Iuran Tapera Krusial
A
A
A
KALANGAN pengusaha menyatakan kecewa karena aspirasinya tidak didengar oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menyusul penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi Undang-Undang (UU). Selasa pekan lalu, sidang paripurna wakil rakyat di Senayan serentak mengamini pimpinan sidang Wakil Ketua DPR Agus Hermanto yang menanyakan, "Apakah RUU Tapera dapat disetujui menjadi UU?" Seluruh peserta rapat satu kata "Setuju!" Pimpinan sidang pun mengetukkan palu pertanda sahnya RUU tersebut menjadi UU. Meski palu sudah diketuk, para pengusaha tetap melancarkan protes karena dinilai kebijakan tersebut bakal memberatkan, sebab menambah pungutan yang harus dibayarkan.
Sebaliknya, pemerintah merasa lega karena sudah memiliki payung hukum yang mewajibkan warga negara menabung sebagian penghasilannya untuk mendapatkan rumah murah dan layak. Namun demikian, implementasi UU Tapera baru bisa dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pada dua tahun ke depan. Pasalnya, UU Tapera masih memerlukan kelengkapan aturan secara teknis yang berbentuk peraturan pemerintah, di antaranya terkait dengan badan pengelola dan komite Tapera, besaran iuran dan porsi pengenaan iuran, sebab tidak hanya melibatkan pekerja, tetapi juga pemberi kerja. Dan, persoalan iuran inilah yang mengundang protes keras pengusaha.
Mengapa Tapera itu penting diwujudkan? Anggaran dari pemerintah untuk menghadirkan perumahan murah dan layak bagi MBR masih sangat terbatas, sedangkan kebutuhan semakin melambung yang diperkirakan mencapai 15 juta rumah. Kemampuan anggaran pemerintah hanya sebesar Rp5 triliun per tahun, jauh dari memadai sebab fakta di lapangan hanya mampu membangun rumah sebanyak 500 unit per tahun. Tentu, untuk menutupi kekurangan pembiayaan tersebut harus ada sumber dana lain, salah satunya melalui Tapera yang diwajibkan kepada seluruh pekerja.
Persoalannya, siapa yang berhak menggunakan dana tersebut? Bagi pekerja yang masuk kategori MBR atau berpenghasilan sampai Rp4 juta per bulan bisa langsung memanfaatkan dana Tapera. Sementara bagi pekerja di luar kategori MBR tetap diwajibkan menabung, tetapi tidak diperkenankan membeli rumah murah. Namun, hasil tabungannya bisa dicairkan saat berusia 58 tahun atau masa pensiun.
Sebenarnya bagi pengusaha tidak keberatan dengan niat pemerintah yang mendorong MBR menabung untuk membeli rumah. Keberatan pengusaha terletak pada iuran. Selain ditanggung peserta, juga melibatkan pengusaha meski porsi pembiayaan diarahkan lebih besar kepada pekerja. Sebagaimana ditegaskan Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, selama ini pungutan yang dibebankan kepada pengusaha sudah cukup banyak, di antaranya iuran BPJS Ketenagakerjaan yang melingkupi pembiayaan perumahan. Jadi, dana tersebut tinggal diefektifkan sehingga tidak perlu muncul iuran baru lagi yang memberatkan pengusaha.
Penetapan porsi iuran Tapera memang akan menjadi persoalan krusial. Seperti kabar yang beredar bahwa nantinya besaran iuran sekitar 3% yang berasal dari pekerja dan pemberi kerja. Namun, porsi lebih besar akan dibebankan kepada pekerja karena merekalah yang langsung merasakan manfaat Tapera. Direktorat Pembiayaan Perumahan sudah membuat simulasi iuran Tapera 3%, dengan komposisi sebesar 2,5% dari pekerja dan sekitar 0,5% menjadi kewajiban pemberi kerja. Namun, simulasi tersebut masih harus dibicarakan dengan para pihak terkait. Pemerintah sendiri masih mencari opsi terbaik, apalagi dalam UU Tapera tidak ditetapkan berapa besar porsi iuran.
Benih-benih krusial soal iuran Tapera sudah mulai terlihat dari respons pekerja. Secara terbuka, serikat pekerja di bawah payung Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mulai mengajukan persyaratan, di antaranya penetapan iuran harus seimbang antara pekerja dan pemberi kerja. Kalau iurannya sebesar 3% maka kedua pihak harus menanggung iuran 1,5%. Para pekerja minta dilibatkan pada badan yang akan mengelola Tapera. Selain itu, KSPI meminta iuran Tapera secara otomatis bisa dicairkan setelah 10 tahun. Jadi, tugas baru pemerintah, bagaimana mempertemukan keinginan antara pekerja dan pemberi kerja. Niatnya baik, tetapi rintangannya besar.
Sebaliknya, pemerintah merasa lega karena sudah memiliki payung hukum yang mewajibkan warga negara menabung sebagian penghasilannya untuk mendapatkan rumah murah dan layak. Namun demikian, implementasi UU Tapera baru bisa dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pada dua tahun ke depan. Pasalnya, UU Tapera masih memerlukan kelengkapan aturan secara teknis yang berbentuk peraturan pemerintah, di antaranya terkait dengan badan pengelola dan komite Tapera, besaran iuran dan porsi pengenaan iuran, sebab tidak hanya melibatkan pekerja, tetapi juga pemberi kerja. Dan, persoalan iuran inilah yang mengundang protes keras pengusaha.
Mengapa Tapera itu penting diwujudkan? Anggaran dari pemerintah untuk menghadirkan perumahan murah dan layak bagi MBR masih sangat terbatas, sedangkan kebutuhan semakin melambung yang diperkirakan mencapai 15 juta rumah. Kemampuan anggaran pemerintah hanya sebesar Rp5 triliun per tahun, jauh dari memadai sebab fakta di lapangan hanya mampu membangun rumah sebanyak 500 unit per tahun. Tentu, untuk menutupi kekurangan pembiayaan tersebut harus ada sumber dana lain, salah satunya melalui Tapera yang diwajibkan kepada seluruh pekerja.
Persoalannya, siapa yang berhak menggunakan dana tersebut? Bagi pekerja yang masuk kategori MBR atau berpenghasilan sampai Rp4 juta per bulan bisa langsung memanfaatkan dana Tapera. Sementara bagi pekerja di luar kategori MBR tetap diwajibkan menabung, tetapi tidak diperkenankan membeli rumah murah. Namun, hasil tabungannya bisa dicairkan saat berusia 58 tahun atau masa pensiun.
Sebenarnya bagi pengusaha tidak keberatan dengan niat pemerintah yang mendorong MBR menabung untuk membeli rumah. Keberatan pengusaha terletak pada iuran. Selain ditanggung peserta, juga melibatkan pengusaha meski porsi pembiayaan diarahkan lebih besar kepada pekerja. Sebagaimana ditegaskan Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, selama ini pungutan yang dibebankan kepada pengusaha sudah cukup banyak, di antaranya iuran BPJS Ketenagakerjaan yang melingkupi pembiayaan perumahan. Jadi, dana tersebut tinggal diefektifkan sehingga tidak perlu muncul iuran baru lagi yang memberatkan pengusaha.
Penetapan porsi iuran Tapera memang akan menjadi persoalan krusial. Seperti kabar yang beredar bahwa nantinya besaran iuran sekitar 3% yang berasal dari pekerja dan pemberi kerja. Namun, porsi lebih besar akan dibebankan kepada pekerja karena merekalah yang langsung merasakan manfaat Tapera. Direktorat Pembiayaan Perumahan sudah membuat simulasi iuran Tapera 3%, dengan komposisi sebesar 2,5% dari pekerja dan sekitar 0,5% menjadi kewajiban pemberi kerja. Namun, simulasi tersebut masih harus dibicarakan dengan para pihak terkait. Pemerintah sendiri masih mencari opsi terbaik, apalagi dalam UU Tapera tidak ditetapkan berapa besar porsi iuran.
Benih-benih krusial soal iuran Tapera sudah mulai terlihat dari respons pekerja. Secara terbuka, serikat pekerja di bawah payung Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mulai mengajukan persyaratan, di antaranya penetapan iuran harus seimbang antara pekerja dan pemberi kerja. Kalau iurannya sebesar 3% maka kedua pihak harus menanggung iuran 1,5%. Para pekerja minta dilibatkan pada badan yang akan mengelola Tapera. Selain itu, KSPI meminta iuran Tapera secara otomatis bisa dicairkan setelah 10 tahun. Jadi, tugas baru pemerintah, bagaimana mempertemukan keinginan antara pekerja dan pemberi kerja. Niatnya baik, tetapi rintangannya besar.
(hyk)