Posisi Indonesia dalam Liberalisasi Kerja Sama TPP

Jum'at, 13 November 2015 - 08:36 WIB
Posisi Indonesia dalam Liberalisasi Kerja Sama TPP
Posisi Indonesia dalam Liberalisasi Kerja Sama TPP
A A A
KEINGINAN Indonesia untuk bergabung dengan kerja sama Trans-Pacific Partnerships (TPP) perlu dicermati kembali. TPP merupakan kerja sama perdagangan multilateral yang memuat beberapa poin yang bertentangan dengan kondisi perekonomian maupun geopolitik Indonesia. Pertama , berdasarkan kalkulasi model arus neraca perdagangan, keikutsertaan Indonesia dalam TPP hanya akan menambah defisit perdagangan sebesar USD180,4 juta. Hal ini disebabkan posisi Indonesia dalam TPP hanya dianggap sebagai penghasil bahan mentah dan tujuan pasar. Akibatnya, Indonesia terjebak pada kutukan eksportir bahan baku mentah yang tidak memiliki nilai tambah. Negara eksportir bahan baku mentah juga rentan terhadap gejolak perekonomian global yang membuat harga-harga komoditas menjadi turun.

Selain itu, ditinjau dari segi kepentingan strategis nasional, beberapa klausul TPP yang memuat 30 bab dan lebih dari 6.000 halaman itu sebagian besar mengarah pada liberalisasi secara penuh. Sebagai contoh adalah pasal tentang perlakuan terhadap BUMN yang harus disamakan dengan swasta nasional maupun asing. Artinya, tidak ada perlakuan spesial baik melalui mekanisme subsidi harga maupun dukungan kebijakan. BUMN akhirnya dapat jatuh pada jebakan privatisasi dan meninggalkan program-program pelayanan publik karena dianggap menjadi faktor lemahnya persaingan.

Padahal, salah satu fungsi BUMN adalah menjadi ujung tombak aplikasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Faktanya, tidak semua sektor dapat dimasuki oleh swasta, terutama pembangunan di daerah luar Jawa yang masih tertinggal. Karena itu, BUMN wajib hadir untuk mendukung pembangunan nasional. Dengan masuknya Indonesia ke TPP, hak tersebut hilang. Ini yang menjadi kekhawatiran utama, Indonesia akan jatuh pada liberalisasi tanpa kendali yang merugikan kepentingan bangsa.

Selain itu, di dalam perjanjian TPP yang dirilis pada 5 November lalu juga terdapat beberapa klausul yang secara terangterangan bertentangan dengan kedaulatan ekonomi nasional. Sebagai contoh, pasal yang mengatur tentang investor-state dispute settlement (ISDS) menempatkan negara dan investor dalam satu posisi yang setara di mata hukum perdagangan internasional. Akibatnya, jika investor merasa pemerintahan suatu negara TPP menerbitkan aturan yang merugikan investor, negara secara otomatis dapat digugat. Dalam prosedur ini jika Pemerintah Indonesia kalah di meja arbitrase internasional, bisa jadi aset negara dapat disita. Hal ini tentu mengundang kritik dari berbagai pihak, terutama dari senator yang berasal dari pendiri TPP sendiri yaitu Amerika Serikat.

Maka itu, cukup aneh apabila Indonesia dengan klausul-klausul yang merugikan tersebut terpaksa bergabung hanya karena desakan sejumlah negara.

***

Kehadiran TPP tidak dapat luput dari agresivitas China yang sejak awal terbentuknya gagasan ASEAN+3 (China, Jepang, dan Korea Selatan) berkeinginan kuat menguasai pasar Asia Tenggara. Pada 2012, China kemudian ikut dalam perumusan gagasan liberalisasi perdagangan yang lebih luas yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan 16 negara yang tergabung dan menguasai 28,4% perdagangan dunia.

Melihat posisi tawar China yang semakin besar di Asia Tenggara, Amerika Serikat kemudian meluncurkan kerja sama TPP. Intinya, pertarungan di ranah ekonomi ini kemudian membawa konsekuensi pada pertarungan perebutan pasar dalam konteks geopolitik. Sementara itu, negara-negara berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam terjebak pada tarikan dua negara dominan yaitu China dan Amerika Serikat.

Implikasi dari pertarungan perebutan pasar mengakibatkan negara-negara di ASEAN hanya dijadikan perpanjangan tangan kepentingan China dan Amerika Serikat. Strategi ini kemudian disebut sebagai proxy-war atau perang tanpa melibatkan kehadiran negara-negara yang berperang secara langsung. Amerika melalui TPP dan China melalui RCEP, keduanya berambisi untuk menekan negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam untuk saling bersaing dalam ekspor barang mentah dan tenaga kerja murah. Jika Vietnam bergabung ke dalam TPP, secara otomatis Indonesia juga dipaksa bergabung. Akhirnya, proxy-war ini hanya menguntungkan kepentingan dagang Amerika dan China.

Dari segi pemotongan tarif memang TPP terlihat lebih besar dibandingkan RCEP yang hanya menargetkan 65% pengurangan tarif. Jadi, dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja sama TPP lebih liberal dibandingkan kerja sama RCEP. Sementara TPP yang dalam dua tahun ke depan segera diaplikasikan tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Pemerintah Indonesia karena pemotongan tarif juga melibatkan kesiapan industri dalam negeri. Saat yang bersamaan kerja sama masyarakat ekonomi ASEAN 2015 juga akan segera berjalan. Jika Indonesia dipaksa bergabung ke dalam TPP sementara kondisi industri belum siap bersaing, dapat dipastikan defisit neraca perdagangan semakin melebar.

Lalu, apa yang seharusnya dapat dilakukan pemerintah menanggapi ajakan Amerika Serikat untuk bergabung dengan TPP?

Pertama, pemerintah harus cermat terhadap isi klausul perjanjian TPP terutama klausulklausul yang berseberangan dengan kepentingan strategis nasional.

Kedua, pemerintah harus paham bahwa TPP telah melewati lebih dari 10 forum negosiasi yang melibatkan 12 negara pendiri. Jika Indonesia ikut serta bergabung dengan TPP, posisi tawar Indonesia di antara 12 negara pendiri menjadi lebih kecil karena Pemerintah Indonesia tidak terlibat sejak awal pembahasan.

Ketiga, tanpa ikut dengan kerja sama TPP, Indonesia sebenarnya sudah bisa meraup keuntungan devisa ekspor lebih besar, caranya dengan melebarkan tujuan ekspor utama ke negara- negara berkembang lain terutama di Amerika Latin dan Afrika. Terlebih saat ini kondisi perekonomian di negara-negara yang tergabung dalam TPP mengalami pelemahan yang diprediksi terus berlangsung hingga 2-3 tahun ke depan. Karena itu, rekomendasi yang paling mungkin saat ini adalah mengoreksi kembali keinginan untuk bergabung ke dalam TPP dan fokus pada upaya perluasan pasar nonanggota TPP. Dengan begitu, Indonesia dapat lepas dari jebakan proxy-war dan defisit neraca perdagangan.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6551 seconds (0.1#10.140)