Pelajaran dari Rossi
A
A
A
Balapan MotoGP edisi 2015 ini tahun ini memang terasa berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya perang pernyataan di media yang hanya sekadar psywar, melainkan tuduhan atau tudingan hingga benar-benar perang di sirkuit. Pun panasnya perseteruan antarpembalap menjalar hingga pendukung masing-masing pembalap bahkan hingga media-media asal negara pembalap. Jika mau diselisik lebih jauh, bisa jadi perseteruan ini melibatkan pemerintahan negara masing-masing.
Puncak keseruan adalah saat laga pamungkas di Valencia, Spanyol. Dua pekan sebelum gelaran balapan dimulai, media-media di dunia pun ikut meramaikan bahkan memanaskan balapan. Seperti diduga sebelumnya, akibat ”promosi” gratis tersebut, balapan di Valencia pada Minggu, 8 November 2015 kemarin memecahkan rekor penonton, yaitu 5,9 juta orang dengan pangsa pasar mencapai 53,5%. Angka tersebut terbesar sepanjang sejarah gelaran balapan roda dua ini. Bandingkan tahun lalu, di laga pamungkas disaksikan 3 juta dan pangsa pasar 30,4%. Rekor tertinggi sebelumnya pada 1999 yang saat itu masih menggunakan mesin 500cc dan digelar di Rio de Janeiro, Brasil dengan 5,1 juta penonton.
Perang antarpembalap dimulai setelah balapan di Phillip Island, Australia. Seusai balapan, Valentino Rossi menuduh Marc Marquez melakukan konspirasi dengan Jorge Lorenzo. Rossi menuduh Marquez membantu Lorenzo untuk merengkuh juara dunia MotoGP 2015. Yang dituduh pun pasti berkelit, karena Rossi tidak menunjukkan bukti-bukti yang kuat. Lorenzo pun setali tiga uang dengan Marquez, membantah. Sumbu sudah tersulut di Phillip Island dan mulai membara ketika di Sepang, Malaysia. Marquez yang dituduh menghalang-halangi laju motor Rossi (tuduhan konspirasi dengan Lorenzo) terjatuh saat keduanya beradu kecepatan. Pihak pengadil menganggap Rossi menendang Marquez hingga terjatuh. Akibatnya Rossi mendapat hukuman start paling buncit pada balapan terakhir di Valencia. Impian untuk merengkuh juara MotoGP yang diimpikan Rossi pun sirna. Dan terbukti ketika balapan di Valencia, dia gagal mengungguli Lorenzo dalam pengumpulan poin meski sudah melewati 22 pembalap.
Masyarakat yang tidak mengetahui hiruk-pikuk MotoGP jadi bertanya-tanya tentang peperangan tersebut. Yang dulunya tak berkomentar, akhirnya berkomentar. Perang komentar pun terjadi di masyarakat dan media sosial. Lalu, apakah kita masyarakat Indonesia hanya sebagai penonton atau pengomentar dari peperangan tersebut? Jika mau mengkaji lebih dalam, ada pelajaran-pelajaran hidup dalam peperangan tersebut. Tampaknya ini lebih penting daripada kita komentar ngalor ngidul yang sekadar memuaskan argumen kita masing-masing.
Pelajaran pertama mungkin, kita harus bisa fokus pada tujuannya. Ya, Rossi yang semestinya fokus bagaimana mempertahankan keunggulannya, justru tergoda adanya dugaan konspirasi Marquez dengan Lorenzo. Dengan justru mengomentari adanya dugaan tersebut, Rossi menjadi kehilangan fokus untuk menjadi juara. Artinya, kita memang harus fokus dalam menggapai tujuan, jangan justru terpancing untuk memikirkan hal-hal lain yang mengganggu tujuan kita.
Kedua, adalah penghalang dalam mencapai tujuan kadang datang dari pihak-pihak yang tak terduga. Jika benar Marquez melakukan konspirasi, Marquez-lah yang dianggap mengganggu tujuan tersebut. Begitu dengan kita. Dalam melangkah menggapai tujuan, ada halangan-halangan yang terduga dan kita harus bisa mengatasinya dengan cepat dan tepat. Dalam kasus Rossi, tampaknya dia hanya menggunakan kata cepat bukan tepat. Apanya yang kurang tepat?
Ini berkaitan dengan pelajaran ketiga, yaitu tetap mengedepankan akal sehat daripada emosi. Seandainya Rossi tidak emosi pada balapan di Sepang, Malaysia, dan tidak bersenggolan (atau menendang) dengan Marquez, mungkin, balapan di Valencia lebih ringan dan tentu lebih ringan pula menggapai juara dunia 2015. Emosi akan menghilangkan akal sehat kita dan membuat kita gagal mencapai tujuan. Mungkin masih banyak pelajaran-pelajaran lain dalam peperangan MotoGP 2015. Bagi awam yang kurang paham tentang MotoGP, mengambil pelajaran dari peperangan itu justru membuat apa yang dilakukan Rossi, Lorenzo, dan Marquez menginspirasi kita semua.
Puncak keseruan adalah saat laga pamungkas di Valencia, Spanyol. Dua pekan sebelum gelaran balapan dimulai, media-media di dunia pun ikut meramaikan bahkan memanaskan balapan. Seperti diduga sebelumnya, akibat ”promosi” gratis tersebut, balapan di Valencia pada Minggu, 8 November 2015 kemarin memecahkan rekor penonton, yaitu 5,9 juta orang dengan pangsa pasar mencapai 53,5%. Angka tersebut terbesar sepanjang sejarah gelaran balapan roda dua ini. Bandingkan tahun lalu, di laga pamungkas disaksikan 3 juta dan pangsa pasar 30,4%. Rekor tertinggi sebelumnya pada 1999 yang saat itu masih menggunakan mesin 500cc dan digelar di Rio de Janeiro, Brasil dengan 5,1 juta penonton.
Perang antarpembalap dimulai setelah balapan di Phillip Island, Australia. Seusai balapan, Valentino Rossi menuduh Marc Marquez melakukan konspirasi dengan Jorge Lorenzo. Rossi menuduh Marquez membantu Lorenzo untuk merengkuh juara dunia MotoGP 2015. Yang dituduh pun pasti berkelit, karena Rossi tidak menunjukkan bukti-bukti yang kuat. Lorenzo pun setali tiga uang dengan Marquez, membantah. Sumbu sudah tersulut di Phillip Island dan mulai membara ketika di Sepang, Malaysia. Marquez yang dituduh menghalang-halangi laju motor Rossi (tuduhan konspirasi dengan Lorenzo) terjatuh saat keduanya beradu kecepatan. Pihak pengadil menganggap Rossi menendang Marquez hingga terjatuh. Akibatnya Rossi mendapat hukuman start paling buncit pada balapan terakhir di Valencia. Impian untuk merengkuh juara MotoGP yang diimpikan Rossi pun sirna. Dan terbukti ketika balapan di Valencia, dia gagal mengungguli Lorenzo dalam pengumpulan poin meski sudah melewati 22 pembalap.
Masyarakat yang tidak mengetahui hiruk-pikuk MotoGP jadi bertanya-tanya tentang peperangan tersebut. Yang dulunya tak berkomentar, akhirnya berkomentar. Perang komentar pun terjadi di masyarakat dan media sosial. Lalu, apakah kita masyarakat Indonesia hanya sebagai penonton atau pengomentar dari peperangan tersebut? Jika mau mengkaji lebih dalam, ada pelajaran-pelajaran hidup dalam peperangan tersebut. Tampaknya ini lebih penting daripada kita komentar ngalor ngidul yang sekadar memuaskan argumen kita masing-masing.
Pelajaran pertama mungkin, kita harus bisa fokus pada tujuannya. Ya, Rossi yang semestinya fokus bagaimana mempertahankan keunggulannya, justru tergoda adanya dugaan konspirasi Marquez dengan Lorenzo. Dengan justru mengomentari adanya dugaan tersebut, Rossi menjadi kehilangan fokus untuk menjadi juara. Artinya, kita memang harus fokus dalam menggapai tujuan, jangan justru terpancing untuk memikirkan hal-hal lain yang mengganggu tujuan kita.
Kedua, adalah penghalang dalam mencapai tujuan kadang datang dari pihak-pihak yang tak terduga. Jika benar Marquez melakukan konspirasi, Marquez-lah yang dianggap mengganggu tujuan tersebut. Begitu dengan kita. Dalam melangkah menggapai tujuan, ada halangan-halangan yang terduga dan kita harus bisa mengatasinya dengan cepat dan tepat. Dalam kasus Rossi, tampaknya dia hanya menggunakan kata cepat bukan tepat. Apanya yang kurang tepat?
Ini berkaitan dengan pelajaran ketiga, yaitu tetap mengedepankan akal sehat daripada emosi. Seandainya Rossi tidak emosi pada balapan di Sepang, Malaysia, dan tidak bersenggolan (atau menendang) dengan Marquez, mungkin, balapan di Valencia lebih ringan dan tentu lebih ringan pula menggapai juara dunia 2015. Emosi akan menghilangkan akal sehat kita dan membuat kita gagal mencapai tujuan. Mungkin masih banyak pelajaran-pelajaran lain dalam peperangan MotoGP 2015. Bagi awam yang kurang paham tentang MotoGP, mengambil pelajaran dari peperangan itu justru membuat apa yang dilakukan Rossi, Lorenzo, dan Marquez menginspirasi kita semua.
(hyk)