Pilkada Serentak
A
A
A
Tak lama lagi kita akan menyelenggarakan pilkada serentak, tepatnya pada 9 Desember mendatang. Keberhasilan event besar ini menjadi pertaruhan kedewasaan demokrasi di negara ini. Karena itu, seluruh stakeholder yang terlibat harus berupaya keras menyukseskan pilkada serentak yang baru pertama dilakukan dalam sejarah ketatanegaraan republik ini.
Penyelenggaraan pilkada serentak memang bukan hal mudah. Karena ada 269 daerah yang secara bersamaan menyelenggarakan pemilu pada hari yang sama. Meski banyak tantangannya, bukan hal yang mustahil untuk membuatnya berjalan sukses. Yang dibutuhkan adalah keseriusan dari seluruh pihak untuk memastikan pilkada serentak bisa berjalan baik. Apalagi Indonesia punya pengalaman dua kali berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung dengan damai.
Karena itu, tak ada alasan bagi kita untuk tidak bisa menyelenggarakan pilkada serentak ini secara baik. Meski begitu, potensi-potensi yang bisa mengganggu atau menggagalkan pilkada serentak patut diwaspadai sejak dini. Kalau tidak, hal itu bisa menjadi ganjalan atau ancaman serius bagi keberlangsungan pilkada serentak ini. Kita masih punya waktu kurang lebih satu bulan untuk memperbaiki berbagai hal yang mungkin bisa menjadi penghalang terselenggarakan pesta demokrasi rakyat tersebut. Misalnya merampungkan data pemilih yang kredibel, pengamanan hingga penyaluran kertas surat suara yang tepat waktu serta antisipasi pengawasan pascapencoblosan dan penghitungan.
Sejumlah hal yang wajib diwaspadai bisa muncul pada pilkada serentak ini di antaranya, pertama, kampanye hitam (black campaign) dari para peserta pilkada. Saat ini kampanye hitam itu sudah mulai marak di berbagai daerah. KPU dan KPUD sebagai penyelenggara pemilu—yang didukung Polri—harus mewaspadai adanya kampanye buruk ini.
Kedua, masalah netralitas pemerintah (baca birokrasi) dalam pelaksanaan pilkada nanti juga menjadi penghalang serius kalau tidak diantisipasi. Pemihakan pemerintah pada kandidat tertentu (biasanya calon incumbent ) patut mendapat perhatian serius dari para penyelenggara pemilu karena hal ini akan menjadikan masalah di kemudian hari.
Ketiga , potensi kecurangan dalam pelaksanaan pilkada juga wajib diwaspadai seperti serangan fajar atau money politic . Karena kecurangan menjadi isu seksi yang selalu muncul dalam setiap pemilu. KPU dan Polri harus jeli untuk mengendus setiap pelanggaran yang muncul. Hal ini penting agar pilkada tidak menjadi cacat hukum yang bisa menjadi peluang tidak sahnya pelaksanaan pesta demokrasi ini. Di sini pengawasan menjadi sangat penting dilakukan dalam setiap tahapan agar berbagai potensi kecurangan bisa diketahui lebih awal.
Jika menemukan berbagai pelanggaran di atas, KPU dan KPUD harus tegas dengan memberikan sanksi tegas sesuai aturan yang berlaku. Selain itu, penegak hukum harus juga tegas dengan menyeret pelakunya ke pengadilan jika menemukan indikasi pidana. Misalnya pernyataan Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti yang berjanji akan menjerat kandidat yang melakukan kampanye hitam dengan Surat Edaran tentang Hate Speech memang cukup jitu. Namun penerapan SE tersebut hendaknya benar-benar hati-hati, proporsional, dan tidak tendensius. Karena keberadaan SE tentang Hate Speech masih kontroversial karena sangat berpeluang disalahgunakan lantaran tidak memiliki kriteria yang jelas.
Kesuksesan pilkada serentak ini juga menjadi tanggung jawab para peserta pilkada. Bahkan mereka bisa dikatakan lebih berperan untuk menjadikan pilkada ini berjalan demokratis dan damai. Intinya, dari awal mereka harus bisa siap menerima kemenangan dan siap pula untuk kalah. Ini sangat penting agar apa pun hasil pilkada tidak menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Bagi pihak yang merasa dirugikan, jangan bertindak di luar hukum. Karena mereka memiliki waktu 45 hari kerja untuk bisa melaporkan ke lembaga berwenang sesuai dengan kadar dan jenis kasusnya. Misalnya soal selisih suara bisa melapor ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ingat, pilkada serentak ini merupakan pertaruhan kematangan demokrasi kita sehingga semua pihak harus berkomitmen untuk ikut menyukseskan pesta rakyat ini.
Penyelenggaraan pilkada serentak memang bukan hal mudah. Karena ada 269 daerah yang secara bersamaan menyelenggarakan pemilu pada hari yang sama. Meski banyak tantangannya, bukan hal yang mustahil untuk membuatnya berjalan sukses. Yang dibutuhkan adalah keseriusan dari seluruh pihak untuk memastikan pilkada serentak bisa berjalan baik. Apalagi Indonesia punya pengalaman dua kali berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung dengan damai.
Karena itu, tak ada alasan bagi kita untuk tidak bisa menyelenggarakan pilkada serentak ini secara baik. Meski begitu, potensi-potensi yang bisa mengganggu atau menggagalkan pilkada serentak patut diwaspadai sejak dini. Kalau tidak, hal itu bisa menjadi ganjalan atau ancaman serius bagi keberlangsungan pilkada serentak ini. Kita masih punya waktu kurang lebih satu bulan untuk memperbaiki berbagai hal yang mungkin bisa menjadi penghalang terselenggarakan pesta demokrasi rakyat tersebut. Misalnya merampungkan data pemilih yang kredibel, pengamanan hingga penyaluran kertas surat suara yang tepat waktu serta antisipasi pengawasan pascapencoblosan dan penghitungan.
Sejumlah hal yang wajib diwaspadai bisa muncul pada pilkada serentak ini di antaranya, pertama, kampanye hitam (black campaign) dari para peserta pilkada. Saat ini kampanye hitam itu sudah mulai marak di berbagai daerah. KPU dan KPUD sebagai penyelenggara pemilu—yang didukung Polri—harus mewaspadai adanya kampanye buruk ini.
Kedua, masalah netralitas pemerintah (baca birokrasi) dalam pelaksanaan pilkada nanti juga menjadi penghalang serius kalau tidak diantisipasi. Pemihakan pemerintah pada kandidat tertentu (biasanya calon incumbent ) patut mendapat perhatian serius dari para penyelenggara pemilu karena hal ini akan menjadikan masalah di kemudian hari.
Ketiga , potensi kecurangan dalam pelaksanaan pilkada juga wajib diwaspadai seperti serangan fajar atau money politic . Karena kecurangan menjadi isu seksi yang selalu muncul dalam setiap pemilu. KPU dan Polri harus jeli untuk mengendus setiap pelanggaran yang muncul. Hal ini penting agar pilkada tidak menjadi cacat hukum yang bisa menjadi peluang tidak sahnya pelaksanaan pesta demokrasi ini. Di sini pengawasan menjadi sangat penting dilakukan dalam setiap tahapan agar berbagai potensi kecurangan bisa diketahui lebih awal.
Jika menemukan berbagai pelanggaran di atas, KPU dan KPUD harus tegas dengan memberikan sanksi tegas sesuai aturan yang berlaku. Selain itu, penegak hukum harus juga tegas dengan menyeret pelakunya ke pengadilan jika menemukan indikasi pidana. Misalnya pernyataan Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti yang berjanji akan menjerat kandidat yang melakukan kampanye hitam dengan Surat Edaran tentang Hate Speech memang cukup jitu. Namun penerapan SE tersebut hendaknya benar-benar hati-hati, proporsional, dan tidak tendensius. Karena keberadaan SE tentang Hate Speech masih kontroversial karena sangat berpeluang disalahgunakan lantaran tidak memiliki kriteria yang jelas.
Kesuksesan pilkada serentak ini juga menjadi tanggung jawab para peserta pilkada. Bahkan mereka bisa dikatakan lebih berperan untuk menjadikan pilkada ini berjalan demokratis dan damai. Intinya, dari awal mereka harus bisa siap menerima kemenangan dan siap pula untuk kalah. Ini sangat penting agar apa pun hasil pilkada tidak menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Bagi pihak yang merasa dirugikan, jangan bertindak di luar hukum. Karena mereka memiliki waktu 45 hari kerja untuk bisa melaporkan ke lembaga berwenang sesuai dengan kadar dan jenis kasusnya. Misalnya soal selisih suara bisa melapor ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ingat, pilkada serentak ini merupakan pertaruhan kematangan demokrasi kita sehingga semua pihak harus berkomitmen untuk ikut menyukseskan pesta rakyat ini.
(hyk)