Kalau Pak Jokowi Pidato lewat Radio

Jum'at, 11 September 2015 - 10:21 WIB
Kalau Pak Jokowi Pidato...
Kalau Pak Jokowi Pidato lewat Radio
A A A
Eddy Koko
Pernah Pemred & SM Radio Trijaya Network

“Lagu ini saya kirimkan untuk Bapak Jokowi yang sedang mendengarkan radio dengan ucapan salam kompak selalu. Jangan lupa minum jamunya, Pak,”

Begitu kira-kira ucapan yang terdengar dalam acara “Pilihan Pendengar” stasiun radio pada tahun tujuh puluhan atau delapan puluhan. Suara penyiar yang empuk dengan tutur bahasa apik menambah akrab suasana saat mendengarkan siaran radio. Kesan komunikasi personal sungguh terasa antara pendengar dan penyiarnya.

Pendeknya, radio siaran merupakan teman sejati rakyat masa itu. Apakah sekarang bukan teman lagi? Tanggal 11 September dianggap sebagai Hari Radio Nasional. Ada yang mendebat kurang tepat. Alasannya, tanggal tersebut sebagai Hari Radio Republik Indonesia, lebih dikenal dengan RRI. Tapi, ada yang sepakat sebab RRI merupakan satu satunya radio siaran pada masa kemerdekaan.

Lewat corong RRI, naskah Proklamasi Kemerdekaan RI pertama kali “diudarakan”. Lama kemudian muncul radio siaran swasta niaga dalam bentuk AM dan FM. Kalau dulu Indonesia lahir hanya ditemani satu radio siaran, sekarang pada usianya yang ketujuh puluh tidak kurang dari tiga ribu radio siaran menemaninya. Tapi, bagaimana peran radio siaran sekarang dalam mengisi kemerdekaan?

Sejatinya, radio siaran sejak dulu sampai sekarang merupakan media yang setia kepada negeri. Buktinya, banyak yang kembang kempis hidupnya, terseok seok, bahkan kadang nyala kadang tidak tetap berusaha bangkit. Untuk apa? Ya, menghibur rakyat yang lebih banyaksusahketimbangsenang. Jangan lihat radio siaran yang di Jakarta, tetapi tengoklah kondisi di daerah, bahkan di pedalaman.

Rakyat yang sedang sedih oleh sebab tidak bisa beli nasi dihibur lewat lagu kesukaannya melalui radio siaran. Minimal gendang telinganya kenyang dan hati senang sejenak. Kalau disuguhi gambar hidup yang muluk-muluk melulu, yang penuh mimpi? Bisa, lho, menjurus kepada hal kurang baik. Bisa makin susah.

Dalam membantu pemerintah menginformasikan atau menyosialisasikan programnya, radio siaran paling di depan menembus wilayah yang tidak bisa dijangkau media lain. Ini salah satu bukti pentingnya radio dalam mengisi kemerdekaan. Semua sudah tahu, Indonesia merupakan negeri yang terdiri atas pulau-pulau dan lebih banyak yang terpencil sehingga media radio siaran paling efektif dimanfaatkan sebagai pemersatu. Sayangnya, masih banyak kalangan tidak “sadar radio”.

Pemerintah atau pejabatnya bahkan lebih suka masuk televisi atau koran dibanding media radio. Masuk radio? Kuno! Sebagai alat atau media propaganda radio tergolong cukup dahsyat dan murah. Contoh pemanfaatan radio adalah ketika Bung Tomo mengobarkan semangat pejuang Arek Suroboyo dalam melawan penjajah sampai sekarang tetap menjadi bahan cerita. Bung Karno dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada rakyat di seluruh Indonesia banyak melalui siaran radio.

Pada zaman Pak Harto, semua radio siaran swasta, jam tertentu, wajib melakukan siaran bersama dengan RRI, sebagai cara menyampaikan pesan pemerintah kepada rakyat. Terlepas suka atau tidak suka dengan kewajiban tersebut, tetapi di balik hal itu, menandakan, ada pengakuan terhadap kemampuan media radio siaran.

Setelah Era Reformasi kewajiban relay RRI tidak dilakukan lagi dan masing-masing radio siaran swasta mencoba membangun ruang redaksi dan menyampaikan berita sendiri. Ada yang sukses, tetapi lebih banyak sekadar ada. Saat ini, meski media sosial seperti Facebook, Twitter, atau internet begitu populer, bahkan sampai melibas media cetak, tetapi radio tetap didengar dan dibutuhkan.

Seorang peneliti kenamaan di Amerika Serikat, Mark Kasoff, pada Juli 2015 mewawancarai 704 orang berusia 18-64 tahun yang hasilnya, sebanyak 47% orang mengakui, mendengarkan radio merasa dirinya jauh lebih baik. Kemudian 39% orang menilai sedikit lebih baik. Hanya 9% yang berpikir mendengarkan radio membuatnya lebih buruk. Ada juga yang ekstrem, mendengar radio akan merasa dirinya jauh lebih buruk yaitu sebanyak 2%. Boleh jadi yang 9% dan 2% waktu diwawancarai kebetulan sedang sakit gigi.

Mungkin, lho. Bagaimana di Indonesia? Ada yang pesimistis ada yang optimistis. Namun, setiap pagi dan sore, di kemacetan Jakarta, para pengendara mobil setia mendengarkan radio sebagai teman hiburan dan mencari informasi. Baik mendengarkan informasi lalu lintas maupun berita politik, ekonomi, dan lainnya serta tidak ketinggalan lagu sebagai penghibur dalam perjalanan.

Ketika survei kecilkecilan dilempar kepada komunitas anak transmigran yang tergabung dalam Perkumpulan Anak Transmigran Indonesia (Patri) dengan pertanyaan, apakah setiap hari masih mendengarkan radio? Dari 84 orang, sebagian besar tinggal di kawasan transmigran yang jauh dari Pulau Jawa menjawab, masih selalu mendengarkan radio siaran dan menjadi teman sehari- hari.

Blusukan Radio

Jika membaca survei di AS tempat embahnya internet terbukti, radio masih diminati. Juga di perdesaan kawasan transmigran Indonesia, di mana masyarakatnya belum semua melek internet, terungkap radio masih menjadi “teman”. Dari dua contoh kecil tersebut dipastikan, radio siaran tetap hidup, diminati, dan dinikmati meskipun media sosial lainnya bermunculan. Pendeknya, radio masih sahabat rakyat. Fakta tersebut semestinya bisa juga dimanfaatkan Presiden Jokowi melakukan blusukan melalui radio.

Dengan blusukan langsung ke lapangan tidak semua daerah bisa dijamah, tetapi melalui siaran radio, dipancarkan ke seluruh wilayah dengan cara siaran bersama, wejangan atau dialog Presiden juga menteri akan mampu menjamah semua orang, terutama yang belum sempat diblusuki. Survei juga membuktikan, sebanyak65% orangmendengarkan radio sambil melakukan kegiatan sehari-hari. Ada yang nyambi jualan di pasar, menoreh getah karet, mengemudi, masak, atau makan, dan sebagainya.

Itu tidak termasuk yang khusus mendengarkan radio tanpa beraktivitas. Mendengarkan radio mampu membentuk karakter seseorang karena proses medianya dari telinga langsung ke otak. Meskipun mendengarkan radio merupakan hal positif tentu ada juga yang menyalahgunakan media radio sebagai hal kurang mendidik. Seperti tahun sembilan puluhan di Bandung yang muncul Radio Togel (judi/toto gelap), siaran tiap malam dini hari pukul 01.00-02.00 saja.

Isi siarannya, tentu hanya bicara seputar ramalan judi dan angka alias nomor “buntut” yang keluar berdasarkan undian hari itu. Setelah menyampaikan nomor buntut yang keluar siaran radio langsung menghilang. Tidak ada lagu penghibur untuk pendegarnya yang meraung-raung meratapi uangnya habis karena gagal meraih mimpi.

Salah satu contoh siaran radio yang positif dari para pejabat negeri pada era keterbukaan sekarang ini seperti dilakukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan “blusukan radio” secara rutin. Ganjar berdialog dengan warganya, lewat acara “Mas Ganjar Menyapa (MGM)” di Radio Trijaya Semarang live dari rumahnya, pagi hari, sebelum ngantor. Tahun 2005 Gubernur DKI Jakarta Bang Yos melalui radio juga melakukan sosialisasi tentang proyek Transjakarta yang mendapat tentangan banyak orang.

Setiap Kamis pagi, selama hampir setahun, sambil sarapan di rumahnya, Bang Yos menjawab semua pertanyaan pendengar seputar Transjakarta dan persoalan DKI secara langsung melalui Radio Trijaya Jakarta dalam acara “Bang Yos Mendengar”. Transjakarta pun sukses. Jika Presiden dan menteri melakukan seperti yang dilakukan Ganjar Pranowo lewat “MGM” atau Bang Yos lewat “Bang Yos Mendengar”, niscaya akan banyak masukan nyata dari rakyat atau daerah bisa didapat sebagai materi mengelola negara.

Rakyat akan senang bisa berdialog dengan presidennya. Program revolusi mental juga sangat pas lewat radio. Kehidupan radio siaran di daerah pun akan menjadi lebih hidup jika dilirik karena persoalan bukan hanya di Jakarta. Apalagi, siaran radio sekarang tidak hanya bisa didengar melalui pesawat radio, tetapi juga pesawat handphone dan laptop dalam bentuk siaran streaming.

Memanfaatkan radio atau siaran di radio sangat gampang, bisa dilakukan kapan saja jika mau. Juga bisa sambil duduk di mana saja. Minum teh sambil sarungan juga bisa siaran untuk radio. Maka itu, agar radio di Indonesia termanfaatkan dan makin hidup, monggo Pak Jokowi dan para menteri memanfaatkan media radio.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0802 seconds (0.1#10.140)