Politik Anggaran di Tengah Bencana
A
A
A
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar
Anggota Komisi III DPR RI
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
TAHUN 2016 seharusnya sarat dengan program dan kegiatan preventif agar dampak negatif yang masif dari rangkaian bencana tahun ini tidak terulang. Sayangnya, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 tidak memberi perhatian ekstra pada kebutuhan program-program preventif dimaksud. RAPBN 2016 bahkan tidak realistis karena tidak prorakyat yang sering dihantui bencana.
Rangkaian bencana sepanjang 2015 benar-benar mengejutkan. Bukan karena bencana itu sendiri yang datang silih berganti, melainkan semua elemen masyarakat terkejut karena negara ini nyaris tak berdaya mereduksi dampak negatif dari rentetan bencana itu. Demikian tak berdayanya sehingga risiko bencana itu pun harus dipikul masyarakat di negeri tetangga.
Agar penderitaan jutaan warga di sejumlah daerah tidak terulang pada tahun-tahun mendatang, pemerintah dan masyarakat harus belajar dari pengalaman buruk tahun ini. Bencana karena reaksi alam memang tak mungkin ditangkal manusia. Tetapi, manusia yang dibekali akal budi harus mampu membaca kelemahannya sendiri pada setiap bencana yang menghadang agar ketika bencana itu datang lagi manusia siap memperkecil dampak negatifnya.
Apakah Indonesia sudah menyusun dan mempersiapkan program-program preventif untuk mengantisipasi dampak negatif dari El Nino atau musim kekeringan berkepanjangan pada 2016 nanti? Jawabannya bisa ditemukan dalam RAPBN 2016. Cukup memprihatinkan karena kemampuan Indonesia mengantisipasi ancaman itu kembali patut diragukan. Potret ketidakberdayaan negara tahun ini akan terlihat lagi pada 2016. Alokasi anggaran untuk penanggulan bencana alam tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Padahal, semua dampak negatif dari bencana tahun ini secara tidak langsung sudah memberi referensi yang sangat jelas bahwa Indonesia harus melakukan perubahan signifikan dalam merespons bencana alam akibat El Nino atau musim kering yang berkepanjangan. Perubahan itu tidak hanya dalam bentuk aksi, tetapi juga besaran alokasi anggaran.
Puncak penderitaan masyarakat sepanjang periode musim kering adalah menyusutnya stok bahan pangan, kehilangan air bersih, serta kebakaran hutan yang menyebabkan jutaan orang mengalami gangguan pernafasan. Di beberapa daerah, masyarakat bahkan kehabisan bahan pangan layak konsumsi. Baru-baru ini dilaporkan bahwa warga Dusun Tandai Rotu, Desa Katiku Luku di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, terpaksa makan ubi beracun untuk mencegah kelaparan.
Sebelumnya dari Sulawesi juga dilaporkan bahwa warga pedesaan di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pun harus mengonsumsi tumbuhan umbi beracun yang disebut Undo. Tumbuh liar di tengah hutan, Undo menjadi sumber pangan alternatif warga setempat setelah mereka gagal panen akibat kemarau panjang tahun ini. Situasi yang hampir sama juga dialami warga di Puncak Jaya, Papua.
Warga pada banyak desa di Jawa pun tak luput dari penderitaan. Di Jawa Tengah, 487 desa di 122 kecamatan sempat dalam kondisi siaga darurat kekeringan. Gagal panen sudah mengancam ketahanan pangan dan potensi defisit gizi warga di ratusan desa itu, terutama anak-anak. Warga dua desa di Kecamatan Karanggede, Desa Klumpit dan Desa Pinggir, memberanikan diri meminta bantuan bahan pangan ke Pemkab Boyolali. Mereka mengalami krisis pangan akibat lahan pertanian gagal panen.
Di tengah bencana kekeringan itu, lima gunung berapi pun meletus. Meliputi Gunung Raung di Pulau Jawa, letusan di pegunungan Gamalama dan Dukono di Kepulauan Maluku, gunung berapi Sinabung di Pulau Sumatera, dan letusan Gunung Karangetang di Pulau Siau.
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan seperti ini menegaskan bahwa negara ini benar-benar berselimut bencana nyaris sepanjang paruh kedua 2015 ini. Dahsyatnya bencana ini tergambar dari catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut BNPB, luas area kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali. Total area hutan dan lahan yang terbakar 2.089.911 hektare. Dampak ekonominya luar biasa. Kerugiannya sudah puluhan triliun. Selain menelan korban jiwa, jutaan warga mengalami gangguan pernafasan. Masa depan kesehatan mereka rapuh.
Secara umum, bisa dipastikan telah bermunculansejumlah masalah serius pada semua daerah terdampak bencana. Mulai dari kekurangan bahan pangan, kekurangan air bersih, ketidaknyamanan warga karena harus tinggal di lokasi pengungsian, penyakit sesak nafas dan gangguan kesehatan lainnya, sampai persoalan kegiatan belajar mengajar anak-anak.
Respons RAPBN 2016
Penderitaan puluhan juta warga negara tahun ini tidak boleh terulang pada tahun-tahun mendatang. Karena itu, Fraksi Partai Golkar (FPG) mencermati betul rencana kebijakan dan rencana aksi pemerintah dalam merespons kemungkinan terjadi bencana alam pada 2016. Kemampuan pemerintah mengantisipasi bisa dibaca pada postur APBN 2016. Siapa pun tidak menginginkan terjadi bencana. Tetapi, kesiapan menanggulangi bencana merupakan kewajiban karena manusia harus belajar dari rentetan bencana sebelumnya.
Sayangnya, RAPBN 2016 tidak memberi perhatian ekstra pada kebutuhan programprogram preventif terkait penanggukan bencana. Karena itu, FPG menilai RAPBN 2016 bukan hanya tidak realistis, tetapi juga tidak prorakyat. Realisasi penerimaan dari sektor pajak diperkirakan semakin menurun, tetapi sejumlah pos pengeluaran tampak membengkak. Ketidakseimbangan seperti itu bisa memberi dampak buruk pada kualitas kesejahteraan rakyat serta menambah jumlah penganggur.
Karena itu, FPG mendorong pemerintah untuk merumuskan postur APBN 2016 yang realistis dan sehat. Logika berpikirnya sederhana saja dan mengacu pada kecenderungan dan potensi penerimaan negara. Penerimaan pajak pada 2015 sudah mengalami perlambatan sebab pada akhir Oktober 2015 baru 57% dari target penerimaan Rp1.295 triliun. Realisasi penerimaan pajak hingga 31 Desember 2015 diperkirakan maksimal 80% dari target atau sekitar Rp1.050 triliun.
Berdasarkan perkiraan itu, FPG menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan perubahan pengurangan pagu Anggaran total APBN 2016 sehingga menjadi realistis dan sehat secara keuangan negara. Kalau pemerintah tidak melakukan hal itu, konsekuensinya adalah defisit anggaran semakin membengkak. Jika defisit anggaran itu ditutup dengan utang, besar kemungkinan rasio utang yang tercantum dalam undang-undang telah dilanggar.
Selain itu, FPG pun harus memberi perhatian khusus pada alokasi penyertaan modal negara (PMN) di BUMN yang terus saja membesar. Seharusnya dibalik; BUMN berkontribusi pada APBN, bukan malah menggerogoti APBN.
Maka itu, FPG meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali dan tidak memaksakan PMN di BUMN tersebut, termasuk nanti dalam pembahasan RAPBNP 2015. Permintaan ini mengingat target penerimaan pajak dan penerimaan lainnya tidak tercapai. FPG bahkan meminta pemerintah untuk menambah pengeluaran untuk program-program yang lebih prorakyat seperti pembelian peralatan penanggulangan bencana alam, merealisasikan Dana Desa Rp1 miliar per desa, pemberian subsidi suku bunga pinjaman bagi pengusaha kecil/ UKM, peningkatan subsidi pupuk, dan program prorakyat lainnya.
Khusus untuk penanggulangan bencana kekeringan dan bencana alam lain misalnya, pemerintah seharusnya meningkatkan kapasitas dan kompetensi BNPB, membeli pesawat water bombing, mengalokasikan anggaran yang cukup untuk hujan buatan, program menyediakan air bersih, memperlancar distribusi bantuan bahan pangan ke daerah yang berpotensi menghadapi masalah kelaparan, hingga memperbesar wewenang dan organisasi polisi kehutanan berikut perlengkapannya di setiap daerah.
Mencermati alokasi PMN untuk BUMN itu, FPG pun akan sulit menerimanya, terutama karena alokasi anggaran untuk bidang pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan, dan infrastruktur pedesaan relatif kecil. Karena itu, terkait Dana Desa, FPG mengingatkan pemerintah tentang urgensi pengawasan yang cermat dan lebih diperketat agar tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan-tujuan politik tertentu yang berpotensi menjadikan Dana Desa tersebut sebagai lahan korupsi baru.
Dua catatan kritis lainnya terkait dengan dorongan FPG kepada pemerintah untuk melaksanakan APBN 2016 dengan sungguh-sungguh, terutama terkait dengan penyelesaian hutang negara yang telah jatuh tempo. Kemudian, FPG harus mengkritik pemerintah karena tidak terlihat usaha yang signifikan untuk mengurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan pemanfaatan penggunaan energi baru terbarukan termasuk alokasi dana riset untuk pengembangan energi baru terbarukan.
Karena pemerintah berjanji dan menyepakati enam catatan kritis itu, FPG dan sembilan fraksi lainnya di DPR akhirnya bisa menyetujui Rancangan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna DPR pekan lalu.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar
Anggota Komisi III DPR RI
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
TAHUN 2016 seharusnya sarat dengan program dan kegiatan preventif agar dampak negatif yang masif dari rangkaian bencana tahun ini tidak terulang. Sayangnya, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 tidak memberi perhatian ekstra pada kebutuhan program-program preventif dimaksud. RAPBN 2016 bahkan tidak realistis karena tidak prorakyat yang sering dihantui bencana.
Rangkaian bencana sepanjang 2015 benar-benar mengejutkan. Bukan karena bencana itu sendiri yang datang silih berganti, melainkan semua elemen masyarakat terkejut karena negara ini nyaris tak berdaya mereduksi dampak negatif dari rentetan bencana itu. Demikian tak berdayanya sehingga risiko bencana itu pun harus dipikul masyarakat di negeri tetangga.
Agar penderitaan jutaan warga di sejumlah daerah tidak terulang pada tahun-tahun mendatang, pemerintah dan masyarakat harus belajar dari pengalaman buruk tahun ini. Bencana karena reaksi alam memang tak mungkin ditangkal manusia. Tetapi, manusia yang dibekali akal budi harus mampu membaca kelemahannya sendiri pada setiap bencana yang menghadang agar ketika bencana itu datang lagi manusia siap memperkecil dampak negatifnya.
Apakah Indonesia sudah menyusun dan mempersiapkan program-program preventif untuk mengantisipasi dampak negatif dari El Nino atau musim kekeringan berkepanjangan pada 2016 nanti? Jawabannya bisa ditemukan dalam RAPBN 2016. Cukup memprihatinkan karena kemampuan Indonesia mengantisipasi ancaman itu kembali patut diragukan. Potret ketidakberdayaan negara tahun ini akan terlihat lagi pada 2016. Alokasi anggaran untuk penanggulan bencana alam tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Padahal, semua dampak negatif dari bencana tahun ini secara tidak langsung sudah memberi referensi yang sangat jelas bahwa Indonesia harus melakukan perubahan signifikan dalam merespons bencana alam akibat El Nino atau musim kering yang berkepanjangan. Perubahan itu tidak hanya dalam bentuk aksi, tetapi juga besaran alokasi anggaran.
Puncak penderitaan masyarakat sepanjang periode musim kering adalah menyusutnya stok bahan pangan, kehilangan air bersih, serta kebakaran hutan yang menyebabkan jutaan orang mengalami gangguan pernafasan. Di beberapa daerah, masyarakat bahkan kehabisan bahan pangan layak konsumsi. Baru-baru ini dilaporkan bahwa warga Dusun Tandai Rotu, Desa Katiku Luku di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, terpaksa makan ubi beracun untuk mencegah kelaparan.
Sebelumnya dari Sulawesi juga dilaporkan bahwa warga pedesaan di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pun harus mengonsumsi tumbuhan umbi beracun yang disebut Undo. Tumbuh liar di tengah hutan, Undo menjadi sumber pangan alternatif warga setempat setelah mereka gagal panen akibat kemarau panjang tahun ini. Situasi yang hampir sama juga dialami warga di Puncak Jaya, Papua.
Warga pada banyak desa di Jawa pun tak luput dari penderitaan. Di Jawa Tengah, 487 desa di 122 kecamatan sempat dalam kondisi siaga darurat kekeringan. Gagal panen sudah mengancam ketahanan pangan dan potensi defisit gizi warga di ratusan desa itu, terutama anak-anak. Warga dua desa di Kecamatan Karanggede, Desa Klumpit dan Desa Pinggir, memberanikan diri meminta bantuan bahan pangan ke Pemkab Boyolali. Mereka mengalami krisis pangan akibat lahan pertanian gagal panen.
Di tengah bencana kekeringan itu, lima gunung berapi pun meletus. Meliputi Gunung Raung di Pulau Jawa, letusan di pegunungan Gamalama dan Dukono di Kepulauan Maluku, gunung berapi Sinabung di Pulau Sumatera, dan letusan Gunung Karangetang di Pulau Siau.
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan seperti ini menegaskan bahwa negara ini benar-benar berselimut bencana nyaris sepanjang paruh kedua 2015 ini. Dahsyatnya bencana ini tergambar dari catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut BNPB, luas area kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali. Total area hutan dan lahan yang terbakar 2.089.911 hektare. Dampak ekonominya luar biasa. Kerugiannya sudah puluhan triliun. Selain menelan korban jiwa, jutaan warga mengalami gangguan pernafasan. Masa depan kesehatan mereka rapuh.
Secara umum, bisa dipastikan telah bermunculansejumlah masalah serius pada semua daerah terdampak bencana. Mulai dari kekurangan bahan pangan, kekurangan air bersih, ketidaknyamanan warga karena harus tinggal di lokasi pengungsian, penyakit sesak nafas dan gangguan kesehatan lainnya, sampai persoalan kegiatan belajar mengajar anak-anak.
Respons RAPBN 2016
Penderitaan puluhan juta warga negara tahun ini tidak boleh terulang pada tahun-tahun mendatang. Karena itu, Fraksi Partai Golkar (FPG) mencermati betul rencana kebijakan dan rencana aksi pemerintah dalam merespons kemungkinan terjadi bencana alam pada 2016. Kemampuan pemerintah mengantisipasi bisa dibaca pada postur APBN 2016. Siapa pun tidak menginginkan terjadi bencana. Tetapi, kesiapan menanggulangi bencana merupakan kewajiban karena manusia harus belajar dari rentetan bencana sebelumnya.
Sayangnya, RAPBN 2016 tidak memberi perhatian ekstra pada kebutuhan programprogram preventif terkait penanggukan bencana. Karena itu, FPG menilai RAPBN 2016 bukan hanya tidak realistis, tetapi juga tidak prorakyat. Realisasi penerimaan dari sektor pajak diperkirakan semakin menurun, tetapi sejumlah pos pengeluaran tampak membengkak. Ketidakseimbangan seperti itu bisa memberi dampak buruk pada kualitas kesejahteraan rakyat serta menambah jumlah penganggur.
Karena itu, FPG mendorong pemerintah untuk merumuskan postur APBN 2016 yang realistis dan sehat. Logika berpikirnya sederhana saja dan mengacu pada kecenderungan dan potensi penerimaan negara. Penerimaan pajak pada 2015 sudah mengalami perlambatan sebab pada akhir Oktober 2015 baru 57% dari target penerimaan Rp1.295 triliun. Realisasi penerimaan pajak hingga 31 Desember 2015 diperkirakan maksimal 80% dari target atau sekitar Rp1.050 triliun.
Berdasarkan perkiraan itu, FPG menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan perubahan pengurangan pagu Anggaran total APBN 2016 sehingga menjadi realistis dan sehat secara keuangan negara. Kalau pemerintah tidak melakukan hal itu, konsekuensinya adalah defisit anggaran semakin membengkak. Jika defisit anggaran itu ditutup dengan utang, besar kemungkinan rasio utang yang tercantum dalam undang-undang telah dilanggar.
Selain itu, FPG pun harus memberi perhatian khusus pada alokasi penyertaan modal negara (PMN) di BUMN yang terus saja membesar. Seharusnya dibalik; BUMN berkontribusi pada APBN, bukan malah menggerogoti APBN.
Maka itu, FPG meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali dan tidak memaksakan PMN di BUMN tersebut, termasuk nanti dalam pembahasan RAPBNP 2015. Permintaan ini mengingat target penerimaan pajak dan penerimaan lainnya tidak tercapai. FPG bahkan meminta pemerintah untuk menambah pengeluaran untuk program-program yang lebih prorakyat seperti pembelian peralatan penanggulangan bencana alam, merealisasikan Dana Desa Rp1 miliar per desa, pemberian subsidi suku bunga pinjaman bagi pengusaha kecil/ UKM, peningkatan subsidi pupuk, dan program prorakyat lainnya.
Khusus untuk penanggulangan bencana kekeringan dan bencana alam lain misalnya, pemerintah seharusnya meningkatkan kapasitas dan kompetensi BNPB, membeli pesawat water bombing, mengalokasikan anggaran yang cukup untuk hujan buatan, program menyediakan air bersih, memperlancar distribusi bantuan bahan pangan ke daerah yang berpotensi menghadapi masalah kelaparan, hingga memperbesar wewenang dan organisasi polisi kehutanan berikut perlengkapannya di setiap daerah.
Mencermati alokasi PMN untuk BUMN itu, FPG pun akan sulit menerimanya, terutama karena alokasi anggaran untuk bidang pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan, dan infrastruktur pedesaan relatif kecil. Karena itu, terkait Dana Desa, FPG mengingatkan pemerintah tentang urgensi pengawasan yang cermat dan lebih diperketat agar tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan-tujuan politik tertentu yang berpotensi menjadikan Dana Desa tersebut sebagai lahan korupsi baru.
Dua catatan kritis lainnya terkait dengan dorongan FPG kepada pemerintah untuk melaksanakan APBN 2016 dengan sungguh-sungguh, terutama terkait dengan penyelesaian hutang negara yang telah jatuh tempo. Kemudian, FPG harus mengkritik pemerintah karena tidak terlihat usaha yang signifikan untuk mengurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan pemanfaatan penggunaan energi baru terbarukan termasuk alokasi dana riset untuk pengembangan energi baru terbarukan.
Karena pemerintah berjanji dan menyepakati enam catatan kritis itu, FPG dan sembilan fraksi lainnya di DPR akhirnya bisa menyetujui Rancangan Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna DPR pekan lalu.
(hyk)