tidak menyesuaikan. Artinya, BI Rate tidak efektif lagi menjadi suku bunga acuan di pasar.
Jadi, memang harus ada upaya dari bank sentral untuk memberlakukan sebuah instrumen yang bisa merefleksikan kondisi suku bunga di pasar. Tentu, pilihan yang tepat menurut pihak BI adalah BI 7 Day Reverse Repo Rate (reverse repo rate 7 hari), yang akan berlaku efektif pada 19 Agustus mendatang. Pihak bank sentral meyakini perubahan suku bunga acuan itu akan membuat kebijakan BI lebih implementatif.
Keberadaan BI Rate memang sudah lama disoroti kalangan ekonom karena dinilai tidak efektif sebagai suku bunga acuan. Karena itu, ketika petinggi BI mengganti instrumen suku bunga acuan, Ekonom dari Institute for Development and Finace (Indef) Enny Sri Hartati memandang sebagai langkah tepat untuk mengatasi kesenjangan antara kebijakan dengan target yang ingin dicapai bank sentral.
Apalagi, menurut Enny, perubahan suku bunga acuan itu hanyalah perubahan instrumen di dalam sektor moneter. ”Artinya, tidak ada perubahan dalam arah kebijakan bank sentral,” tuturnya ketika menjadi narasumber dalam sebuah diskusi seputar kebijakan BI, di Jakarta kemarin.
Di mana letak perbedaan antara BI Rate dan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Saat ini BI Rate pada level 6,75%, setara dengan suku bunga 12 bulan dalam struktur suku bunga operasi moneter. Sedangkan BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di level 5,5% yang setara dengan suku bunga operasi moneter 7 hari. Dengan perbedaan tersebut berpengaruh pada struktur operasi moneter, di mana sebelumnya tenor operasi moneter adalah satu tahun atau 360 hari berubah menjadi 7 hari. Dengan kebijakan perubahan suku bunga acuan tersebut, Gubernur BI Agus Martowardojo berharap terjadi transmisi kebijakan moneter yang lebih ampuh.
Setidaknya ditandai penguatan sinyal kebijakan moneter, suku bunga acuan baru dapat memperkuat pasar keuangan, dan dapat menyesuaikan praktik serupa di berbagai negara, seperti di Malaysia, Thailand, dan Selandia Baru.
Kembali pada pertanyaan masyarakat awam, mampukah suku bunga acuan ini memengaruhi penurunan suku bunga pinjaman? Mengutip pernyataan Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo bahwa BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di level 5,5% pihaknya optimistis akan menjadi acuan bagi suku bunga lainnya, tak terkecuali suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman yang berlaku saat ini.
Alasannya, suku bunga acuan baru ini aktif ditransaksikan antara BI dengan perbankan, yakni setiap hari sehingga efektif dalam mempengaruhi suku bunga. Selain itu, BI 7 Day Reverse Repo Rate mendorong kenaikan transaksi di pasar uang antar bank untuk 3 sampai 12 bulan. Dengan demikian, membuat perbankan lebih mudah mencari pendanaan dan tidak ada alasan lagi menawarkan bunga simpanan tinggi kepada deposan, yang pada ujungnya suku bunga pinjaman pun bisa diturunkan.
Gayung bersambut, sejumlah bankir menyambut positif kebijakan BI mengganti BI Rate. Seorang petinggi bank swasta nasional optimistis dengan suku bunga acuan baru tersebut dapat mempengaruhi penurunan suku bunga simpanan yang pada akhirnya berdampak pada penurunan suku bunga pinjaman. Bagi masyarakat awam, efektif atau tidaknya kebijakan suku bunga acuan baru itu indikatornya sederhana, yakni suku bunga pinjaman bisa lebih landai dibandingkan ketika masih memakai acuan BI Rate.
Pada tahap ini, selalu menimbulkan pertanyaan mengapa? Bukankah BI Rate adalah suku bunga acuan? Apakah tidak ada instrumen lain yang lebih efektif? Apalagi, pemerintah belakangan ini cukup getol untuk menurunkan suku bunga pinjaman perbankan menjadi single digit akhir tahun ini.
Karena itu, kebijakan BI mengganti suku bunga acuan baru dari BI Rate menjadi BI 7 Day Reverse Repo Rate dinilai sebagai langkah yang tepat. Selama ini, fakta lapangan menunjukkan sudah beberapa kali BI menurunkan suku bunga acuan namun suku bunga perbankan tidak menyesuaikan. Artinya, BI Rate tidak efektif lagi menjadi suku bunga acuan di pasar.
Jadi, memang harus ada upaya dari bank sentral untuk memberlakukan sebuah instrumen yang bisa merefleksikan kondisi suku bunga di pasar. Tentu, pilihan yang tepat menurut pihak BI adalah BI 7 Day Reverse Repo Rate (reverse repo rate 7 hari), yang akan berlaku efektif pada 19 Agustus mendatang. Pihak bank sentral meyakini perubahan suku bunga acuan itu akan membuat kebijakan BI lebih implementatif.
Keberadaan BI Rate memang sudah lama disoroti kalangan ekonom karena dinilai tidak efektif sebagai suku bunga acuan. Karena itu, ketika petinggi BI mengganti instrumen suku bunga acuan, Ekonom dari Institute for Development and Finace (Indef) Enny Sri Hartati memandang sebagai langkah tepat untuk mengatasi kesenjangan antara kebijakan dengan target yang ingin dicapai bank sentral.
Apalagi, menurut Enny, perubahan suku bunga acuan itu hanyalah perubahan instrumen di dalam sektor moneter. ”Artinya, tidak ada perubahan dalam arah kebijakan bank sentral,” tuturnya ketika menjadi narasumber dalam sebuah diskusi seputar kebijakan BI, di Jakarta kemarin.
Di mana letak perbedaan antara BI Rate dan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Saat ini BI Rate pada level 6,75%, setara dengan suku bunga 12 bulan dalam struktur suku bunga operasi moneter. Sedangkan BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di level 5,5% yang setara dengan suku bunga operasi moneter 7 hari. Dengan perbedaan tersebut berpengaruh pada struktur operasi moneter, di mana sebelumnya tenor operasi moneter adalah satu tahun atau 360 hari berubah menjadi 7 hari. Dengan kebijakan perubahan suku bunga acuan tersebut, Gubernur BI Agus Martowardojo berharap terjadi transmisi kebijakan moneter yang lebih ampuh.
Setidaknya ditandai penguatan sinyal kebijakan moneter, suku bunga acuan baru dapat memperkuat pasar keuangan, dan dapat menyesuaikan praktik serupa di berbagai negara, seperti di Malaysia, Thailand, dan Selandia Baru.
Kembali pada pertanyaan masyarakat awam, mampukah suku bunga acuan ini memengaruhi penurunan suku bunga pinjaman? Mengutip pernyataan Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo bahwa BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di level 5,5% pihaknya optimistis akan menjadi acuan bagi suku bunga lainnya, tak terkecuali suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman yang berlaku saat ini.
Alasannya, suku bunga acuan baru ini aktif ditransaksikan antara BI dengan perbankan, yakni setiap hari sehingga efektif dalam mempengaruhi suku bunga. Selain itu, BI 7 Day Reverse Repo Rate mendorong kenaikan transaksi di pasar uang antar bank untuk 3 sampai 12 bulan. Dengan demikian, membuat perbankan lebih mudah mencari pendanaan dan tidak ada alasan lagi menawarkan bunga simpanan tinggi kepada deposan, yang pada ujungnya suku bunga pinjaman pun bisa diturunkan.
Gayung bersambut, sejumlah bankir menyambut positif kebijakan BI mengganti BI Rate. Seorang petinggi bank swasta nasional optimistis dengan suku bunga acuan baru tersebut dapat mempengaruhi penurunan suku bunga simpanan yang pada akhirnya berdampak pada penurunan suku bunga pinjaman. Bagi masyarakat awam, efektif atau tidaknya kebijakan suku bunga acuan baru itu indikatornya sederhana, yakni suku bunga pinjaman bisa lebih landai dibandingkan ketika masih memakai acuan BI Rate.
(kur)