Multidimensi Tragedi Paris

Senin, 16 November 2015 - 07:31 WIB
Multidimensi Tragedi...
Multidimensi Tragedi Paris
A A A
PRANCIS menangis. Dunia berduka. Serangkaian aksi kekerasan -yang tampaknya dirancang dengan matang- menewaskan ratusan manusia yang tidak berdosa. Pemerintah Prancis masih mendalami pelaku dan motif penyerangan. Walau demikian, kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas pembantaian di enam sudut kota Paris. Sebagaimana dilansir beberapa media nasional dan internasional, motif penyerangan adalah balas dendam atas kebijakan pemerintah Prancis dalam masalah di Suriah. Benarkah demikian?

ISIS sebagai Culprit
Setelah riwayat Al-Qaeda tamat, ISIS menjadi ”hantu pencabut nyawa” yang paling ditakuti negara-negara Barat. ISIS menjadi culprit, pelaku dan biang semua kejahatan. ISIS mengaku bertanggung jawab atas pengeboman pesawat Rusia di Mesir. Setelah Prancis, mereka menebar ancaman akan menyerang Inggris dan negara-negara Barat lainnya.

Ketakutan negara-negara Barat terhadap ISIS sangat bisa dipahami. Pertama, baik ISIS maupun Al-Qaeda menjadikan negara-negara Barat baik warga negara, fasilitas, maupun jaringan sebagai musuh utama dan sasaran aksi mereka. Akan tetapi sebagaimana video yang dirilis melalui berbagai media, dalam melakukan aksinya, ISIS lebih brutal dan sadistis dibandingkan dengan Al-Qaeda. Cara ISIS mengeksekusi para korban sungguh mengerikan.

Kedua, ISIS mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan. Banyak kalangan muda dari negara-negara Barat yang bergabung dengan ISIS. Mereka tidak hanya berasal dari keturunan Arab, tetapi juga keturunan dan warga negara Eropa. Kelompok pendukung ISIS dari keturunan Eropa lebih menyulitkan karena mereka menguasai semua hal tentang Eropa, melek teknologi, dan ekonomi yang kuat. Mereka bergabung karena alasan ideologis dan politis.

Bagi mereka, ISIS memiliki tujuan perjuangan yang jelas. ISIS memberikan harapan dan mimpi mewujudkan negara Islam di bawah kepemimpinan khalifah yang tegas dan berani. Mayoritas negara-negara Islam di Timur Tengah adalah kerajaan yang dipimpin para raja. Di mata para pendukung ISIS, para raja itu hanyalah antek, kaki tangan, dan boneka Barat yang tidak berpihak kepada rakyat dan tidak bersungguh-sungguh menegakkan syariat Islam.

Ketiga, ISIS memiliki sumber dana yang kuat. Hal ini memungkinkan mereka melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia dan merekrut anggota baru dari kalangan muda yang terinspirasi oleh mimpi kepahlawanan. Dari sudut pandang ideologis dan politik bisa dimaklumi jika ISIS menjadi musuh bersama negara-negara Barat dan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan Iran.

ISIS sendiri memerlukan pembuktian eksistensi. Sebagaimana jamaknya, aksi kekerasan adalah bentuk perlawanan atas represi yang dialami suatu kelompok. Dimensi politik ini penting dilihat sebagai hukum kausalitas. Kelahiran ISIS dibidani negara-negara Barat sebagai ”predator” untuk menumbangkan rezim diktator. Kini ketika tumbuh menjadi raksasa, negara-negara Barat ingin membunuhnya. Bagi negara-negara Barat, ISIS telah menjadi ”anak durhaka”. Meminjam hukum evolusi, ISIS melawan untuk mempertahankan diri. Yang berlaku adalah hukum kausalitas: siapa menebar angin menuai badai.

Bukan Representasi Islam
ISIS bukanlah representasi Islam. Walaupun menyebut dirinya sebagai khalifah dan mengklaim sebagai keturunan Quraisy, al-Baghdadi tidak bisa disebut sebagai khalifah. Dalam khazanah Islam, seorang khalifah adalah mereka yang memiliki kualifikasi iman, ilmu, akhlak, dan kepemimpinan yang unggul. Khalifah dipilih oleh umat, bukan mengangkat dirinya sendiri.

Yang sangat fundamental, khalifah senantiasa berpijak dan mengambil kebijakan sesuai ajaran Islam. Karena itu, menurut Imam Syafii, tidak ada lagi kekhalifahan Islam setelah khulafau al-rasyidun: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Yang ada adalah para raja yang bergelar khalifah, sultan, dan sebagainya. Para ulama berbeda pendapat tentang kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Sebagian berpendapat Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, sebagian lainnya mengatakan bukan khalifah.

Islam adalah agama damai yang sangat menekankan pentingnya perdamaian. Diharamkan oleh Islam membunuh manusia yang tidak berdosa, bahkan dalam peperangan sekalipun. Karena itu, ISIS sebagai gerakan, organisasi, dan sepak terjangnya bukanlah representasi Islam.

Walaupun demikian, sebagai akibat tindakan ISIS, umat Islam akan menjadi korban. Label Islam sebagai teroris semakin melekat. Islamophobia akan meningkat. Semua muslim terkena getahnya. Dimensi keagamaan ini membuat gerak langkah muslim semakin sulit.

Pada konteks dalam negeri, pemerintah Prancis semakin memiliki alasan untuk menekan kaum muslim. Prancis memiliki masalah domestik yang kompleks menyangkut kewarganegaraan, kewargaan, dan budaya. Islam telah menjadi agama terbesar kedua di Prancis. Komunitas muslim di Prancis adalah yang terbesar di Eropa. Secara politik dan keagamaan, Prancis mendapatkan ”berkah” dari ”tragedi Jumat” di Paris.

Dalam konteks Eropa, kelompok antiimigrasi mendapatkan momentum untuk menolak imigran Timur Tengah. Meskipun bertentangan dengan hukum internasional, negara-negara Eropa semakin yakin untuk mengusir para pengungsi memasuki negara mereka.

Yang menanggung akibat dari tragedi Jumat di Paris adalah masyarakat dunia pencinta perdamaian. Gagasan multikulturalisme yang selama ini diperjuangkan mundur ke belakang. Masyarakat akan hidup dalam ketakutan dan kecurigaan global. Hidup semakin tidak nyaman.

Bagi kita, bangsa Indonesia, tragedi Jumat di Paris adalah pelajaran tentang arti pentingnya saling menghormati dan hidup berdampingan secara damai. Tragedi Paris tidak ada kaitan permusuhan antaragama. ISIS adalah gerakan politik yang semua langkahnya bertujuan politik kekuasaan mereka sendiri. Islam dan muslim tidak mendapatkan berkah perjuangan mereka, tetapi justru kesulitan dan rusaknya citra. Semoga umat beragama di Indonesia bertindak dan bersikap arif!
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0930 seconds (0.1#10.140)