Ekonomi Global dan Risiko Domestik

Jum'at, 05 Februari 2016 - 18:50 WIB
Ekonomi Global dan Risiko Domestik
Ekonomi Global dan Risiko Domestik
A A A
AUNUR ROFIQ
Praktisi Bisnis
Dewan Pembina Himpunan Alumni IPB

EKONOMI domestik masih menghadapi tantangan seiring rentannya pertumbuhan ekonomi global. Meski tahun ini pertumbuhan ekonomi global diprediksi lebih baik dari tahun lalu, masih menyimpan sejumlah risiko. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk periode dua tahun mendatang. Lembaga dunia tersebut memperkirakan ekonomi dunia pada 2016 tumbuh 3,4% dan 3,6% untuk 2017.

Tantangan lain yang dihadapi perekonomian nasional adalah terkait dampak global yang ditimbulkan oleh proses normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS), baik dari sisi waktu maupun besaran perubahan tingkat suku bunga The Fed (Fed Fund Rate). Setelah suku bunga The Fed naik pada pertengahan Desember 2015, tahun ini diperkirakan perlahan masih akan naik.

Tantangan berikutnya adalah penurunan harga komoditas yang diperkirakan masih berlanjut pada 2016 sejalan berakhirnya super-cycle harga komoditas dan rendahnya permintaan dari negara tujuan ekspor. Pertumbuhan ekonomi China yang melambat berakibat pada menurunnya laju produksi, konsumsi, dan investasi sehingga memberikan pengaruh signifikan pada perekonomian global. China yang memiliki pangsa pasar global mencapai 56% ikut memukul penurunan kinerja ekspor Indonesia, terutama ekspor komoditas akibat turunnya permintaan komoditas dari China.

Di tengah perlambatan ekonomi global dan domestik, kinerja ekspor dan impor juga terkena dampaknya. Pada 2015 kinerja ekspor dan impor kurang menggembirakan. Ter-depresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ternyata tidak mampu meningkatkan nilai ekspor nasional secara signifikan. Perkembangan ekspor yang kurang menggembirakan di antaranya disebabkan oleh banyak hal, terutama menyangkut anjloknya harga-harga komoditas ekspor utama di pasar dunia.

Sementara era booming ekspor komoditas pada tahun sebelumnya tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mempersiapkan diri meningkatkan daya saing ekspor nonmigas dan komoditas, terutama sektor manufaktur baik dalam memperkuat daya saing dan nilai tambah serta mengatasi defisit.

Pada 2015 ekspor Indonesia turun 14,62% dari USD176,29 miliar menjadi USD150,25 miliar. Adapun nilai impor turun 19,89% dari USD178,18 menjadi USD142,74 miliar.

Faktor penting lainnya yang menghambat potensi peningkatan ekspor adalah terbatasnya sarana dan prasarana penunjang ekspor serta pembiayaan perdagangan ekspor dan impor (trade financing).

Prospek ekspor impor 2016 sangat dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia, iklim usaha yang memungkinkan dunia usaha untuk tumbuh dan berkembang secara wajar menurut prinsip ekonomi efisiensi, serta perilaku dunia usaha dalam bersaing merebut pasar di luar negeri.

Pelemahan ekonomi tahun lalu juga telah menekan kinerja sektor perbankan. Risiko kredit meningkat yang memengaruhi non-performing loan dan memengaruhi laba perusahaan akibat pelemahan rupiah. Penyaluran kredit melambat karena ke-mampuan sektor riil melambat dalam menyerap kredit.

Stabilitas fiskal juga menghadapi tekanan akibat penurunan harga minyak dan tidak tercapainya target lifting sehingga menekan penerimaan negara. Pada 2015 penerimaan negara dari migas hanya Rp177,47 triliun atau hanya 85% dari target APBN Perubahan 2015. Produksi minyak sepanjang 2015 adalah 777,560 barel per hari atau 94,2% dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 825.000 barel/ hari. Sementara produksi gas juga di bawah target yakni 6.933,27 billion british thermal unit (BBTU) atau 97,9% dari target 7.079 BBTU.

Pemerintah menargetkan produksi minyak tahun ini sebesar 830.040 barel per hari dengan harga USD50/barel. Sementara saat ini harga minyak mentah di perdagangkan dalam kisaran USD30/barel sehingga terjadi selisih sebesar USD20/ barel. Sementara itu, implikasinya terhadap APBN 2016, setiap terjadi pergeseran harga sebesar USD1/ barel terhadap harga minyak akan mengurangi penerimaan negara sekitar Rp3,5 triliun hingga Rp3,9 triliun. Sementara pengaruhnya terhadap belanja negara sekitar Rp2,5 triliun hingga Rp3,6 triliun.

Baik dari sisi produksi maupun fluktuasi harga, asumsi dalam APBN 2016 akan sulit tercapai. Konsekuensinya pemerintah harus merevisi APBN 2016 agar lebih realistis. Target produksi yang ditetapkan sebesar 830.040 barel per hari bakal sulit tercapai lantaran harga minyak mentah terus melorot. Kondisi ini membuat kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) malas-malasan menggenjot produksi lantaran keuntungan menjadi tipis.

Sementara dari sisi penerimaan perpajakan juga tidak mencapai target. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp1.761,6 triliun dengan target penerimaan pajak Rp1.294 triliun. Hingga akhir 2015 pemerintah hanya mengumpulkan penerimaan Rp1.055,61 triliun atau 83% dari target.

Target penerimaan pajak pada 2016 sebesar Rp1.565,8 triliun. Target itu meningkat 5% dari penerimaan negara tahun ini. Dalam empat tahun terakhir, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Potensi penerimaan pajak nasional masih cukup besar jika melihat tax ratio yang masih rendah.

Menjawab Tantangan
Di tengah tantangan eksternal yang masih cukup berat, tantangan Indonesia mewujudkan ketahanan ekonominya sangat bergantung pada kemampuan bangsa kita sendiri dalam mengeliminasi berbagai hambatan dan sekaligus kemampuan meningkatkan daya saingnya.

Pemerintah harus meningkatkan peran sektor fiskal, sektor keuangan, dan iklim bisnis yang mampu mendorong pertumbuhan dunia usaha. Membaiknya iklim investasi dan pembangunan infrastruktur menjadi pendorong ekonomi di samping serapan anggaran dalam negeri.

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah perlu melakukan disiplin fiskal yakni efektivitas dan efisiensi belanja negara yang diarahkan untuk sektor-sektor yang lebih produktif. Selain itu, perekonomian juga perlu didukung oleh penguatan sektor keuangan. Dunia usaha harus memperoleh dukungan sektor keuangan dan perbankan yang efisien.

Untuk membiayai pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sektor keuangan domestik harus kuat. Dengan demikian, Indonesia tidak terlalu bergantung pada dana-dana asing untuk pembiayaan pembangunan.

Bank Indonesia sudah melonggarkan BI Rate seiring laju inflasi dan defisit transaksi berjalan yang menurun. Bank Indonesia memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,25% dari 7,5% dengan lending facility 7,75% dan deposit facility 5,25%.

Meski demikian, suku bunga kita masih cukup tinggi dibandingkan negara ASEAN. Suku bunga kita hanya lebih rendah dari Myanmar yang mencapai 10%. Sementara suku bunga di Singapura 0,21%, Kamboja 1,12%, Thailand 1,50%, Malaysia 3,25%, Filipina 4%, Laos 4,5%, Vietnam 4,5%, dan Brunei Darussalam 5,50%.

Pemerintah berharap penurunan BI Rate masih akan berlanjut guna mendorong sektor riil. Namun, disadari bahwa penurunan BI Rate memiliki risiko karena ekonomi global yang masih tidak menentu dan masih ada kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga sehingga bisa memicu arus modal keluar yang bisa menekan nilai tukar rupiah. Indonesia masih bergantung pada pasokan valuta asing dari investor asing dari instrumen portofolio di pasar modal, pasar uang, dan pasar obligasi pemerintah.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0986 seconds (0.1#10.140)