Godaan Politik Ekonomi Hidayatullah
A
A
A
WIBOWO HADIWARDOYO
Ketua DPP Partai Perindo,
Mantan Sekjen DPP Hidayatullah
HIDAYATULLAH menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IV mulai Sabtu (7/11) di Balikpapan, Kalimantan Timur. Tantangan ekonomi dan politik menghadang pengurus baru. Akankah ormas ini mengubah haluan?
Hidayatullah tumbuh setapak demi setapak sejak 1972 dari sebuah kampung hasil membuka hutan di pantai timur Balikpapan hingga menjelma menjadi kekuatan yang merata di berbagai daerah saat ini. Diresmikan sebagai ormas pada 2000, tentu skalanya belum dapat dibandingkan dengan Muhammadiyah atau NU yang jauh lebih senior. Namun, organisasi ini telah menemukan bentuk dalam pergerakannya sehingga dapat diyakini, pelan tapi pasti, akan mencapai tujuannya. Di antara pola pengembangan yang dapat diidentifikasi adalah melalui pengiriman pendakwah (dai) ke suatu daerah target, selanjutnya pendakwah itu mengembangkan diri bersama potensi lokal dengan mendirikan sekolah atau pesantren dan unit-unit sosial atau bisnis yang memungkinkan.
Unit sekolah yang didirikan Hidayatullah menggunakan brand Sekolah Integral dan menerapkan subsidi silang bagi siswa-siswi yang tidak mampu. Di perkotaan digunakan dua pola, full day school (sekolah sampai sore) dan boarding school (berasrama) untuk jenjang sekolah menengah. Sedangkan unit bisnis di antaranya berupa miniswalayan, perkebunan, atau penjualan ritel lainnya. Pola ini telah dilakukan di hampir 300 kabupaten dan atas dukunganmasyarakat setempat, belum satu daerah pun yang gagal dibangun, dengan pencapaian sesuai kadar masing-masing.
Untuk memenuhi tuntutan sumber daya manusia (SDM) di daerah, Hidayatullah mengembangkan sekolah tinggi pada bidang-bidang ilmu agama, kependidikan, dan ekonomi. Sebagian besar mahasiswanya mendapatkan beasiswa ikatan dinas dan setelah lulus langsung ditugaskan, baik sebagai dai, guru, maupun pengembang bisnis. Khusus untuk penugasan di daerah baru, mereka dibekali produk-produk ritel yang dapat dijual sambil berdakwah.
Dengan dukungan jaringan di daerah, Hidayatullah lebih mudah mengembangkan lembaga-lembaga layanan publik seperti Baitul Maal Hidayatullah (BMH), SAR Hidayatullah, dan Islamic Medical Service (IMS). Hampir di setiap lokasi bencana di Indonesia, minimal salah satu dari tiga lembaga ini hadir memberikan bantuan. Dalam setiap Idul Qurban, lebih 1.000 ekor kambing atau sapi terdistribusikan dan pada setiap Ramadan lebih dari Rp20 miliar dana zakat disalurkan, dengan kecenderungan untuk naik setiap tahun. BMH juga telah masuk empat besar Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) dari sisi kemampuan penghimpunan dana tahunan, dan telah memperoleh ISO 9001. Sedangkan majalah Suara Hidayatullah hingga saat ini salah satu media Islam terbesar di Indonesia dari sisi oplah dan perolehan iklan.
Organisasi ”Holding” dan Tarikan Politik
Hidayatullah merupakan salah satu contoh organisasi yang dibentuk dari bawah, berkembang secara swadaya bersama lingkungan, dan akhirnya mencapai skala nasional. Dalam sebuah audiensi dengan DPP Hidayatullah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menganalogikan organisasi semacam Hidayatullah sebagai holding organization. Tipe holding ini ditunjukkan dengan bermacam-macamnya lini disasar, pertumbuhannya cenderung hati-hati, dan mengutamakan kuatnya kendali dari pusat. Bagi organisasi holding, munas atau kongres biasanya jauh dari hiruk-pikuk, pergantian pengurus berlangsung secara damai. Hal ini berbeda dengan tipe franchise, di mana pertumbuhan bisa melesat pesat karena didukung pelaku yang sudah jadi, namun pengendalian terhadap cabang lemah. Risiko lainnya, pergantian pengurus bisa berlangsung menegangkan dan sikap daerah sering berbeda dengan pusat.
Dengan tipe pengendalian pusat yang kuat, harus diakui, Hidayatullah masuk kategori ”seksi” bagi kalangan politik. Godaan-godaan politik praktis pun berdatangan. Namun, sepengetahuan penulis, hingga 17 tahun masa reformasi, dan khususnya selama dua kali munas terakhir, Hidayatullah belum tergoyahkan untuk tetap netral politik. Hidayatullah juga menerapkan aturan tidak boleh rangkap jabatan di parpol bagi pengurus-pengurusnya dari pusat hingga daerah.
Dari sisi manajemen pencapaian tujuan, sikap itu memang lebih masuk akal. Hidayatullah sedang dalam masa pertumbuhan, tujuan yang hendak dicapai untuk berperan serta dalam membangun peradaban masih jauh. Bila terburu-buru masuk ke ranah politik praktis, risiko perpecahan segera menghadang. Kalaupun tidak sampai parah, perbedaan sikap politik akan mengganggu soliditas, sesuatu yang saat ini masih harus dihindari.
Namun, dari sisi percepatan pertumbuhan, sikap netral dapat dianggap kurang strategis. Organisasi memerlukan dukungan politis bahkan anggaran dari negara. Swadaya masyarakat bagus dari sisi independensi, tetapi pertumbuhan kebutuhan sering tak terkejar dengan cara biasa. Apalagi, setelah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan, tantangan kompetisi langsung tidak hanya dari domestik, namun juga dari organisasi-organisasi di ASEAN. Bagi Hidayatullah, kompetisi bisa terjadi di bidang sosial, pendidikan, dakwah, maupun bisnis karena semua unit (amal usaha) itu harus tumbuh dan leading di lingkungannya.
Maka itu, pengurus Hidayatullah hasil munas IV dapat mengembangkan beberapa pilihan. Pertama, tetap netral, namun bukan dalam arti antipolitik. Ada yang mengartikan netral dengan golput, tidak mau ikut serta dalam proses politik, bahkan memusuhi demokrasi karena dianggap produk Barat. Dengan iklim demokrasi terbuka saat ini, memusuhi demokrasi dapat dipandang merugikan, khususnya merugikan bagi kekuatan politik yang benar-benar ingin melakukan perbaikan. Mereka bisa gagal memperbaiki kerusakan yang sudah meluas bila dukungan dari rakyat kurang gara-gara orang-orang baik malah antipolitik. Dengan netral jenis ini, Hidayatullah menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan politik, bukan menjauhinya.
Kedua, membedakan sikap politik pusat dan daerah. Keduanya tidak harus sama, disesuaikan dengan situasi daerah masing-masing. Namun, organisasi perlu memberikan guidance yang jelas beserta risiko-risiko bagi mereka sehingga tetap terarah. Misalnya, sikap itu tidak dapat diambil tanpa surat persetujuan dari pusat sehingga tidak ada sikap liar yang berdampak perpecahan. Ketiga, membedakan sikap politik organisasi dengan anggota. Dalam hal ini ada kerumitan-kerumitan yang harus dijabarkan, apalagi bila ditambah varian perbedaan sikap pusat dan daerah.
Keempat, melanjutkan sikap sebelumnya yaitu berhubungan politik sesuai konteks dan kebutuhan, sampai saat yang dianggap tepat. Bila ini yang dipilih, fokus organisasi diarahkan pada penguatan amal-amal usaha sesuai bidangnya, dengan perhatian lebih besar pada bidang ekonomi. Dengan aset-aset yang dimiliki di seluruh Indonesia dan hubungan yang baik dengan Timur Tengah, Hidayatullah sebenarnya dapat bersiap menghadapi tantangan persaingan bebas. Bila bisnisnya lancar dan membesar, Hidayatullah dapat lebih santai dalam menghadapi godaan politik. Selamat bermunas!
Ketua DPP Partai Perindo,
Mantan Sekjen DPP Hidayatullah
HIDAYATULLAH menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IV mulai Sabtu (7/11) di Balikpapan, Kalimantan Timur. Tantangan ekonomi dan politik menghadang pengurus baru. Akankah ormas ini mengubah haluan?
Hidayatullah tumbuh setapak demi setapak sejak 1972 dari sebuah kampung hasil membuka hutan di pantai timur Balikpapan hingga menjelma menjadi kekuatan yang merata di berbagai daerah saat ini. Diresmikan sebagai ormas pada 2000, tentu skalanya belum dapat dibandingkan dengan Muhammadiyah atau NU yang jauh lebih senior. Namun, organisasi ini telah menemukan bentuk dalam pergerakannya sehingga dapat diyakini, pelan tapi pasti, akan mencapai tujuannya. Di antara pola pengembangan yang dapat diidentifikasi adalah melalui pengiriman pendakwah (dai) ke suatu daerah target, selanjutnya pendakwah itu mengembangkan diri bersama potensi lokal dengan mendirikan sekolah atau pesantren dan unit-unit sosial atau bisnis yang memungkinkan.
Unit sekolah yang didirikan Hidayatullah menggunakan brand Sekolah Integral dan menerapkan subsidi silang bagi siswa-siswi yang tidak mampu. Di perkotaan digunakan dua pola, full day school (sekolah sampai sore) dan boarding school (berasrama) untuk jenjang sekolah menengah. Sedangkan unit bisnis di antaranya berupa miniswalayan, perkebunan, atau penjualan ritel lainnya. Pola ini telah dilakukan di hampir 300 kabupaten dan atas dukunganmasyarakat setempat, belum satu daerah pun yang gagal dibangun, dengan pencapaian sesuai kadar masing-masing.
Untuk memenuhi tuntutan sumber daya manusia (SDM) di daerah, Hidayatullah mengembangkan sekolah tinggi pada bidang-bidang ilmu agama, kependidikan, dan ekonomi. Sebagian besar mahasiswanya mendapatkan beasiswa ikatan dinas dan setelah lulus langsung ditugaskan, baik sebagai dai, guru, maupun pengembang bisnis. Khusus untuk penugasan di daerah baru, mereka dibekali produk-produk ritel yang dapat dijual sambil berdakwah.
Dengan dukungan jaringan di daerah, Hidayatullah lebih mudah mengembangkan lembaga-lembaga layanan publik seperti Baitul Maal Hidayatullah (BMH), SAR Hidayatullah, dan Islamic Medical Service (IMS). Hampir di setiap lokasi bencana di Indonesia, minimal salah satu dari tiga lembaga ini hadir memberikan bantuan. Dalam setiap Idul Qurban, lebih 1.000 ekor kambing atau sapi terdistribusikan dan pada setiap Ramadan lebih dari Rp20 miliar dana zakat disalurkan, dengan kecenderungan untuk naik setiap tahun. BMH juga telah masuk empat besar Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) dari sisi kemampuan penghimpunan dana tahunan, dan telah memperoleh ISO 9001. Sedangkan majalah Suara Hidayatullah hingga saat ini salah satu media Islam terbesar di Indonesia dari sisi oplah dan perolehan iklan.
Organisasi ”Holding” dan Tarikan Politik
Hidayatullah merupakan salah satu contoh organisasi yang dibentuk dari bawah, berkembang secara swadaya bersama lingkungan, dan akhirnya mencapai skala nasional. Dalam sebuah audiensi dengan DPP Hidayatullah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menganalogikan organisasi semacam Hidayatullah sebagai holding organization. Tipe holding ini ditunjukkan dengan bermacam-macamnya lini disasar, pertumbuhannya cenderung hati-hati, dan mengutamakan kuatnya kendali dari pusat. Bagi organisasi holding, munas atau kongres biasanya jauh dari hiruk-pikuk, pergantian pengurus berlangsung secara damai. Hal ini berbeda dengan tipe franchise, di mana pertumbuhan bisa melesat pesat karena didukung pelaku yang sudah jadi, namun pengendalian terhadap cabang lemah. Risiko lainnya, pergantian pengurus bisa berlangsung menegangkan dan sikap daerah sering berbeda dengan pusat.
Dengan tipe pengendalian pusat yang kuat, harus diakui, Hidayatullah masuk kategori ”seksi” bagi kalangan politik. Godaan-godaan politik praktis pun berdatangan. Namun, sepengetahuan penulis, hingga 17 tahun masa reformasi, dan khususnya selama dua kali munas terakhir, Hidayatullah belum tergoyahkan untuk tetap netral politik. Hidayatullah juga menerapkan aturan tidak boleh rangkap jabatan di parpol bagi pengurus-pengurusnya dari pusat hingga daerah.
Dari sisi manajemen pencapaian tujuan, sikap itu memang lebih masuk akal. Hidayatullah sedang dalam masa pertumbuhan, tujuan yang hendak dicapai untuk berperan serta dalam membangun peradaban masih jauh. Bila terburu-buru masuk ke ranah politik praktis, risiko perpecahan segera menghadang. Kalaupun tidak sampai parah, perbedaan sikap politik akan mengganggu soliditas, sesuatu yang saat ini masih harus dihindari.
Namun, dari sisi percepatan pertumbuhan, sikap netral dapat dianggap kurang strategis. Organisasi memerlukan dukungan politis bahkan anggaran dari negara. Swadaya masyarakat bagus dari sisi independensi, tetapi pertumbuhan kebutuhan sering tak terkejar dengan cara biasa. Apalagi, setelah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan, tantangan kompetisi langsung tidak hanya dari domestik, namun juga dari organisasi-organisasi di ASEAN. Bagi Hidayatullah, kompetisi bisa terjadi di bidang sosial, pendidikan, dakwah, maupun bisnis karena semua unit (amal usaha) itu harus tumbuh dan leading di lingkungannya.
Maka itu, pengurus Hidayatullah hasil munas IV dapat mengembangkan beberapa pilihan. Pertama, tetap netral, namun bukan dalam arti antipolitik. Ada yang mengartikan netral dengan golput, tidak mau ikut serta dalam proses politik, bahkan memusuhi demokrasi karena dianggap produk Barat. Dengan iklim demokrasi terbuka saat ini, memusuhi demokrasi dapat dipandang merugikan, khususnya merugikan bagi kekuatan politik yang benar-benar ingin melakukan perbaikan. Mereka bisa gagal memperbaiki kerusakan yang sudah meluas bila dukungan dari rakyat kurang gara-gara orang-orang baik malah antipolitik. Dengan netral jenis ini, Hidayatullah menjaga hubungan baik dengan semua kekuatan politik, bukan menjauhinya.
Kedua, membedakan sikap politik pusat dan daerah. Keduanya tidak harus sama, disesuaikan dengan situasi daerah masing-masing. Namun, organisasi perlu memberikan guidance yang jelas beserta risiko-risiko bagi mereka sehingga tetap terarah. Misalnya, sikap itu tidak dapat diambil tanpa surat persetujuan dari pusat sehingga tidak ada sikap liar yang berdampak perpecahan. Ketiga, membedakan sikap politik organisasi dengan anggota. Dalam hal ini ada kerumitan-kerumitan yang harus dijabarkan, apalagi bila ditambah varian perbedaan sikap pusat dan daerah.
Keempat, melanjutkan sikap sebelumnya yaitu berhubungan politik sesuai konteks dan kebutuhan, sampai saat yang dianggap tepat. Bila ini yang dipilih, fokus organisasi diarahkan pada penguatan amal-amal usaha sesuai bidangnya, dengan perhatian lebih besar pada bidang ekonomi. Dengan aset-aset yang dimiliki di seluruh Indonesia dan hubungan yang baik dengan Timur Tengah, Hidayatullah sebenarnya dapat bersiap menghadapi tantangan persaingan bebas. Bila bisnisnya lancar dan membesar, Hidayatullah dapat lebih santai dalam menghadapi godaan politik. Selamat bermunas!
(hyk)