Guru Besar Hukum UI Nilai Novanto Tak Lakukan Pemufakatan Jahat

Jum'at, 08 Januari 2016 - 07:01 WIB
Guru Besar Hukum UI...
Guru Besar Hukum UI Nilai Novanto Tak Lakukan Pemufakatan Jahat
A A A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Andi Hamzah menilai, tidak ada unsur pemufakatan jahat yang dilakukan mantan Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

Kasus pemufakatan jahat sendiri saat ini sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurut Andi, rekaman pembicaraan yang disadap Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin dalam pertemuan Maroef bersama Novanto dan pengusaha Riza Chalid, yang juga menjadi alat bukti Kejagung dalam kasus ini, sama sekali tidak memenuhi unsur atau niat pemufakatan.

Andi menjelaskan, pemufakatan jahat dalam bahasa ahli di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih berbahasa Belanda 'samenspanning', bahasa Inggrisnya 'conspiracy', bahasa sehari-hari 'persekongkolan', tercantum dalam Pasal 88 KUHP.

Pasal tersebut berbunyi pemufakatan jahat adalah apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Bahasa aslinya 'samenspanning bestaat zoodra twee of meerdere personen overeengekomen zijn om het misdrijf te plegen'.

"Jadi pemufakatan jahat dalam Pasal 88 itu ada kesepakatan dua orang atau lebih," kata Andi Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 7 Januari 2016.

"Kalau persiapan kejahatan itu bisa disiapkan satu orang, misalnya terorisme, tapi kalau persiapan buat korupsi belum," imbuhnya.

Menurut Andi, dalam kasus dugaan pemufakatan jahat yang diduga dilakukan oleh Novanto harusnya terdapat dua orang atau lebih yang menyetujui. Tidak bisa sebuah pemufakatan dilakukan seorang diri.

Andi mengatakan, tidak semua delik berlaku pemufakatan jahat, hanya terhadap delik kejahatan terhadap keamanan negara dan Pasal 15 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.

"KUHP membatasi tidak semua kejahatan, hanya tiga kejahatan yakni, pembunuh presiden, pemberontak dan menggulingkan pemerintah. Kemudian juga bermufakat tipikor itu harus disebut korupsi yang mana," jelasnya.

Mantan Staf Ahli Jaksa Agung itu juga mencontohkan, untuk melakukan suap-menyuap maka harus ada dua pihak. Kemudian bermufakat korupsi untuk memeras.

"Kalau satu unsur pidana tidak ada, maka tidak ada pidana. Jadi apa yang saya utarakan bukan pada satu kasus, tapi semua kasus. Harus memenuhi unsur pidana," tandas Andi.

Pilihan:

Ditinggal Koalisi, Gerindra Tak Masalah Sendirian di KMP
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0408 seconds (0.1#10.140)