Panama Tidak Favorit
A
A
A
PANAMA bukanlah “surga pajak” favorit bagi orang Indonesia. Padahal, sebagaimana diakui Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang PS Brodjonegoro, nama-nama orang Indonesia yang tercatat di Panama Papers memiliki kecocokan sekitar 79% orang Indonesia yang diduga memiliki rekening di dua negara di luar negeri. Data itu bukan sembarang data yang kini menjadi pegangan bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam memonitor orang-orang yang memarkirkan dananya di luar negeri.
Bambang menunjuk tiga “surga pajak” favorit buat orang Indonesia: British Virgin Island (BVI), Cook Island, dan Singapura. Jadi, Panama bukanlah tujuan utama orang berduit di negeri ini untuk menghindari pajak dan memarkir atau mengamankan dananya di luar negeri.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Senayan, Jakarta, kemarin, Menkeu membeberkan data sementara dana orang Indonesia yang ada di luar negeri. Angkanya sangat mengagetkan karena jauh di atas produk domestik bruto (PDB) yang tercatat sebesar Rp11.400 triliun pada 2015. Sayangnya, Bambang masih merahasiakan angka pastinya. Seandainya membayar repatriasi sebesar 1%, maka kocek negara bisa terisi Rp114 triliun.
Bisa dibayangkan, seandainya data dari tiga wilayah yang menjadi “surga pajak” bagi orang Indonesia itu diungkap maka kehebohan apa yang akan terjadi. Hal itu bukan tidak mungkin terjadi meski ketiga wilayah tersebut memberi jaminan keamanan superketat.
Apakah Kementerian Keuangan akan mendiamkan saja Panama Papers ? Kalau membandingkan dengan respons dari sejumlah negara yang juga nama-nama warganya terpapar di dalam Panama Papers memang kita wajib pertanyakan langkah yang ditempuh pemerintah. Memang tidak tinggal diam, tetapi boleh dikata terlalu lamban dalam mengantisipasi. Pihak Kementerian Keuangan mengaku sedang mencocokkan dengan data yang dimiliki Ditjen Pajak.
Hasilnya, sebanyak 79% cocok dengan dugaan orang Indonesia yang memiliki rekening pada dua negara. Selanjutnya memeriksa laporan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Ditjen Pajak mengklaim sebelum data Panama Papers bocor ke publik mereka telah memiliki data tersebut yang bersumber dari negara anggota G-20 pada pertemuan akhir tahun lalu.
Sekadar informasi, menyikapi kasus Panama Papers itu Pemerintah Thailand sedang menginvestigasi secara serius 16 warganya dari sekian ribu yang tercantum di dalam dokumen tersebut. Ada politisi, mantan politisi, dan pebisnis terkenal. Sejauh ini, sebagaimana dikutip Reuters, memang Pemerintah Thailand belum menemukan bukti, tetapi upaya memeriksa 16 orang itu sebagai bentuk respons kemungkinan adanya tindak pencucian uang di luar negeri. Lebih jauh, Pemerintah Negeri Gajah Putih itu telah berkoordinasi dengan lembaga antipencucian uang Panama.
Berbeda dengan itu, reaksi Pemerintah Indonesia terkesan biasa saja. Setidaknya dari pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) yang menegaskan bahwa tidak semua sumber dana yang disebutkan dalam Panama Papers adalah hasil kejahatan. Bahkan, pemerintah akan mengampuni orang-orang yang ada dalam dokumen itu jika menyangkut soal pajak, dengan catatan memulangkan dananya ke dalam negeri.
Pemerintah baru akan bertindak tegas apabila orang-orang yang berhubungan Panama Papers menyimpan dananya di luar negeri sebagai upaya menghindari tindakan hukum. Sikap Wapres JK tersebut lalu dianggap sebagai pembelaan terhadap keluarganya yang juga tercantum dalam Panama Papers . Kita berharap semoga tidak demikian seperti yang diduga oleh publik.
Terlepas dari sikap pemerintah yang terkesan tidak tegas dalam merespons bocornya Panama Papers yang memuat ribuan nama-nama dari Indonesia, sebenarnya inilah momentum bagi pemerintah untuk secepat mungkin membenahi regulasi perbankan dan sistem perpajakan, terutama terkait kondisi global. Sistem teknologi dan informasi (TI) pajak di Indonesia yang masih lemah tidak ditutup-tutupi Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution.
Kelemahan sistem TI pajak tersebut celah yang empuk bagi orang-orang melarikan dananya ke luar negeri. Karena itu, pemerintah harus selalu terbuka dan responsif menyikapi setiap data dan dokumen yang menyangkut dana masyarakat di luar negeri.
Bambang menunjuk tiga “surga pajak” favorit buat orang Indonesia: British Virgin Island (BVI), Cook Island, dan Singapura. Jadi, Panama bukanlah tujuan utama orang berduit di negeri ini untuk menghindari pajak dan memarkir atau mengamankan dananya di luar negeri.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Senayan, Jakarta, kemarin, Menkeu membeberkan data sementara dana orang Indonesia yang ada di luar negeri. Angkanya sangat mengagetkan karena jauh di atas produk domestik bruto (PDB) yang tercatat sebesar Rp11.400 triliun pada 2015. Sayangnya, Bambang masih merahasiakan angka pastinya. Seandainya membayar repatriasi sebesar 1%, maka kocek negara bisa terisi Rp114 triliun.
Bisa dibayangkan, seandainya data dari tiga wilayah yang menjadi “surga pajak” bagi orang Indonesia itu diungkap maka kehebohan apa yang akan terjadi. Hal itu bukan tidak mungkin terjadi meski ketiga wilayah tersebut memberi jaminan keamanan superketat.
Apakah Kementerian Keuangan akan mendiamkan saja Panama Papers ? Kalau membandingkan dengan respons dari sejumlah negara yang juga nama-nama warganya terpapar di dalam Panama Papers memang kita wajib pertanyakan langkah yang ditempuh pemerintah. Memang tidak tinggal diam, tetapi boleh dikata terlalu lamban dalam mengantisipasi. Pihak Kementerian Keuangan mengaku sedang mencocokkan dengan data yang dimiliki Ditjen Pajak.
Hasilnya, sebanyak 79% cocok dengan dugaan orang Indonesia yang memiliki rekening pada dua negara. Selanjutnya memeriksa laporan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Ditjen Pajak mengklaim sebelum data Panama Papers bocor ke publik mereka telah memiliki data tersebut yang bersumber dari negara anggota G-20 pada pertemuan akhir tahun lalu.
Sekadar informasi, menyikapi kasus Panama Papers itu Pemerintah Thailand sedang menginvestigasi secara serius 16 warganya dari sekian ribu yang tercantum di dalam dokumen tersebut. Ada politisi, mantan politisi, dan pebisnis terkenal. Sejauh ini, sebagaimana dikutip Reuters, memang Pemerintah Thailand belum menemukan bukti, tetapi upaya memeriksa 16 orang itu sebagai bentuk respons kemungkinan adanya tindak pencucian uang di luar negeri. Lebih jauh, Pemerintah Negeri Gajah Putih itu telah berkoordinasi dengan lembaga antipencucian uang Panama.
Berbeda dengan itu, reaksi Pemerintah Indonesia terkesan biasa saja. Setidaknya dari pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) yang menegaskan bahwa tidak semua sumber dana yang disebutkan dalam Panama Papers adalah hasil kejahatan. Bahkan, pemerintah akan mengampuni orang-orang yang ada dalam dokumen itu jika menyangkut soal pajak, dengan catatan memulangkan dananya ke dalam negeri.
Pemerintah baru akan bertindak tegas apabila orang-orang yang berhubungan Panama Papers menyimpan dananya di luar negeri sebagai upaya menghindari tindakan hukum. Sikap Wapres JK tersebut lalu dianggap sebagai pembelaan terhadap keluarganya yang juga tercantum dalam Panama Papers . Kita berharap semoga tidak demikian seperti yang diduga oleh publik.
Terlepas dari sikap pemerintah yang terkesan tidak tegas dalam merespons bocornya Panama Papers yang memuat ribuan nama-nama dari Indonesia, sebenarnya inilah momentum bagi pemerintah untuk secepat mungkin membenahi regulasi perbankan dan sistem perpajakan, terutama terkait kondisi global. Sistem teknologi dan informasi (TI) pajak di Indonesia yang masih lemah tidak ditutup-tutupi Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution.
Kelemahan sistem TI pajak tersebut celah yang empuk bagi orang-orang melarikan dananya ke luar negeri. Karena itu, pemerintah harus selalu terbuka dan responsif menyikapi setiap data dan dokumen yang menyangkut dana masyarakat di luar negeri.
(kur)