Politisi dan Disiplin Partai

Jum'at, 23 Oktober 2015 - 12:32 WIB
Politisi dan Disiplin...
Politisi dan Disiplin Partai
A A A
Heboh tentang revisi UU KPK yang diinisiasi oleh para politisianggotaDPR telah menimbulkan polemik di pemerintah dan gelombang protes di kalangan masyarakat sipil.

Draf usulan revisi UU KPK yang tersebar dengan cepat menunjukkan beberapa poin usulan yang mempunyai semangat untuk mengebiri KPK. Misalnya, KPK hanya boleh menangani kasus korupsi di atas Rp50 miliar rupiah dan pembatasan umur KPK menjadi 12 tahun setelah diundangkannya UU KPK pascarevisi.

Tentunya, mengingat kinerja aparat penegak hukum yang bukan lembaga ad hoc dalam menangani masalah korupsi belum maksimal, maka usulan sebagaimana tercantum didalam draf UU yang beredar tersebut layak dipahami sebagai upaya mengebiri KPK dan menjegal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tulisan ini tidak hendak membahas polemik revisi UU KPK tetapi akan fokus kepada tingkah laku politisi dan disiplin partai sebagai upaya membangun sistem perwakilan yang efektif di Indonesia.

Partai Politik adalah Penguasa

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIIB UUD 1945 yang mengatur tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (3) berbunyi ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Oleh karena itu, yang berkuasa penuh di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik, bukan politisi yang menduduki kursi anggota Dewan.

Anggota Dewan hanyalah pengisi kursi yang dimenangkan oleh partai politik di dalam pemilu dan bisa diganti kapan pun oleh partai politik pemilik kursi. Inilah makna dari Undang-Undang Dasar 1945 tentang partai politik.

Lebih lanjut, Pasal 6 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 02 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Verifikasi Syarat Calon Pengganti Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Daerah Pemilihan Umum Tahun 2009 ayat (1) menegaskan bahwa pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

Lagi-lagi, partai politiklah yang berkuasa, bukan politisi atau anggota Dewan. Oleh karena itu, dari dua ketentuan hukum tersebut jelaslah bahwa partai politik mempunyai kuasa penuh atas kursi Dewan. Bukan para politisi yang menduduki kursi Dewan. Partai politik berkuasa penuh untuk mengganti anggota Dewan dengan pertimbangan otonom dan kuasa penuh dewan pimpinan partai politik.

Sebagai contoh, di dalam pemerintahan Presiden Jokowi, ada nama-nama politisi PDI-P yang telah dilantik menjadi anggota DPR pada tahun 2014 seperti Tjahjo Kumolo, Puan Maharani dan Pramono Anung yang kemudian ditugaskan oleh pimpinan partai untuk bergabung di dalam pemerintahan Presiden Jokowi sehingga terjadi pergantian antar waktu atas kursi di Dewan yang ditinggalkan. Para politisi ini tunduk kepada keputusan partai.

Mendisiplinkan Politisi

Presiden Jokowi yang disebut oleh Ketua Umum PDI-P sebagai petugas partai telah menyerahkan dokumen Nawacita sebagai janji politik yang akan dipenuhinya selama menjadi Presiden Republik Indonesia untuk masa bakti 2015-2019. Dalam dokumen Nawacita halaman 24 terang dan jelas disebutkan, ”Kami mendukung keberadaan KPK yang dalam praktik pemberantasan korupsi telah menjadi tumpuan harapan masyarakat. KPK harus dijaga sebagai lembaga yang independen yang bebas dari pengaruh kekuatan politik.”

Dengan begitu, bila kemudian pemerintah sepakat untuk menunda pembahasan revisi UU KPK ke masa sidang DPR selanjutnya, maka hal ini tidak serta merta bisa dimaknai sebagai pembelokan dari Nawacita. Karenaempatpoinyangakan difokuskan oleh pemerintah di dalam revisi UU KPK ini masih patut diduga berada di dalam koridor penguatan KPK sebagaimana dijelaskan di dalam Nawacita. Empat poin ini adalah pertama, kewenangan lembaga antirasuah untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Kedua, terkait pengawas KPK yang akan dibentuk oleh pemerintah. Ketiga, terkait kewenangan KPK dalam penyadapan. Dan keempat, tentang persoalan penyidik independen. Tentunya, poin-poin ini jauh berbeda dengan draf usulan DPR yang sebagian isinya telah disebutkan di awal tulisan ini. Dalam pemberantasan korupsi, tidak ada satu pun partai politik di Indonesia yang menyatakan penolakannya terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Tetapi sulit untuk menemukan dokumen resmi partai yang berisi tentang detail program dan strategi partai untuk mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga adalah wajar bila kemudian di dalam rencana revisi UU KPK, para politisi DPR yang mengusulkan revisi KPK sebagaimana usulan draf revisi yang beredar tidak mendapatkan sanksi apa pun dari partainya. Para pengusul ini adalah dari PDIP 15 orang, Golkar 9 orang, PKB 2 orang, PPP 5 orang, NasDem 12 orang, dan Hanura 3 orang. Berbeda dengan politisi di Amerika Serikat yang duduk menjadi anggota Sewan/Kongres.

Partai politik tempat mereka berafiliasi tidak mempunyai kuasa untuk mengganti mereka meskipun politisi tersebut tidak mengikuti garis partai. Akuntabilitas para politisi tersebut adalah kepada pemilih, bukan sepenuhnya kepada partai. Mereka tidak berhutang kepada partai atas kursi yang mereka duduki di dalam Kongres. Oleh karena itu, hanya melalui mekanisme party whip-lah yang bisa memaksa para politisi ini berdisiplin sesuai dengan agenda dan program partai.

Akan tetapi, dalih akuntabilitas kepada pemilih selalu bisa dipakai oleh para politisi ini untuk menghindari party whip. Jadi, bila kemudian para politisi di Indonesia harus didisiplinkan, partai politik bertanggung jawab penuh untuk melakukannya. Di dalam polemik revisi UU KPK, partai politik berkuasa penuh untuk mendisiplinkan para politisi anggota dewan yang mengusulkan revisi UU KPK bila usulan tersebut benar- benar dan nyata-nyata tidak sesuai dengan agenda dan program partai politik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

UUD 1945 menjamin partai politik sebagai peserta pemilu, sehingga menjadi pemilik yang sah atas kursi anggota Dewan. Pertanyaannya, apakah partai politik bisa melaksanakan kewenangan ini bila faktanya partai politik di Indonesia masih mengalami problem mendasar untuk menjadi partai politik yang berideologi dan berorientasi pada program yang bisa dipertanggungjawabkan.

Oleh karenanya, adalah sebuah sikap yang bijak bila revisi Undang-Undang Partai Politik lebih mendesak untuk didorong dan diagendakan daripada revisi UU KPK.

Ahmad Qisa’i
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina dan Manajer Program di Kemitraan
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9424 seconds (0.1#10.140)