Patriotisme di Tengah Arus Globalisasi

Sabtu, 07 November 2015 - 07:32 WIB
Patriotisme di Tengah...
Patriotisme di Tengah Arus Globalisasi
A A A
KAROLIN MARGRET NATASA
Anggota Komisi IX DPR RI

DALAM dua pekan ini kita memperingati dua peristiwa heroik bernilai sejarah tinggi yaitu Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan. Pada 28 Oktober lalu kita memperingati Hari Sumpah Pemuda di mana kita mengenang Ikrar Kaum Muda pada 28 Oktober 1928. Ikrar berisi Tri-Sumpah itu menggelorakan semangat nasionalisme kaum muda sekaligus memperteguh tekad merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

Peristiwa 28 Oktober telah mengantar Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air yang menggelora pada 28 Oktober 1928 mengalami ujian hebat ketika bangsa kita berjuang hidup mati mempertahankan kemerdekaan. Puncaknya terjadi pada 10 November 1946, di mana terjadi pertempuran hebat di Kota Pahlawan, Surabaya.

Nasionalisme dan patriotisme terasa semakin relevan dan strategis di tengah kondisi keterpurukan dan proses pelapukan yang terus berlangsung di berbagai segi kehidupan masyarakat bangsa ini. Sistem nilai (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan gotong-royong) yang melandasi eksistensi kita sebagai negara bangsa mengendur akibat tergerus nilai-nilai individualisme, pragmatisme transaksional, konsumerisme, hedonisme, dan seterusnya.

Perekonomian nasional yang kian dikuasai dan ditentukan pihak asingmulai dari ketergantungan utang luar negeri, investasi asing di sektor-sektor ekonomi strategis, membanjirnya barang-barang impor semakin menyadarkan kita betapa nasionalisme (ekonomi) adalah sebuah keniscayaan. Kebijakan proteksionisme menjadi sah ketika kepentingan ekonomi rakyat banyak menjadi taruhan.

Penguatan Nasionalisme
Dalam tatanan dunia yang mengglobal dewasa ini di mana batas antarnegara menjadi kabur, tinggi-rendahnya nasionalisme suatu bangsa sangat ditentukan tinggi-rendahnya peradaban dan prestasi yang dimiliki negara bangsa tersebut. Karena itu, ketika kebangkitan nasionalisme tidak bisa meningkatkan taraf hidup berperadaban, nasionalisme dapat meredup dan luruh dengan sendirinya. Kemiskinan kultural dan struktural yang permanen membuat karakter bangsa ini makin terpuruk. Akibatnya, bangsa ini kehilangan jati diri yang membuatnya makin sulit membangkitkan kembali semangat nasionalismenya.

Pada zaman Perang Kemerdekaan, para pahlawan yang gugur di medan tempur tentu berdiri di barisan terdepan. Tetapi, pada Era Reformasi ini, banyak yang pantas mendapat gelar pahlawan dan mereka datang dari berbagai profesi, termasuk petani, nelayan, inovator, akademisi, peneliti, karyawan yang melayani kepentingan umum dan lain-lain.

Semangat nasionalisme harus terus dirawat dan diperkokoh untuk memperkuat tekad dan semangat serta energi bangsa dalam persaingan global sekaligus menaikkan harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain secara terhormat dan bermartabat. Dalam era modern, wujud nasionalisme bukan lagi dengan mengangkat senjata. Ada banyak cara untuk merawat dan memperkokoh semangat nasionalisme.

Pertama, membangun peradaban unggul dan prestasi tinggi berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tatanan kehidupan internasional. Hasil penemuan dan karyakarya terbaik putra-putri Indonesia bisa menggugah dan mempertebal rasa nasionalisme.

Bidang yang paling mudah menggugah rasa kebangsaan bisa kita disaksikan di bidang olahraga. Secara reguler, atlet-atlet terbaik setiap negara bertarung atas negara bangsa untuk merebut kampiun dunia. Selain prestasi membanggakan, olahraga juga mampu menghipnotis karena memakai atribut negara bangsa, mulai dari kostum, bendera negara, lagu kebangsaan, dan simbol-simbol kebanggaan Indonesia lainnya.

Kedua, nasionalisme Indonesia juga terawat jika kita mampu merawat kekayaan wisata alam dan warisan budaya yang tersebar di antero Nusantara. Semua kekayaan warisan budaya dan alam merupakan ikon negara bangsa kita yang membanggakan. Namun, semua itu menuntut komitmen negara untuk melestarikan dan mempromosikan itu agar memberi kebanggaan yang mempersatukan bangsa sekaligus mendatangkan keuntungan secara ekonomis.

Jika tidak, roh dan pilar negara bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan warisan sejarah para pendiri bangsa (founding fathers) akan terancam. Empat pilar yang merupakan alasan keberdirian dan keberadaan sebuah negara bangsa bernama Indonesia menjadi tidak bernilai tatkala ”isinya” mengalami dekadensi akibat berbagai distorsi dari dalam maupun dari luar.

Ketiga, kemandirian untuk mengatur sendiri ”rumah tangga besar” NKRI di semua segi kehidupan. Kita harus ”merdeka” menentukan visi, misi, dan arah pembangunan serta melakukan apa yang terbaik bagi seluruh rakyat NKRI, tanpa didikte negara-negara maju dan lembaga-lembaga donor internasional.

Sejak Orde Baru sampai Era Reformasi kini, tidak ada program konkret yang sistemik untuk memberdayakan rakyat atau menciptakan kreativitas bangsa. Bangsa kita terus bergantung pada negara lain. Implikasinya, kita menjadi bangsa yang hidupnya selalu konsumtif atau tidak produktif. Seharusnya bangsa yang kuat adalah bangsa yang produktif, bukan konsumtif.

Saat ini penguasaan asing terhadap perekonomian kita terjadi di berbagai sektor misalnya sektor pertambangan, industri pengolahan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan sektor perdagangan. Akibatnya, meskipun negara kita sudah puluhan tahun merdeka, kita masih dijajah pihak asing. Perekonomian kita didominasi pihak asing yang ikut melunturkan kebanggaan dan rasa nasionalisme kita.

Mengenai arti penting nasionalisme ini, Presiden Soekarno pernah menegaskan: ”Jikalau kita menghendaki negara kita ini kuat, oleh karena kita memerlukan negara ini sebagai suatu alat perjuangan untuk merealisasikan satu masyarakat adil dan makmur; kita harus dasarkan negara ini antara lain di atas paham kebangsaan.”

Membenahi Sistem
Di situlah arti penting Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahannya bersama Wapres Jusuf Kalla. Rasa kebangsaan (nasionalisme) dan cinta Tanah Air (patriotisme). Dengan semangat itu, kita pasti mampu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi negara bangsa saat ini, baik dari dalam maupun dari luar.

Revolusi Mental adalah buah dari proses pembelajaran terus-menerus dalam sebuah sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi negara bangsa, termasuk sistem pendidikan dan birokrasi, serta sistem sosial budaya masyarakat. Dengan demikian, Revolusi Mental seharusnya dimaknai sebagai pembenahan sistem yang akan membentuk mentalitas manusia (Indonesia). Mengubah mentalitas tanpa dukungan sistem yang kuat hanya membuang-buang energi, waktu, dan tentu saja uang.

Dalam kaitan itu, pertamatama yang harus dilakukan adalah pembenahan sistem secara terus-menerus yaitu sistem politik yang demokratis, sistem hukum yang adil dan transparan, serta sistem sosial ekonomi yang menyejahterakan seluruh rakyat.

Dalam membangun sistem, acuan filosofis ideologisnya adalah Pancasila, sedangkan patokan-patokan dasarnya ialah Konstitusi UUD 1945. Konkretnya, tugas lembaga legislatif ialah memastikan bahwa seluruh regulasi mulai dari undang-undang hingga peraturan pelaksanaan di tingkat daerah dan desa harus mencerminkan nilai-nilai fundamental dalam ideologi Pancasila dan konstitusi.

Tugas eksekutif, dari pusat hingga desa, ialah memastikan bahwa sistem yang sudah dibangun itu berjalan baik dan efektif. Kita tentu mengapresiasi pejabat negara yang lugas dan konsisten berpikir dan bekerja sesuai sistem. Kita juga berbangga menyaksikan beberapa menteri, gubernur, wali kota, hingga kepala desa yang berani bekerja out of the box (melangkahi sistem) demi kebaikan umum.

Sedangkan yudikatif memastikan bahwa seluruh kebijakan yang diambil eksekutif dan mesin birokrasi berjalan sesuai sistem yang sudah dibangun. Penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyalahi sistem harus ditindak tegas, adil, dan tanpa pandang bulu. Faktor kepercayaanlah yang menjadi alasan mengapa KPK hingga hari ini mendapat dukungan publik dan menolak setiap upaya pelemahan terhadap lembaga ini.

Jika tiga lembaga kekuasaan negara -legislatif, eksekutif, dan yudikatif- bekerja maksimal sesuai fungsi dan tanggung jawabnya, niscaya empat tugas sekaligus tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 akan tercapai yaitu melindungi seluruh tumpah darah (wilayah dan rakyat) NKRI, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta menjaga ketertiban dunia.

Itulah sesungguhnya substansi Revolusi Mental. Mental tidak korup, mental tidak konsumtif, mental tidak menempuh jalan pintas seperti lebih suka impor, dan mental main hakim sendiri. Semua mental negatif itu bisa dihilangkan hanya jika sistem berjalan. Sebaliknya, sistem yang baik dan berjalan efektif akan melahirkan mentalitas positif seperti mental kerja keras, produktif, menghargai proses, dan menghormati perbedaan.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2175 seconds (0.1#10.140)