Menilai Surat Edaran Kapolri

Jum'at, 06 November 2015 - 07:14 WIB
Menilai Surat Edaran Kapolri
Menilai Surat Edaran Kapolri
A A A
W RIAWAN TJANDRA
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Doktor Ilmu Hukum UGM

KAPOLRI baru saja menerbitkan Surat Edaran No SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) pada 8 Oktober 2015. Surat edaran tersebut pada intinya menegaskan beberapa hal penting. Pertama, persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM). Kedua, membahas bentuk-bentuk ujaran kebencian.

Selanjutnya SE Kapolri tersebut menyatakan bahwa apabila tidak ditangani dengan efektif, perbuatan ujaran kebencian, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa. SE Kapolri juga mengatur prosedur penanganan atas terjadinya hate speech tersebut agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial yang meluas.

Prosedur penangannya oleh anggota Polri diatur dalam beberapa tahapan. Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian. Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana. Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian. Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, setiap anggota Polri wajib melakukan berbagai tindakan preventif. Jika tindakan preventif sudah dilakukan, namun tidak menyelesaikan masalah, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Jika SE Kapolri tersebut diletakkan dalam perspektif teoretis dalam hukum administrasi negara, produk hukum tersebut merupakan salah satu varian dari peraturan kebijaksanaan (policy rule) atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai beleidsregel. Dalam hukum administrasi negara, pejabat tata usaha negara (termasuk Kapolri) memang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum baik yang berupa peraturan (regeling), keputusan tata usaha negara (beschikking), maupun peraturan kebijaksanaan. Peraturan kebijaksanaan berbeda dengan sebuah undang-undang atau peraturan karena hanya mengikat secara internal kepada pejabat tata usaha negara sendiri dan tidak ditujukan untuk mengikat secara langsung kepada masyarakat.

Hal itu tentu berbeda dengan undang-undang atau peraturan yang memang harus dibuat mengikuti sistem hierarki peraturan perundang-undangan dan ditujukan untuk mengikat secara eksternal (masyarakat) maupun internal (aparat pemerintah). Dengan demikian, kekuatan mengikat suatu peraturan kebijaksanaan kepada masyarakat seperti SE Kapolri tersebut sifatnya tidak langsung. Hal itulah yang menyebabkan suatu bentuk peraturan kebijaksanaan disebut sebagai suatu bentuk “hukum cermin” (spiegel recht) karena daya mengikatnya ibarat hanya memantulkan norma kepada masyarakat karena dampak penggunaan peraturan kebijaksanaan itu oleh aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas operasionalnya yang mau takmau juga akan berpengaruh terhadap perilaku masyarakat yang bersentuhan dengan pelaksanaan tugas aparat pemerintah.

Berkaca pada landasan teoretis peraturan kebijaksanaan dalam sistem hukum administrasi negara seperti telah diuraikan di atas, sejatinya masyarakat tak perlu khawatir terhadap eksistensi SE Kapolri tersebut. Hal itu disebabkan suatu peraturan kebijaksanaan seperti SE Kapolri itu tak dapat membentuk norma hukum baru yang berimplikasi terhadap perilaku subjek hukum yang diatur. Pembentukan norma hukum baru di ranah perdata, tata negara, administratif, maupun pidana hanya dapat dilakukan melalui suatu undang-undang atau peraturan daerah. Varian lain dari peraturan kebijaksanaan yang selama ini dikenal dalam praktik administrasi negara adalah juklak, juknis, nota dinas, pengumuman, pedoman, dan sejenisnya. Semua jenis peraturan kebijaksanaan tersebut hanya merupakan sebuah alat komunikasi organisasi antarjabatan tata usaha negara dan di lingkungan internal pejabat tata usaha negara.

Meskipun suatu peraturan kebijaksanaan memang menjadi wewenang dan terletak di ranah kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara, termasuk Kapolri, dalam hukum administrasi negara memang dilekatkan pertanggungjawaban penggunaan wewenang tata usaha negara bagi setiap pejabat tata usaha negara yaitu tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tak boleh bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration).

Surat Edaran Kapolri sebagai salah satu varian dari peraturan kebijaksanaan hanya dimaksudkan untuk menjamin ketaatasasan tindakan kepolisian dalam penanganan tindakan hate speech sebagaimana dimaksud dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan dari SE Kapolri tersebut. Polri tetap terikat untuk mematuhi berbagai prosedur hukum yang terdapat dalam norma hukum administrasi umum (UU Administrasi Pemerintahan) maupun norma hukum administrasi sektoral yang mengatur berbagai kategori tindakan yang dalam SE dikategorikan sebagai hate speech.

Selain itu, Polri dalam melaksanakan kewenangannya untuk menangani berbagai perilaku hate speech sebagaimana diatur dalam SE Kapolri juga tetap harus tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik seperti harus cermat dan hati-hati dalam melakukan penindakan, tidak menyalahgunakan wewenang, dan seterusnya. Dengan SE Kapolri tersebut, seharusnya dapat menjamin penegakan norma hukum semakin baik, bukan justru menjadi selubung bagi tindakan sewenang-wenang aparat dalam mengendalikan pelatuk kekuasaan. Maka itu, pengawasan internal terhadap para pelaksana surat edaran tersebut harus berjalan paralel dengan kewenangan untuk melaksanakan surat edaran tersebut.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5006 seconds (0.1#10.140)