Menggairahkan Ekonomi Kita
A
A
A
Pada awal semester II 2015 ini, kondisi perekonomian kita berada pada posisi yang sangat lesu. Nilai tukar rupiah pun menjadi bulan-bulanan atas keperkasaan dolar yang hingga Rp14.400/USD1.
Sejak Jokowi menjadi presiden, saya menganggap masalah ini menjadi persoalan paling serius yang harus segera diselesaikan sehingga tak berlebihan jika Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menilai perekonomian kita sudah melewati lampu kuning.
Kamis, 3 September 2015, saya memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Anggaran DPR RI dengan menghadirkan Prof Dr Anwar Nasution, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan Dr Farial Anwar, Director Currency Management Group. Dalam RDPU yang membahas dampak pelemahan rupiah terhadap kondisi ekonomi makro tersebut, Anwar Nasution mengatakan bahwa kondisi ekonomi saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis, krisis 1988 bukan mustahil akan terulang kembali. Lebih jauh, Anwar Nasution menjelaskan bahwa sebenarnya kesulitan ekonomi di Indonesia disebabkan oleh empat gejolak eksternal yang terjadi secara beruntun. Pertama, penurunan permintaan maupun tingkat harga komoditas primer di pasar dunia yang terjadi sejak akhir 2011.
Kedua, berkaitan dengan kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga di Amerika Serikat (AS) sehubungan dengan berakhirnya kebijakan quantitative easing (QE) yaitu dengan membeli semua obligasi jangka panjang sebesar USD85 miliar sejak 2009 hingga 2013. Kebijakan ini menyebabkan aliran dana dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali ke AS. Dengan kata lain, US dolar kembali membanjiri negeri Paman Sam itu sehingga menghidupkan kembali perekonomian AS yang sempat terkena krisis.
Setelah perekonomian negara Adidaya itu pulih, The Fed mengeluarkan kebijakan tapering off yaitu mengurangi kebijakan pembelian obligasi dan surat utang pemerintah. Ketiga, berkaitan dengan musim kering El Nino yang melanda daerah produksi hasil pertanian di Indonesia. Karena kegagalan panen, Indonesia harus mengimpor beras untuk tahun ini dan tahun depan.
Gejolak eksternal keempat adalah devaluasi Renminbi sebesar 1,9% baru-baru ini untuk mengoreksi penguatan yang terlalu tinggi atas mata uang itu yang dianggap oleh pasar sebagai pertanda akan dimulainya perang mata uang (Currency war) baru.
Sementara pada faktor internal, Ferial Anwar menjelaskan bahwa kita mengalami beberapa persoalan yang menyebabkan pelemahan ekonomi di antaranya terjadi capital outflow dari spekulator yang melakukan aksi jual di pasar modal Indonesia. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok tajam dari level tertinggi 5.523 pada April 2015 ke 4.412 pada awal September 2015.
Kondisi demikian diikuti dengan kegagalan program transformasi industri di Indonesia, dari yang berbasis barang komoditas kepada manufaktur. Selama ini kita mengandalkan ekspor barang komoditas, namun ternyata harga barang komoditas di pasar internasional jatuh sehingga apa yang diandalkan tidak mampu menolong. Di lain sisi, kita akan dibuat kecewa melihat fakta serapan pemerintah terhadap anggaran 2015.
Berdasarkan laporan dan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penyerapan anggaran belanja pemerintah selama masa semester I 2015 ini hanya mencapai Rp773,9 triliun. Jika melihat total alokasi APBN-P 2015 yang mencapai Rp1.984,4 triliun, bisa dipastikan bahwa daya serap serta daya belanja pemerintah sangatlah lemah. Daya serap pemerintah hanya mampu mencapai kisaran 39%. Adanya uang yang tak terbelanjakan tersebut menjadi faktor internal di antara sekian faktor yang memengaruhi kelambatan laju pertumbuhan ekonomi.
Solusi Pemerintah
Setelah sekian minggu publik menunggu kebijakan pemerintah, akhirnya pada 9 September 2015 kemarin Presiden Jokowi bersama sejumlah menteri, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan paket kebijakan ekonomi tahap pertama. Kebijakan itu bertujuan menggerakkan kembali sektor riil yang diharapkan mampu menjadi fondasi bagi lompatan ekonomi masa mendatang.
Di Istana Merdeka Jakarta, Jokowi menjelaskan bahwa pemerintah akan melakukan beberapa hal. Pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum, dan kepastian usaha. Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan penyelesaiannya.
Ketiga, meningkatkan investasi di bidang properti. Memperbanyak peluang diversifikasi. Keempat, memperkuat daya beli masyarakat yang dilakukan dengan mengarahkan dana desa untuk infrastruktur pedesaan. Pengerjaan infrastruktur pedesaan harus dilakukan dengan padat karya dari masyarakat desa setempat.
Selain itu, pihak OJK juga akan memberi kemudahan bagi warga asing membuka rekening valuta asing agar dapat mendukung bertambahnya valuta asing di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut, meski belum bisa dinilai sebagai langkah akrobatik, paling tidak dapat memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa selama ini pemerintah memang mempunyai strategi untuk menggerakkan ekonomi. Setidaknya masyarakat juga optimistis pada paket kebijakan ekonomi tahap berikutnya.
Kebijakan ini juga akan meyakinkan kembali pelaku usaha untuk kembali melirik Indonesia sebagai ladang investasi. Saya termasuk pihak yang turut berbahagia menyambut diputuskannya paket kebijakan ekonomi tersebut. Deregulasi 98 peraturan dan debirokratisasi yang terkandung dalam paket ekonomi tersebut semoga saja bisa diikuti dengan kerja cepat dan tepat oleh para birokrat untuk melakukan penyerapan anggaran secara maksimal, terutama pada proyek berskala mega.
Dan, yang tak kalah penting, paket kebijakan ini, hemat saya, akan mampu mengembalikan kredibilitas pemerintah di mata pelaku usaha sehingga pemerintah akan mudah mengelola ekspektasi pasar. Dengan dukungan dari semua pihak, saya percaya, Presiden Jokowi akan mampu menggairahkan perekonomian kita. Semoga.
Jazilul Fawaid
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI
Sejak Jokowi menjadi presiden, saya menganggap masalah ini menjadi persoalan paling serius yang harus segera diselesaikan sehingga tak berlebihan jika Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menilai perekonomian kita sudah melewati lampu kuning.
Kamis, 3 September 2015, saya memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Anggaran DPR RI dengan menghadirkan Prof Dr Anwar Nasution, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan Dr Farial Anwar, Director Currency Management Group. Dalam RDPU yang membahas dampak pelemahan rupiah terhadap kondisi ekonomi makro tersebut, Anwar Nasution mengatakan bahwa kondisi ekonomi saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis, krisis 1988 bukan mustahil akan terulang kembali. Lebih jauh, Anwar Nasution menjelaskan bahwa sebenarnya kesulitan ekonomi di Indonesia disebabkan oleh empat gejolak eksternal yang terjadi secara beruntun. Pertama, penurunan permintaan maupun tingkat harga komoditas primer di pasar dunia yang terjadi sejak akhir 2011.
Kedua, berkaitan dengan kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga di Amerika Serikat (AS) sehubungan dengan berakhirnya kebijakan quantitative easing (QE) yaitu dengan membeli semua obligasi jangka panjang sebesar USD85 miliar sejak 2009 hingga 2013. Kebijakan ini menyebabkan aliran dana dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali ke AS. Dengan kata lain, US dolar kembali membanjiri negeri Paman Sam itu sehingga menghidupkan kembali perekonomian AS yang sempat terkena krisis.
Setelah perekonomian negara Adidaya itu pulih, The Fed mengeluarkan kebijakan tapering off yaitu mengurangi kebijakan pembelian obligasi dan surat utang pemerintah. Ketiga, berkaitan dengan musim kering El Nino yang melanda daerah produksi hasil pertanian di Indonesia. Karena kegagalan panen, Indonesia harus mengimpor beras untuk tahun ini dan tahun depan.
Gejolak eksternal keempat adalah devaluasi Renminbi sebesar 1,9% baru-baru ini untuk mengoreksi penguatan yang terlalu tinggi atas mata uang itu yang dianggap oleh pasar sebagai pertanda akan dimulainya perang mata uang (Currency war) baru.
Sementara pada faktor internal, Ferial Anwar menjelaskan bahwa kita mengalami beberapa persoalan yang menyebabkan pelemahan ekonomi di antaranya terjadi capital outflow dari spekulator yang melakukan aksi jual di pasar modal Indonesia. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok tajam dari level tertinggi 5.523 pada April 2015 ke 4.412 pada awal September 2015.
Kondisi demikian diikuti dengan kegagalan program transformasi industri di Indonesia, dari yang berbasis barang komoditas kepada manufaktur. Selama ini kita mengandalkan ekspor barang komoditas, namun ternyata harga barang komoditas di pasar internasional jatuh sehingga apa yang diandalkan tidak mampu menolong. Di lain sisi, kita akan dibuat kecewa melihat fakta serapan pemerintah terhadap anggaran 2015.
Berdasarkan laporan dan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penyerapan anggaran belanja pemerintah selama masa semester I 2015 ini hanya mencapai Rp773,9 triliun. Jika melihat total alokasi APBN-P 2015 yang mencapai Rp1.984,4 triliun, bisa dipastikan bahwa daya serap serta daya belanja pemerintah sangatlah lemah. Daya serap pemerintah hanya mampu mencapai kisaran 39%. Adanya uang yang tak terbelanjakan tersebut menjadi faktor internal di antara sekian faktor yang memengaruhi kelambatan laju pertumbuhan ekonomi.
Solusi Pemerintah
Setelah sekian minggu publik menunggu kebijakan pemerintah, akhirnya pada 9 September 2015 kemarin Presiden Jokowi bersama sejumlah menteri, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan paket kebijakan ekonomi tahap pertama. Kebijakan itu bertujuan menggerakkan kembali sektor riil yang diharapkan mampu menjadi fondasi bagi lompatan ekonomi masa mendatang.
Di Istana Merdeka Jakarta, Jokowi menjelaskan bahwa pemerintah akan melakukan beberapa hal. Pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum, dan kepastian usaha. Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan penyelesaiannya.
Ketiga, meningkatkan investasi di bidang properti. Memperbanyak peluang diversifikasi. Keempat, memperkuat daya beli masyarakat yang dilakukan dengan mengarahkan dana desa untuk infrastruktur pedesaan. Pengerjaan infrastruktur pedesaan harus dilakukan dengan padat karya dari masyarakat desa setempat.
Selain itu, pihak OJK juga akan memberi kemudahan bagi warga asing membuka rekening valuta asing agar dapat mendukung bertambahnya valuta asing di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut, meski belum bisa dinilai sebagai langkah akrobatik, paling tidak dapat memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa selama ini pemerintah memang mempunyai strategi untuk menggerakkan ekonomi. Setidaknya masyarakat juga optimistis pada paket kebijakan ekonomi tahap berikutnya.
Kebijakan ini juga akan meyakinkan kembali pelaku usaha untuk kembali melirik Indonesia sebagai ladang investasi. Saya termasuk pihak yang turut berbahagia menyambut diputuskannya paket kebijakan ekonomi tersebut. Deregulasi 98 peraturan dan debirokratisasi yang terkandung dalam paket ekonomi tersebut semoga saja bisa diikuti dengan kerja cepat dan tepat oleh para birokrat untuk melakukan penyerapan anggaran secara maksimal, terutama pada proyek berskala mega.
Dan, yang tak kalah penting, paket kebijakan ini, hemat saya, akan mampu mengembalikan kredibilitas pemerintah di mata pelaku usaha sehingga pemerintah akan mudah mengelola ekspektasi pasar. Dengan dukungan dari semua pihak, saya percaya, Presiden Jokowi akan mampu menggairahkan perekonomian kita. Semoga.
Jazilul Fawaid
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI
(bhr)