Gagal Paham Paket Stimulus

Selasa, 15 September 2015 - 10:29 WIB
Gagal Paham Paket Stimulus
Gagal Paham Paket Stimulus
A A A
Kinerja sektor riil selama semester I 2015 bisa dikatakan tidak hanya berada pada lampu kuning, namun sudah cenderung menuju lampu merah.

Indikasinya, tidak hanya terjadi penurunan volume produksi maupun penjualan, bahkan banyak perusahaan yang terpaksa menutup usahanya. Penurunan produktivitas sektor riil ini terlihat jelas, ketika triwulan I 2015 pertumbuhan sektor industri pengolahan hanya tumbuh 3,81%. Di sisi lain, pertumbuhan penjualan hampir seluruh produk mengalami penurunan yang cukup drastis, bahkan ada yang hingga 30%.

Sebut saja dari penjualan kendaraan bermotor, semen, tekstil, bahkan terakhir penurunan juga terjadi pada produk makanan. Jadi, tidak aneh ketika perusahaan akhirnya mengurangi jam kerja dan memutuskan hubungan kerja dengan karyawan. Angka pengangguran pun dipastikan meledak, di mana pada Semester I 2015 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan kembali menyentuh sekitar 7,5%.

Tentu persoalan melonjaknya angka pengangguran ini menjadi sangat krusial. Tidak hanya berdimensi ekonomi, itu juga dapat merambah dimensi sosial dan politik. Ibarat pepatah, jika sudah urusan perut, tentu menjadi urusan yang tidak dapat dikompromikan lagi. Di samping itu, pelemahan kinerja sektor riil saat ini juga bukan disebabkan oleh faktor siklikal atau musiman.

Namun, itu bersumber dari faktor fundamental yaitu terjadi penurunan permintaan domestik sebagai dampak penurunan daya beli masyarakat. Sekaligus penurunan order permintaan dari pasar ekspor karena perlambatan ekonomi global maupun penurunan daya saing produk industri Indonesia.

Permasalahan bertambah rumit ketika para pelaku usaha dihadapkan pada dua sumber persoalan yang terjadi secara simultan. Di satu sisi para pelaku bisnis dihadapkan pada berbagai tekanan ekonomi berbiaya tinggi. Tekanan biaya produksi seolah datang dari segala penjuru mata angin.

Mulai dari tingginya biaya modal karena tingginya suku bunga; mahalnya harga energi karena kenaikan tarif dasar listrik (TDL), bahan minyak (BBM), dan elpiji; persoalan klasik biaya logistik, ditambah lagi mahalnya bahan baku impor akibat pelemahan rupiah. Belum satu pun tekanan biaya terurai, ditambah lagi tuntutan kenaikan upah (UMP) dari para pekerja.

Sementara pada waktu yang sama terjadi penurunan permintaan masyarakat. Tingginya harga pangan telah memicu angka inflasi bahan makanan (volatile food) pada Agustus 2015 mencapai 9,26% (yoy). Praktis, tingginya harga pangan yang merupakan pengeluaran terbesar masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah ini langsung menggerus daya beli masyarakat.

Akibatnya, porsi pendapatan untuk membeli produk dan kebutuhan nonpangan menjadi habis. Pelaku usaha pun dihadapkan pada pilihan sulit. Tekanan biaya produksi tidak bisa dengan mudah ditransfer pada kenaikan harga produk. Jika itu dilakukan, produknya akan semakin tidak dapat terjual.

Dapat dibayangkan simalakama yang dihadapi para pelaku usaha. Ditambah lagi, sektor riil juga semakin mendapat ancaman penetrasi impor, sekaligus terjadi penurunan daya saing di pasar global. Menghadapi kondisi sulit tersebut, wajar jika banyak perusahaan yang menghadapi permasalahan cash flow dan tidak sedikit yang berujung pada meningkatnya kredit macet.

Rata-rata kredit macet di sektor perbankan mengalami peningkatan di atas 3%. Kelesuan sektor riil ini juga dikonfirmasi oleh penurunan pembiayaan kredit perbankan yang hanya tumbuh sekitar 10%. Padahal, rata-rata pertumbuhan kredit perbankan biasanya berada pada kisaran 15-17%.

Stagnasi tersebut tidak hanya terjadi pada perusahaanperusahaan besar sebagaimana ketika krisis ekonomi pada 1997/1998. Saat ini justru usaha- usaha menengah kecil mikro (UMKM) yang terkapar terlebih dahulu. Pasalnya, yang mengalami penurunan daya beli terbesar adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang notabene konsumen UMKM. Padahal, sewaktu krisis 1998 UMKM justru menjadi dewa penyelamat keluar krisis.

Persoalan yang dihadapi masyarakat sudah secara gamblang dan tidak perlu analisis yang njlimet dan bertele-tele lagi. Jika pemerintah memang memiliki komitmen untuk hadir dan membantu masyarakat, stimulus yang akan diberikan pasti konkret dan langsung pada inti permasalahan.

Hal ini sekaligus sebagai bentuk resposibilitas dan pemahaman pemerintah terhadap persoalan yang sedang terjadi. Bila melihat tiga sasaran utama dalam paket stimulus September Satu, sebenarnya sudah benar yaitu (i) mengembangkan ekonomi makro yang kondusif, (ii) menggerakkan ekonomi nasional, dan (iii) melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan menggerakkan ekonomi pedesaan.

Sayangnya, implementasi deregulasi dan debirokratisasi yang ditunggu-tunggu bersifat grambyang (tidak jelas) atau tidak ada yang fokus. Paket stimulus tidak ada yang konkret dan lebih banyak janji melakukan pembenahan dalam hal regulasi. Benar bahwa salah satu sumber utama penyumbang ekonomi biaya tinggi adalah tidak beresnya birokrasi dan tumpang tindih regulasi.

Namun, di tengah ekonomi dalam kondisi lampu merah tersebut, tentu harus ada kebijakan-kebijakan konkret yang mampu memberikan relaksasi langsung pada dunia usaha. Minimal paket debirokratisasi dan deregulasi tersebut secara konkret berimplikasi langsung untuk mengurai persoalan kenaikan harga pangan.

Juga, dapat memberikan dukungan terhadap sektor produksi, utamanya akses pembiayaan dan perluasan pasar. Dengan demikian, paket stimulus tersebut konkret menjadi solusi stabilisasi harga pangan dan menahan laju ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

ENNY SRI HARTATI
Direktur INDEF
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3640 seconds (0.1#10.140)