KPK, PDIP dan Lagu Kegagalan Cinta Rhoma Irama

Jum'at, 09 Oktober 2015 - 05:56 WIB
KPK, PDIP dan Lagu Kegagalan Cinta Rhoma Irama
KPK, PDIP dan Lagu Kegagalan Cinta Rhoma Irama
A A A
USIA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menginjak 11 tahun lebih. Pada usianya itu, keberadaan lembaga pemberantasan korupsi ini kembali terusik.

Salah satu pasal krusial yang disodorkan puluhan pengusul dalam rancangan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 30/2002 tentang KPK, membatasi usia lembaga ini hanya 12 tahun sejak revisi UU disahkan.

Usia KPK itu termaktub secara gamblang dalam Pasal 5 Rancangan UU KPK 2015. "Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-undang ini diundangkan," demikian petikan RUU KPK 2015.

Sejenak memutar ingatan, KPK dibentuk saaat era Presiden kelima Megawati Soekarnoputri yang kini masih menjabat Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pada 27 Desember 2002, Mega selaku Presiden meneken pengesahan UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang kemudian lebih dikenal dengan nama KPK.

Pembentukan KPK sebenarnya merupakan amanat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001, Pasal 43 ayat 1 hingga ayat 4.

Upaya mengubah UU KPK tak hanya terjadi di 2015. Pada tahun-tahun sebelumnya kala KPK menjerat puluhan koruptor dari unsur politikus Senayan, misalnya dalam suap cek pelawat, gaung revisi digulir. Secara simultan dan instensif, para anggota dewan melontarkan gagasan revisi itu.

Harus diakui sampai saat ini isi materi yang ingin direvisi atau ditambah pun senada.

Mulai dari amputasi kewenangan penyadapan dengan izin pengadilan, penghapusan kewenangan penuntutan, pemberian kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), jumlah minimal kerugian negara kasus korupsi yang bisa ditangani KPK, dan keberadaan KPK.

Paling menohok adalah pada draf RUU KPK 2015, DPR memasukan usia KPK maksimal 12 tahun setelah UU disahkan.

"Perseteruan keras" DPR vs KPK boleh dibilang selalu menuntun menuju pintu masuk revisi UU KPK. Tak pelak, isu tentang pemangkasan wewenang hingga pembubaran KPK kembali muncul.

Sebagai lembaga yang lahir dari "rahim" reformasi, KPK kerap menjadi bulan-bulan para politkus. Isu tentang pembubaran KPK diperkirakan dimulai sejak 2009. Konstelasi gagasan pembubaran itu kembali terkuak pada 2011.

Pada tahun itu, politikus PKS yang kini menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua DPR 2014-2019, Fahri Hamzah meminta KPK dibubarkan karena tidak memenuhi mandat rakyat dalam menjalankan pemberantasan korupsi secara sistematis.

Apalagi ditambah dukungan DPR yang sangat luar biasa terhadap KPK. Fahri menilai KPK seharusnya berusia hanya tiga tahun saja seperti The Independent Comission Against Corruption (ICAC), Hong Kong atau KPK versi Hong Kong.

"Selama tidak ada yang menggoyang pikiran saya, ya saya tidak akan goyang," kata Fahri, Oktober 2011.

Pernyataan Fahri menuai reaksi dari M Busyro Muqoddas, komisioner KPK saat itu. Bagi KPK, kata Busyro, upaya pembubaran KPK hanya pernyataan emosional.

Upaya pembubaran KPK digulirkan karena korupsi yang terjadi belakangan semakin masif yang dilakukan koruptor dan antek-anteknya.

Saat itu Busyro menegaskan, pemberantasan korupsi sudah dilakukan dengan mengintegrasikan pencegahan dan penindakan.

Artinya pencegahan dan penindakan dilakukan secara bersamaan. Hanya saja yang harus diingat bahwa upaya yang dilakukan KPK lebih banyak disorot media dari sisi penindakan.

Sedangkan pencegahan mendapat porsi tidak seimbang."Untuk pembubaran KPK silakan saja dilakukan dan ditempuh melalui fraksi di DPR. Tetapi kita tunggu saja apakah PKS atau KPK yang bubar, kita tidak tahu," tegas Busyro.

Empat tahun berselang, isu revisi UU KPK kembali muncul saat ramai penanganan kasus yang dituduhkan kepada Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan yang akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui sidang praperadilan.

KPK mengalami kekalahan dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan Budi. Kekalahan ini memantik pertanyaan besar, sebegitu bobrokkah standard operating procedure (SOP) KPK? Apakah KPK sudah melenceng dari UU Nomor 30/2002, KUHAP, dan KUHP?

Kinerja institusi KPK sempat menjadi sorotan. Terlebih tak lama kemudian Bareskrim Mabes Polri menetapkan Ketua KPK nonaktif Abraham Samad sebagai tersangka kasus "Rumah Kaca".

Abraham dituduh melakukan penyalahgunaan kewenangannya sebagai Ketua KPK karena bertemu dengan elite PDIP dengan satu tujuan utama mendapatkan posisi calon wakil presiden guna mendampingi Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpes 2014.

Beredar isu dalam pertemuan tersebut ada lobi itu disertai pemberian tawaran atau pemberian janji berupa "pengamanan" kasus korupsi PLTU Tarahan yang melibatkan mantan Bendahara Umum PDIP Izendrik Emir Moeis.

Sejumlah politikus dan pakar menilai Komite Etik tidak efektif mengusut dugaan pelanggaran Abraham sehingga perlu dibentuk Dewan Kehormatan dan menghapuskan Komite Etik.

Upaya "memperbaiki" KPK dengan cara mengutak-atik berbagai kewenangannya kian mendapat tempat saat KPK kalah dalam gelombang praperadilan para tersangka.

KPK disarankan mengubah atau memperbaiki SOP. Bahkan penguatan kewenangan diwacanakan masuk dalam draf revisi UU KPK. Nyatanya?

Semasa menjadi saksi sidang gugatan praperadilan Budi Gunawan, Hasto Kristiyanto selaku Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal DPP PDIP menyampaikan salah besar bila partai dituding ingin membubarkan KPK.

Dia merujuk pernyataannya dengan melihat pembubuhan tanda tangan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarno saat menjadi Presiden sewaktu mengesahkan UU KPK pada 27 Desember 2002, sebagai jalan legitimasi resmi pendirian KPK.

Hasto sempat berujar PDIP berupaya semaksimal mungkin memberikan dukungan kepada KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemberantasan korupsi di negeri ini.

Bahkan dia menegaskan PDIP tidak akan melakukan intervensi apapun meski kadernya dijerat KPK.

"Ibu Mega dulu yang tanda tangan KPK. Korupsi ini adalah masalah bangsa yang harus kita perangi bersama. Kami berikan dukungan sepenuhnya (kepada KPK). Bahkan dalam beberapa acara penting pun kami libatkan KPK," tegas Hasto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 10 Februari 2015.

Empat bulan kemudian atau tepat Selasa, 16 Juni 2015, pemerintah yang digawangi Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang juga kader PDIP Yasonna Hamonangan Laoly dan Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat kerja, menyepakati UU Nomor 30/2002 tentang KPK direvisi dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015.

Baleg sebenarnya sempat mencecar Menkumham soal komitmen pemerintah dalam pembahasan sejumlah RUU, termasuk RUU KPK.

Karena dengan waktu yang hanya tersisa beberapa bulan lagi, target Prolegnas 2015 sulit tercapai.

Semula DPR khususnya Baleg beranganggapan revisi UU KPK belum terlalu mendesak. Tapi justru pemerintah melalui Menkumham ngotot dan mendorong adanya perubahan UU KPK.

Ada dua alasan yang disodorkan pemerintah sebagai alasan genting. Pertama, kewenangan penyadapan yang selama ini dijalankan KPK berpotensi melanggar hak asasi manusia. Kedua, revisi dimaksudkan agar kewenangan penuntutan KPK dapat disinergikan dengan kejaksaan.

DPR sempat meminta penegasan pemerintah agar tidak menarik diri dari revisi UU KPK.

"Baleg meminta pada pemerintah untuk tidak menarik kembali usulan RUU tersebut karena penambahan atau penggantian RUU prioritas harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPR RI," tegas Ketua Baleg Sareh Wiyono saat rapat paripurna DPR, Selasa 23 Juni 2013.

Pada saat rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, DPR menyetujui revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015.

Rupanya beberapa hari sebelum rapat paripurna itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menarik usulan dan menolak merevisi UU KPK.

Penegasan penolak Presiden disampaikan secara gamblang oleh Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki usai menghadiri rapat terbatas (ratas) soal strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi bersama Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Jaksa Agung M Prasetyo dengan Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat 19 Juni 2015.

"Dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan Presiden melemahkan KPK. Oleh karena itu, revisi UU KPK, Presiden menolak. Kalau Presiden menolak kan DPR sebagai salah satu pembuat UU tidak bisa memaksakan," ujar Ruki.

Eksistensi KPK memang menjadi pembahasan hangat selain upaya menggergaji kewenangan KPK.

Saat menjadi pembicara kunci seminar Peringatan Hari Konstitusi yang digelar MPR, Megawati Soekarnoputri menyinggung keberadaan KPK sebagai lembaga ad hoc yang suatu saat bisa dibubarkan jika para pejabat tidak lagi korupsi.

Meski meski statusnya ad hoc, Mega melanjutkan KPK masih tetap dibutuhkan sepanjang korupsi masih tetap ada.

"Kita harus memberhentikan yang namanya korupsi sehingga komisi yang sebetulnya sifatnya ad hoc ini harus sementara saja, dapat diselesaikan, dapat dibubarkan," kata Mega di Gedung Nusantara V, DPR, Jakarta, Selasa 18 Agustus 2015.

Pernyataan Mega sempat masuk materi wawancara terbuka seleksi tahap IV yang diikuti 19 calon pimpinan (capim) KPK 2015-2019.

Kala itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie melontarkan gagasan KPK harus dibuat permanen.

Bahkan memasukan KPK dalam amendemen UUD 1945. Dengan begitu, UUD 1945 lebih lengkap. Jimly menilai pernyataan Megawati merupakan ekspresi kekecewaan.

"Harus dipahami bahwa (pernyataan Megawati itu) adalah ekspresi kekecewaan bukan hanya Ibu Mega tapi politisi kita juga kesal dengan cara kerjanya (KPK). Mudah-mudahan saya bisa meyakinkan orang supaya jangan dibubarkan lembaganya tapi kita perkuat," tegasnya.

Gagasan Jimly mendapat reaksi keras dari anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Junimart Girsang.

Menurut Junimart, gagasan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) itu sebagai upaya balas dendam kekuasaan.

"Ada yang aneh-aneh ini. Ada calon mengatakan mereka mau ini (KPK) jadi permanen. Ini kan jadi aneh. Nantinya yang ada dari para calon dendam kekuasaan. Dengan dendam kekuasaan mereka mempertahankan ini (KPK) harus terus ada, begitu," kata Junimart saat dihubungi KORAN SINDO, Kamis, 27 Agustus 2015.

Pernyataan Junimart direspon secara santai oleh Jimly.

Menurut Jimly, gagasan menjadikan KPK sebagai lembaga permanen dengan memasukannya ke dalam amandemen UUD 1945 yang disampaikan Jimly pada wawancara terbuka seleksi tahap IV, Selasa (25/8/2015) hanya merupakan gagasan. Jimly secara tersirat tidak mau terlalu ngotot untuk memuluskan gagasannya.

"Itu kan cuma gagasan dan sudah lama saya tulis, tapi diterima tidaknya tergantung para anggota DPR dan DPD yang jadi anggota MPR untuk mempertimbangkannya," kata Jimly saat dikonfirmasi KORAN SINDO melalui pesan singkat, Jumat, 28 Agustus 2015 sore.

Upaya revisi UU KPK mencapai klimaks saat 45 anggota DPR dari enam fraksi mengusulkan agar revisi UU KPK masuk Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif DPR, setelah ditarik dan ditolak pemerintah.

Sebagian besar dari mereka merupakan partai/politikus pendukung pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla. Dari enam fraksi, PDIP menyumbang pengusul paling banyak yakni 15 orang.

Mereka adalah Junimart Girsang, Masinton Pasaribu, Ichsan Soelistio, Marinus Gea, Arteria Dahlan, Abidin Fikri, Nasyirul Falah Amru, Ihsan Yunus, Adisatrya S Sulistio, Darmadi Durianto, Risa Mariska, Irini Yusiana, Charles Honoris, Imam Suroso, dan Dony Maryadi.

Dari Fraksi Partai NasDem tercantum 11 orang, T Taufiqulhadi, Amelia Anggraini, Choirul Muna, Ali Mahir, Donny Imam Priambodo, Hasan Aminuddin, Tri Murny, Yayuk Sri, Achmad Amins, Hamdhani, dan Sulaiman Hamzah.

Penyumbang pengusul terbanyak ketiga dari Fraksi Partai Golkar sebanyak sembilan orang, yakni M Misbakhun, Tantowi Yahya, Dito Ganinduto, Kahar Muzakir, Dodi Reza Alex Noerdin, Adies Kadir, Bambang Wiyogo, Daniel Mutaqien, dan Hamka Baco.

Berikutnya Fraksi PPP dengan lima anggota, Arwani Thomafi, Mz Amirul Tamim, Aditya Mufti, Elviana, dan Dony Ahmad.

Selanjutnya, ada tiga anggota Fraksi Partai Hanura, Djoni Rolindrawan, Fauziah H Amro, dan Inas Nasrullah. Terakhir dua pengusul dari Fraksi PKB, Irmawan dan Rohani Vanath.

Selepas usulan 45 anggota masuk, Baleg DPR menggelar rapat pleno guna membahasnya, Selasa 6 Oktober 2015.

Forum rapat pleno sepakat revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif DPR.

Revisi UU KPK pada 2015 kembali memantik pro-kontra baik dari kalangan DPR maupun akademisi.

Belasan pasal dan poin mendapat sorotan tajam, mulai dari usia KPK hingga kewenangan penerbitan SP3 oleh KPK.

"Apa yang diatur, poin-poin itu nyata menunjukan kekhawatiran DPR khususnya partai-partai lebih khusus lagi para politisi yang mengusulkan (draf revisi RUU KPK)," kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta, Rabu 7 Oktober 2015 malam.

Jangan-jangan bila naskah penuh RUU KPK dipegang maka bisa saja lebih dari 15 pasal dengan 10 poin krusial yang patut dipertanyakan.

Dia menilai KPK yang hanya dibatasi secara tegas 12 tahun punya makna implisit.

Secara akontrario pasal usia KPK ini menegaskan KPK itu bukan ad hoc sebelumnya.

"Sekarang baru mau di-adhoc-kan. Jadi itu sebetulnya pasal itu pengakuan mereka bahwa KPK selama ini bukan adhoc. Buktinya sekarang baru mau di-adhoc-kan, 12 tahun umurnya," tegas Gandjar.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho melihat ide merevisi UU KPK adalah ide pemberangusan lembaga KPK secara sistemik oleh anggota DPR.

Anehnya lagi para pengusung adalah wakil-wakil rakyat yang pro-penerintah dan penjaga pemerintah. PDIP dan Hanura serta Nasdem misalnya, menjadikan Jamal heran sekali.

"Mengapa dan ada skenario apa dibalik rencana revisi UU KPK? Saya rasa ide ini akan berhadapan dengan komponen seluruh rakyat Indonesia. Menurut saya jika akan merevisi maka berikan legitimasi yang lebih kuat atas kinerja KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia," kata Jamal, Rabu 7 Oktober 2015 malam.

Jika RUU KPK berhasil digolkan, maka bisa ditarik premis seperti penggalan lirik lagu berjudul Kegagalan Cinta karya Raja Dangdut Rhoma Irama:

"Kau yang mulai kau yang mengakhiri. Kau yang berjanji kau yang mengingkari".

PDIP yang memulai pengesahan KPK, PDIP juga yang mau mengakhiri pembubaran KPK. Premis dengan merujuk pada penggalan lirik tadi seolah tepat bila melihat dari tiga sudut pandang.

Pertama, siapa Presiden Indonesia saat pengesahan UU KPK di 2002. Kedua, 15 anggota Fraksi PDIP (mayoritas) pengusul revisi UU KPK pada 2015. Ketiga, Presiden Indonesia saat ini Joko Widodo.

Junimart Girsang, selaku salah satu pengusul revisi UU KPK masuk ke Prolegnas 2015 dan menjadi inisiatif DPR membantah PDIP selaku partai yang memulai keberadaan KPK juga ingin mengakhiri KPK dengan pencantuman usia 12 tahun KPK dalam Pasal 5 draf RUU KPK 2015.

"Enggak," kata Junimart saat dihubungi KORAN SINDO, Kamis 8 Oktober 2015.

Yang dipahami Junimart adalah soal 12 tahun itu jangan dihitung sejak sekarang. KPK, kata dia, dasarnya ad hoc yang berarti sifanya sementara. Yang sementara tentu punya batas juga.

"Misalnya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) kita 25 tahun ya kita bikin (usia KPK paling lama) 25 tahun. Nah, kalau pembentukan 2002 dan kita tambah 12 itu berapa tahun? 24 tahun ya kan. Kita klopkan 25. Kalau tidak bisa juga, kan bisa ditinjau. Begitu lho," ungkap Ketua Departemen Hukum DPP PDIP ini.

Artinya, kata dia, ada target-target yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sambung Junimart, ditunggu saja proses di Baleg. Nanti Baleg akan memanggil kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung (MA), Kemenkumham, para tokoh, dan para pakar hukum.

"Kalau sepakat kenapa tidak," ujarnua.

Sementara Fahri Hamzah yang sebelumnya vokal menyuarakan pembubaran KPK kini melunak. Fahri yang kini menjabat Wakil Ketua DPR berharap KPK menjadi permanen.

"Saya tidak setuju pembatasan 12 tahun, bahkan kalau perlu permanen, masuk ke dalam criminal justice system Indonesia," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 8 Oktober 2015.

Kita sama-sama layak menunggu, apakah revisi ini berlanjut hingga disahkan atau DPR mencabut revisi itu seperti sikap Presiden Jokowi sebelumnya?


PILIHAN:


Gerak KPK Dibatasi


Personel Empat Negara Akan Ikut Perang Melawan Asap
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6498 seconds (0.1#10.140)