Transaksi Hukum
A
A
A
PERSOALAN hukum seolah tidak pernah sepi dari pergunjingan atau isu menarik di masyarakat. Dari kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi hingga menteri atau bahkan perseteruan antarlembaga hukum di Tanah Air. Entah masyarakat lelah atau justru terus bersemangat, namun persoalan hukum terus saja muncul ke permukaan menjadi santapan media-media. Namun jika diselisik akar dari ramainya persoalan hukum, adalah kasus korupsi.
Persoalan hukum yang saat ini ramai yaitu tindak tanduk kejaksaan agung dalam menghadapi persoalan hukum dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu adanya dua persoalan di atas tanpa menafikan kasus korupsi lainnya, seperti kasus suap seorang pejabat Mahkamah Agung atau proses penyidikan seorang mantan anggota DPR atau kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang menjerat kepala daerah, pengacara, maupun pejabat dari kelompok yudikatif dan legislatif.
Tindak tanduk Kejaksaan Agung yang saat ini terus menjadi sorotan dan menuai kontroversi adalah rencana deponering terhadap perkara mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Tindak tanduk Kejagung yang ini lagi-lagi menuai kontroversi karena justru akan mendegradasikan peran Polri yang telah susah payah mengusut kasus ini (KORAN SINDO, 16/2). Meski deponering adalah hak prerogatif dari Jaksa Agung, banyak pihak menginginkan kasus ini tetap berjalan ke pengadilan dan baru di lembaga itu apakah memang kasus tersebut benar atau tidak. Artinya, biarkan kasus ini tetap berjalan tanpa terpotong di tengah jalan.
Hal kedua adalah tentang revisi UU KPK yang dianggap banyak pihak sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah ini dalam memberantas korupsi di Indonesia. Suara masyarakat menyebut bahwa revisi UU KPK yang telah dibahas di DPR ini sebagai upaya mengebiri kewenangan KPK dan pemerintah seolah masih seiring dan sejalan dengan upaya ini. Banyak desakan dari banyak pihak bahwa pemerintah berani membatalkan revisi UU tersebut jika ingin disebut sebagai pemerintah yang peduli dengan pemberantasan korupsi.
Revisi UU KPK memang menjadi perhatian dari pemerintah, begitu juga dengan perkara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Isu deponering pun seperti menjadi perhatian khusus pemerintah setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti. Presiden Jokowi seolah tidak ingin bahwa kasus hukum mantan pimpinan KPK maupun penyidik KPK Novel Baswedan yang saat ini ada di tangan kejaksaan bikin gaduh. Namun, Jaksa Agung Prasetyo selalu membantah bahwa wacana deponering kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto adalah intervensi pemerintah.
Pemerintah seolah sudah trauma dengan gaduh yang sering terjadi pada 2015. Maka dua kasus hukum, yaitu perkara mantan pimpinan dan penyidik KPK juga revisi UU KPK, tidak menjadi gaduh di awal 2016. Lalu, apakah memang wacana deponering perkara mantan pimpinan dan penyidik KPK untuk meredam kegaduhan isu revisi KPK agar pemerintah dicap sebagai pemerintah yang peduli dengan upaya pemberantasan korupsi? Artinya, upaya deponering mantan pimpinan dan penyidik KPK dilakukan Kejagung, namun revisi KPK tetap berjalan.
Artinya masyarakat juga puas dengan deponering kasus yang dianggap kriminalisasi KPK, namun di sisi lain juga harus mau menerima revisi UU KPK yang dianggap banyak pihak melemahkan kekuatan KPK. Jika demikian, seolah ada transaksi hukum yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat. Transaksi hukum yang tetap saja jauh dari semangat pemberantasan korupsi. Tentu mungkin pemerintah akan membantah bahwa adanya transaksi hukum terhadap dua persoalan hukum di atas. Namun, kesan ini wajar muncul di masyarakat dan tentu masyarakat tak menghendakinya, karena transaksi hukum seolah menjadikan hukum hanya objek bukan subjek. Artinya masyarakat tak menghendaki transaksi hukum, namun tetap ingin tidak ada pelemahan dari upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Persoalan hukum yang saat ini ramai yaitu tindak tanduk kejaksaan agung dalam menghadapi persoalan hukum dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu adanya dua persoalan di atas tanpa menafikan kasus korupsi lainnya, seperti kasus suap seorang pejabat Mahkamah Agung atau proses penyidikan seorang mantan anggota DPR atau kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang menjerat kepala daerah, pengacara, maupun pejabat dari kelompok yudikatif dan legislatif.
Tindak tanduk Kejaksaan Agung yang saat ini terus menjadi sorotan dan menuai kontroversi adalah rencana deponering terhadap perkara mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Tindak tanduk Kejagung yang ini lagi-lagi menuai kontroversi karena justru akan mendegradasikan peran Polri yang telah susah payah mengusut kasus ini (KORAN SINDO, 16/2). Meski deponering adalah hak prerogatif dari Jaksa Agung, banyak pihak menginginkan kasus ini tetap berjalan ke pengadilan dan baru di lembaga itu apakah memang kasus tersebut benar atau tidak. Artinya, biarkan kasus ini tetap berjalan tanpa terpotong di tengah jalan.
Hal kedua adalah tentang revisi UU KPK yang dianggap banyak pihak sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah ini dalam memberantas korupsi di Indonesia. Suara masyarakat menyebut bahwa revisi UU KPK yang telah dibahas di DPR ini sebagai upaya mengebiri kewenangan KPK dan pemerintah seolah masih seiring dan sejalan dengan upaya ini. Banyak desakan dari banyak pihak bahwa pemerintah berani membatalkan revisi UU tersebut jika ingin disebut sebagai pemerintah yang peduli dengan pemberantasan korupsi.
Revisi UU KPK memang menjadi perhatian dari pemerintah, begitu juga dengan perkara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Isu deponering pun seperti menjadi perhatian khusus pemerintah setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti. Presiden Jokowi seolah tidak ingin bahwa kasus hukum mantan pimpinan KPK maupun penyidik KPK Novel Baswedan yang saat ini ada di tangan kejaksaan bikin gaduh. Namun, Jaksa Agung Prasetyo selalu membantah bahwa wacana deponering kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto adalah intervensi pemerintah.
Pemerintah seolah sudah trauma dengan gaduh yang sering terjadi pada 2015. Maka dua kasus hukum, yaitu perkara mantan pimpinan dan penyidik KPK juga revisi UU KPK, tidak menjadi gaduh di awal 2016. Lalu, apakah memang wacana deponering perkara mantan pimpinan dan penyidik KPK untuk meredam kegaduhan isu revisi KPK agar pemerintah dicap sebagai pemerintah yang peduli dengan upaya pemberantasan korupsi? Artinya, upaya deponering mantan pimpinan dan penyidik KPK dilakukan Kejagung, namun revisi KPK tetap berjalan.
Artinya masyarakat juga puas dengan deponering kasus yang dianggap kriminalisasi KPK, namun di sisi lain juga harus mau menerima revisi UU KPK yang dianggap banyak pihak melemahkan kekuatan KPK. Jika demikian, seolah ada transaksi hukum yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat. Transaksi hukum yang tetap saja jauh dari semangat pemberantasan korupsi. Tentu mungkin pemerintah akan membantah bahwa adanya transaksi hukum terhadap dua persoalan hukum di atas. Namun, kesan ini wajar muncul di masyarakat dan tentu masyarakat tak menghendakinya, karena transaksi hukum seolah menjadikan hukum hanya objek bukan subjek. Artinya masyarakat tak menghendaki transaksi hukum, namun tetap ingin tidak ada pelemahan dari upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
(hyk)