Perselisihan Hasil Pilkada Serentak
A
A
A
Salah satu tahapan akhir pelaksanaan pilkada serentak 2015 yang akan menjadi sorotan publik adalah perselisihan hasil pilkada.Setidaknya ada dua pertanyaan mendasar terkait dengan perselisihan hasil pilkada serentak 2015. Pertama, persoalan konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Kedua , persoalan kapasitas kelembagaan MK dalam memutus perselisihan hasil pilkada serentak dalam tenggat waktu 45 hari sebagaimana ditentukan undang-undang.Konstitusionalitas Kewenangan MKPersoalan konstitusionalitas kewenangan MK memutus perkara pilkada sangat menarik untuk dikaji karena lahir dari putusan MK sendiri. Putusan MK Nomor 97/PUUXI/ 2013 pada Mei 2013 menyatakan bahwa dimasukkannya pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu bertentangan dengan UUD 1945.Hal ini membawa konsekuensi bahwa MK tidak lagi memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil pilkada karena kewenangan MK sudah disebutkan secara limitatif di dalam UUD 1945, yaitu memutus perselisihan hasil pemilu. Yang masuk dalam rezim pemilu dalam hal ini adalah pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilu presiden dan wakil presiden.Putusan tersebut sesungguhnya telah ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Namun demikian, undang-undang tersebut kemudian dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015).Dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 tersebut ditentukan bahwa pemilihan kepala daerah oleh rakyat, serta penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah menjadi wewenang pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh MA. Perubahan kembali terjadi. UU Nomor 1 Tahun 2015 diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015.Dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2015 ditegaskan bahwa perkara perselisihan hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional, yang pelaksanaannya direncanakan pada 2027.Karena itu, ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015 mengamanatkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pilkada itu konstitusional, padahal MK telah menyatakan diri tidak berwenang?Jawabannya adalah konstitusional. Landasan konstitusionalitas kewenangan itu ada pada Putusan MK Nomor 97/PUUXI/ 2013 yang dalam amarnya juga menyatakan bahwa MK masih berwenang memutus perkara perselisihan hasil pilkada sebelum ada lembaga yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.Namun, amar putusan itu tentu harus tetap dimaknai bahwa kewenangan MK memutus perselisihan hasil pilkada serentak adalah wewenang tambahan yang bersifat sementara pada masa peralihan. Sudah seharusnya sebelum pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan pada 2027, kewenangan ini tidak ada pada MK lagi.Kapasitas Kelembagaan MKMemutus perkara perselisihan hasil pilkada bukanlah barang baru bagi MK. Dari sisi substansi, perkara perselisihan hasil pemilukada dan pilkada tidak berubah. Perbedaannya hanya pada jumlah perkara yang pasti akan banyak, bahkan sebanyak jumlah pemilihan kepala daerah itu sendiri.Keseluruhan perkara tersebut harus diperiksa, diadili, dan diputus dalam waktu 45 hari. Tentu jauh lebih berat jika dibandingkan dengan penanganan perkara perselisihan pemilukada masa lalu yang pelaksanaannya tidak bersamaan. Potensi banjir perkara pilkada sesungguhnya telah diantisipasi oleh UU Nomor 8 Tahun 2015, yaitu dengan menetapkan persyaratan pengajuan perkara perselisihan hasil pilkada.Peserta pilkada (pemohon) hanya dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan penghitungan suara jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak antara 0,5% sampai 2% antara pemohon dan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU/KIP provinsi/kabupaten/ kota (termohon).Semakin besar jumlah penduduk di provinsi atau kabupaten/kota setempat, semakin kecil syarat persentase perbedaan perolehan suara antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak. Hal ini dengan sendirinya tentu akan membuat proses pembuktian perbedaan hasil penghitungan suara menjadi lebih fokus, mudah, dan cepat.Kapasitas kelembagaan MK memutus perkara dalam jumlah besar dalam tenggat waktu tertentu sesungguhnya telah teruji, misal pada saat memutus perkara perselisihan hasil pemilu legislatif. Pada Pemilu 2014, MK telah memutus 903 perkara dalam waktu 30 hari kerja. Pengalaman ini tentu sangat berharga dan telah menjadi bagian dari best practices di MK.Bekal pengalaman tersebut tentu tetap harus diikuti dengan langkah konkret persiapan, baik segenap jajaran MK maupun peserta dan penyelenggara pilkada. MK telah menetapkan PMK Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.Selain itu, MK telah menetapkan pula PMK Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.Becermin dari pengalaman yang lalu, beban berat penanganan perkara perselisihan hasil pilkada di MK sesungguhnya bersumber dari pokok perkara yang tidak sekadar mempersoalkan perbedaan hasil penghitungan suara, tetapi melebar pada berbagai bentuk pelanggaran dan sengketa di luar persoalan hasil pilkada, mulai tahap pencalonan hingga penetapan.Hal itu terjadi karena penyelesaian pelanggaran dan sengketa pada tahapan pelaksanaan pilkada sebelumnya tidak tuntas sehingga tetap menjadi pokok perkara yang diajukan dalam permohonan perkara perselisihan hasil pilkada di MK.Karena itu, penanganan perkara perselisihan hasil pilkada di MK mendatang akan sangat dipengaruhi pula oleh penyelesaian terhadap pelanggaran atau sengketa yang terjadi pada tahapan pilkada sebelumnya.Artinya, semua lembaga terkait yang berwenang hendaknya harus mampu menyelesaikan semua pelanggaran atau sengketa yang terjadi dalam setiap tahapan pilkada sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. Hal ini juga sangat penting untuk menghindari adanya putusan yang saling melemahkan.Janedjri M GaffarAlumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
(bhr)