Kelas Menengah & Representasi Publik
A
A
A
Perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) mulai dari tahun 1999 hingga 2014 selalu menunjukkan grafik peningkatan.Sejak 2009 tercatat bahwa Indeks Demokrasi Indonesia mencapai 67,60%, kemudian mengalami penurunan menjadi 65,48% pada tahun 2011-2013, dan kini pada tahun 2014-2015 sudah mencapai 73,04%. Angka tersebut naik sebesar 9,32 poin dan sudah mampu melampaui capaian RPJMN 2015-2019 yang menetapkan sebesar 73 poin (BPS, 2015). PengukuranIDIdilandaskan pada kebebasan sipil, hakhak politik, dan institusi demokrasi.Ada 11 variabel dan di dalamnya ada 28 indikator yang menjadi dasar penilaian BPS. Indikator kebebasan sipil mencapai angka 84,32% pemenuhan hak-hak politik mencapai 75,27%, dan terbentuknya institusi demokrasi melalui partisipasi politik mencapai 50,28%.Adanya peningkatan Indeks Demokrasi Indonesia, khususnya pada poin representasi dan partisipasi politik publik adalah capaian signifikan dalam instrumentasi demokrasi di tingkat bawah. Demokrasi yang ditampilkan selama ini cenderung elitis di tingkat atas, sementara di kalangan akar rumput terjadi peningkatan golongan putih pada setiap pemilu. Peran media sosial kemudian turut mengubah peta demokrasi tersebut dengan menampilkan diri sebagai pilar demokrasi keenam setelah pers yang secara efektif mendorong proses dialog dan advokasi di kalangan publik dalam membicarakan konteks permasalahan kekinian.Hal ini mengingat publik, terutama kalangan kelas menengah dipersepsikan sebagai segmen masyarakat yang apatis dan apolitis, cenderung untuk memelihara kondisi status quo. Kini melalui perbincangan di media sosial, mereka kemudian tersadarkan sebagai aktor politik ekstra parlemen. Namun apabila membaca tentang tingkat partisipasi publik dalam pemilu 2014 lalu yang mencapai 75,11 persen ketimbang pada pemilu 2009 yang hanya 71 persen, tentu terdapat optimisme bahwa publik yang didominasi kalangan kelas menengah mulai menunjukkan dirinya sebagai demos untuk mengawal proses pemerintahan dari akar rumput.*** Naiknya kesadaran politik yang didorong oleh kalangan kelas menengah dalam konstelasi politik kontemporer ini perlu dilihat dan dikritisi, apakah representasi dan artikulasi politik yang mereka tampilkan itu akan berlangsung seterusnya ataukah temporer. Hal tersebut mengingat aktivisme politik kelas menengah Indonesia selama ini berbasis isu yang diangkat oleh media.Selain itu, hal lain perlu dilihat secara kritis dalam membaca representasi politik adalah pola artikulasi kepentingan yang dibangun. Kajian akademik mengenai representasi politik kelas menengah Indonesia selama ini dilihat sebagai model layang-layang terbalik (Usman, 1999). Pada segmen kelompok kelas menengah pertama disebut sebagai influencer yakni mereka yang secara aktif turut dalam membentuk opini publik di masyarakat melalui figuritas dan aktivitasnya, mereka hanya sekitar 1-3% saja.Kelompok kedua disebut sebagai participant yakni kelompok kelas menengah yang menjadi agen penyebar opini publik sebesar 10- 20 persen tersebut untuk bisa diterima dan dipahami oleh segmen masyarakat lainnya. Sedangkan kelompok kelas menengah ketiga yakni citizens adalah kelompok kelas menengah terbesar, adalah kelompok kelas menengah yang hanya bergerak ketikan opini publik tersebut sudah berkembang menjadi isu bersama yang perlu diperjuangkan.Pola struktural dalam representasi politik kelas menengah tersebut merupakan bagian dari rantai jejaring kedaulatan populis (chains of populist sovereignty) yang bertujuan untuk menjadi kelompok penekan dalam demokrasi (Stokke, 2013). Maka dengan membaca pola struktural dalam representasi politik kelas menengah Indonesia tersebut. Naiknya representasi dan juga partisipasi politik publik dalam IDI 2014-2015 terletak pada hasil sinergisitas ketiga lapis kelas menengah tersebut.Isu bersama yang menjadi tema besar representasi politik kelas menengah Indonesia pada pemilu 2014 lalu adalah suksesi kepresidenan dan Jokowi. Adapun pada tahun 2015 ini, terjadi pola diferensiasi kepentingan politis yang ingin diartikulasikan oleh kelas menengah Indonesia mulai dari isu ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Artinyabahwauntukmenampilkan kelas menengah Indonesia sebagai kekuatan kelompok dominan dibutuhkan adanya isu kuat yang mampu mendorong partisipasi politik besar.Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa representasi dan partisipasi politik kelas menegah Indonesia sebenarnya masih fluktuatif. Ketiadaan adanya soliditas kelas yang kuat untuk mengawal setiap kepentingan tersebut menjadikan proses artikulasi ke level pemerintah kemudian juga stagnan. Akibatnya isu tersebut hanya menjadi perbincangan hangat di media sosial dan menunggu untuk dibesarkanolehmediamenjadiisu nasional.Representasi dan juga partisipasi politik yang ingin ditampilkan oleh kelas menengah Indonesia hendaknya tidak hanya berbasis isu saja, namun juga perlu dilembagakan atau dibuat saluran politik yang jelas. Adanya program seperti participatory budgeting, atau public-state partnership perluuntuk dicoba dalam mewadahi kepentingan politik publik agar tidak hanya mengendap di jejaring media sosial saja.Wasisto Raharjo JatiPeneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
(bhr)