Melawan Mafia Daging Sapi
A
A
A
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Unika Santo Thomas, Sumatera Utara.
Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
Saat ini ketersediaan daging sapi berada pada situasi yang tidak lagi normal terkait dengan hukum pasokan dan permintaan. Harga daging sapi yang melambung tinggi adalah akibat praktik mafia pangan yang memainkan kebutuhan perut rakyat.
Permainan yang membahayakan kehidupan ekonomi bangsa ini harus dilawan untuk mengamankan kebutuhan protein warga. Hipotesis yang disampaikan sejumlah pengamat ketahanan pangan bahwa ada pemain mafia yang melambungkan harga daging tidak berlebihan.
Sebab, telah lama ditengarai negeri ini nyaris dikendalikan para mafia. Mereka bergerak bak sel kanker, sangat cepat dan menyebar di hampir seluruh sendi tubuh republik ini. Dari wilayah politik, hukum, lingkungan, dan perdagangan, mereka menguasai dari hulu hingga hilir.
Di sektor pangan, tangan-tangan mafia bak setan di siang bolongtidak kelihatan, tetapi nyata efeknyakuat mencengkeram kebutuhan perut anak bangsa. Bahkan mafia sudah sedemikian menggurita dan menjangkau hampir semua jenis pangan. Tidak hanya daging, tetapi juga garam, bawang merah, kedelai, beras hingga jagung.
Meresahkan Masyarakat
Kelangkaan daging sengaja diciptakan dengan cara menahan stok daging atau sapi bakalan yang dikuasai para pengusaha penggemukan sapi. Mengikuti hukum pasokan dan permintaan, kelangkaan komoditas di pasar otomatis membuat harga melonjak sehingga meresahkan masyarakat.
Defisit daging dan pasokan sapi hidup ditengarai akibat pembatasan kuota impor oleh pemerintah dan dituding sebagai pemantik meroketnya harga. Aksi mogok pedagang daging sapi yang terjadi membuat situasi semakin mencengkeram. Padahal, Kementerian Perdagangan yakin stok daging yang ditopang dari sapi produksi lokal dan impor 50.000 ekor sapi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk beberapa bulan ke depan.
Pemerintah lewat Brigjen Pol Victor E Simanjuntak, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, menyampaikan sikap tegas dengan menuding mafia pangan bermain di balik drama kelangkaan daging yang mengganggu perekonomian nasional ini. Pemogokan misalnya menjadi pelengkap skenario untuk menekan pemerintah agar menambah kuota impor, yang pada kuartal tiga tahun ini hanya ditetapkan 50.000 ekor sapi.
Namun, pemerintah tidak mengubah ketetapannya. Bahkan, mengeluarkan senjata pamungkasnya akan memidanakan mereka yang menghasut pedagang untuk mogok. Ancaman pidana ini sesuai dengan UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan, yang antara lain melarang menyimpan barang kebutuhan pokok dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Praktik mafia pangan sesungguhnya sudah tercium KPK sejak dua tahun lalu. Lembaga yang khusus melakukan pemberantasan korupsi ini menduga ada pihak-pihak yang mempermainkan tata niaga daging sapi dengan menciptakan kondisi pasokan daging di sejumlah daerah berkurang. Tujuannya hanya mendongkrak harga jual daging agar ada keuntungan berlebih yang dikantongi sekelompok orang.
Daging sapi impor, peternak sapi lokal, dan konsumen dikendalikan oleh mafia pangan untuk meraup keuntungan besar. Lewat penelitian yang dilakukan pada 2012 di lima lokasi berbeda, yakni di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung, KPK menyatakan ada enam modus yang dinilai rawan korupsi dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait komoditas daging sapi.
Enam modus itu penggelapan impor daging sapi, impor sapi atau daging sapi fiktif, penyalahgunaan prosedur importasi daging sapi, penyalahgunaan dana bansos ternak sapi, suap dalam proses impor dan upaya mencegah suplai daging ke Jakarta. Banyaknya keuntungan yang bisa diraup dari bisnis impor daging sapi melatarbelakangi keenam modus ini tetap eksis.
Impor pangan itu pun tidak murni lagi soal pasokan dan permintaan. Tapi lebih pada bagaimana mengeruk uang banyak dalam waktu cepat dan relatif gampang dilakukan. Matematikanya bisa digambarkan sebagai berikut. Harga daging sapi di negara asal sekitar USD4 per kg.
Ditambah biaya transportasi, asuransi, dan bongkar-muat, harga di pelabuhan di Indonesia diperkirakan menjadi USD6 per kg (Rp84.000 per kg dengan asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS). Harga daging eceran dipasar saat ini sekitar Rp120.000 per kg. Ada selisih harga sebesar Rp36.000 per kg.
Jika harus dikeluarkan lagi biaya distribusi dan sewa cold storage sebesar 10 persen, margin keuntungan masih amat besar. Ini artinya bisnis daging sapi impor amat menggiurkan. Cengkeraman mafia pangan dalam permainan impor daging sapi merupakan salah satu contoh dari pengerukan uang haram di sektor pangan.
Sama seperti mafia impor beras yang menggemparkan beberapa bulan lalu, impordagingsapisebenarnyadikuasai segelintir pemain saja. Pemerintah berusaha mendobrak dominasi para mafia pangan ini. Yaitu dengan membuka sebanyak mungkin pemain baru yang diharapkan jujur.
Kenyataannya, sebagian besar mereka hanya broker izin saja untuk dipinjam sebagai bendera. Kalaupun benar-benar mengimpor, jumlahnya sangat kecil. Mekanisme kuota pun sebatas memudahkan pembagian rente daging impor yang dihitung per kilogram daging sapi.
Kejahatan Ekonomi
Keterlibatan korporasi transnasional dalam permainan daging sapi impor telah menghabisi nafas peternak ”kecil” lokal. Dengan penguasaan tata niaga pangan impor, korporasi yang bermain dalam mafia pangan dengan mudah dapat mengatur sistem distribusi pangan. Harga mereka kendalikan.
Struktur oligopoli yang bermain dalam ruang bisnis daging impor seharusnya dinyatakan sebagai kejahatan ekonomi dan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Persoalan pangan seharusnya tidak dimainkan dalam irama yang hanya bisa dinikmati para mafioso.
Para peternak lokal harus dilindungi oleh pemerintah lewat subsidi harga dan masyarakat konsumen dapat mengakses daging sapi dengan mudah karena terjangkau daya beli. Bahkan, jika ingin menengok sejarah perjalanan konsumsi protein masyarakat makan pangan lokal amat berperan.
Jika ingin makan ikan mereka menangkapnya di sungai, jika ingin mengonsumsi daging tinggal menangkap kelinci atau burung puyuh di hutan. Masyarakat tidak pernah mengalami gizi buruk karena lewat kearifan lokal yang dimiliki sumber-sumber bahan pangan tersebut dikelola secara baik sekaligus memperkuat ekonomi domestik.
Seiring dengan itu patut diduga ada skenario besar yang ingin menggagalkan program swasembada daging sapi 2020. Dugaan tersebut dilandasi kian masifnya cengkeraman mafia pangan dalam mengatur tata niaga daging sapi. Mereka meneriakkan kelangkaan daging sapi harus diatasi lewat impor. Persediaan populasi sapi di dalam negeri disebut masih jauh dari mencukupi.
Populasi sapi dan kerbau sebanyak 14,7 juta ekor (BPS, 2014) sesungguhnya mampu mencukupi 90 persen kebutuhan daging secara nasional dengan asumsi tingkat konsumsinya 2,1 kg/kapita/tahun. Namun, produsen sapi lokal yang diasumsikan dapat menyuplai kebutuhan daging sapi pada kenyataannya tidak cukup sehingga harga daging sapi naik secara signifikan belakangan ini.
Diperkirakan, Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tidak tercapai seperti diharapkan. Sinyal kegagalan ini sudah dirasakan pada akhir 2013 dengan lonjakan harga sapi dan daging sapi di luar angka kewajaran. Seandainya pemerintah mempunyai perhitungan yang matang dan bertahap dalam menurunkan kuota daging impor nasional, lonjakan harga seperti yang dialami saat ini dapat dihindari.
Berdasarkan fakta-fakta di atas pemerintah dapat dianggap lalai atau tidak menjalankan amanat UU Pangan Nomor 18/2012 tentang Pangan yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau hingga di tingkat individu.
Pemerintah patut segera mengambil sejumlah langkah guna mengakhiri praktik dan permainan mafia pangan dalam tata niaga impor daging sapi. Salah satunya adalah memperbaiki kebijakan yang salah agar dapat melakukan evaluasi pasokan dan permintaan untuk percepatan swasembada daging yang berkelanjutan dan terukur.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah menata ulang proses tender impor daging sapi untuk lebih terbuka kepada publik. Pemerintah harus menghadirkan penyidik KPK di semua tahap tender guna menghindari korupsi dan perilaku mafia pangan. Pemenang tender dipilih dari perusahaan yang mengambil margin terendah dan telah memenuhi sejumlah syarat yang ditetapkan panitia.
Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Unika Santo Thomas, Sumatera Utara.
Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
Saat ini ketersediaan daging sapi berada pada situasi yang tidak lagi normal terkait dengan hukum pasokan dan permintaan. Harga daging sapi yang melambung tinggi adalah akibat praktik mafia pangan yang memainkan kebutuhan perut rakyat.
Permainan yang membahayakan kehidupan ekonomi bangsa ini harus dilawan untuk mengamankan kebutuhan protein warga. Hipotesis yang disampaikan sejumlah pengamat ketahanan pangan bahwa ada pemain mafia yang melambungkan harga daging tidak berlebihan.
Sebab, telah lama ditengarai negeri ini nyaris dikendalikan para mafia. Mereka bergerak bak sel kanker, sangat cepat dan menyebar di hampir seluruh sendi tubuh republik ini. Dari wilayah politik, hukum, lingkungan, dan perdagangan, mereka menguasai dari hulu hingga hilir.
Di sektor pangan, tangan-tangan mafia bak setan di siang bolongtidak kelihatan, tetapi nyata efeknyakuat mencengkeram kebutuhan perut anak bangsa. Bahkan mafia sudah sedemikian menggurita dan menjangkau hampir semua jenis pangan. Tidak hanya daging, tetapi juga garam, bawang merah, kedelai, beras hingga jagung.
Meresahkan Masyarakat
Kelangkaan daging sengaja diciptakan dengan cara menahan stok daging atau sapi bakalan yang dikuasai para pengusaha penggemukan sapi. Mengikuti hukum pasokan dan permintaan, kelangkaan komoditas di pasar otomatis membuat harga melonjak sehingga meresahkan masyarakat.
Defisit daging dan pasokan sapi hidup ditengarai akibat pembatasan kuota impor oleh pemerintah dan dituding sebagai pemantik meroketnya harga. Aksi mogok pedagang daging sapi yang terjadi membuat situasi semakin mencengkeram. Padahal, Kementerian Perdagangan yakin stok daging yang ditopang dari sapi produksi lokal dan impor 50.000 ekor sapi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk beberapa bulan ke depan.
Pemerintah lewat Brigjen Pol Victor E Simanjuntak, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, menyampaikan sikap tegas dengan menuding mafia pangan bermain di balik drama kelangkaan daging yang mengganggu perekonomian nasional ini. Pemogokan misalnya menjadi pelengkap skenario untuk menekan pemerintah agar menambah kuota impor, yang pada kuartal tiga tahun ini hanya ditetapkan 50.000 ekor sapi.
Namun, pemerintah tidak mengubah ketetapannya. Bahkan, mengeluarkan senjata pamungkasnya akan memidanakan mereka yang menghasut pedagang untuk mogok. Ancaman pidana ini sesuai dengan UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan, yang antara lain melarang menyimpan barang kebutuhan pokok dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Praktik mafia pangan sesungguhnya sudah tercium KPK sejak dua tahun lalu. Lembaga yang khusus melakukan pemberantasan korupsi ini menduga ada pihak-pihak yang mempermainkan tata niaga daging sapi dengan menciptakan kondisi pasokan daging di sejumlah daerah berkurang. Tujuannya hanya mendongkrak harga jual daging agar ada keuntungan berlebih yang dikantongi sekelompok orang.
Daging sapi impor, peternak sapi lokal, dan konsumen dikendalikan oleh mafia pangan untuk meraup keuntungan besar. Lewat penelitian yang dilakukan pada 2012 di lima lokasi berbeda, yakni di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung, KPK menyatakan ada enam modus yang dinilai rawan korupsi dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait komoditas daging sapi.
Enam modus itu penggelapan impor daging sapi, impor sapi atau daging sapi fiktif, penyalahgunaan prosedur importasi daging sapi, penyalahgunaan dana bansos ternak sapi, suap dalam proses impor dan upaya mencegah suplai daging ke Jakarta. Banyaknya keuntungan yang bisa diraup dari bisnis impor daging sapi melatarbelakangi keenam modus ini tetap eksis.
Impor pangan itu pun tidak murni lagi soal pasokan dan permintaan. Tapi lebih pada bagaimana mengeruk uang banyak dalam waktu cepat dan relatif gampang dilakukan. Matematikanya bisa digambarkan sebagai berikut. Harga daging sapi di negara asal sekitar USD4 per kg.
Ditambah biaya transportasi, asuransi, dan bongkar-muat, harga di pelabuhan di Indonesia diperkirakan menjadi USD6 per kg (Rp84.000 per kg dengan asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS). Harga daging eceran dipasar saat ini sekitar Rp120.000 per kg. Ada selisih harga sebesar Rp36.000 per kg.
Jika harus dikeluarkan lagi biaya distribusi dan sewa cold storage sebesar 10 persen, margin keuntungan masih amat besar. Ini artinya bisnis daging sapi impor amat menggiurkan. Cengkeraman mafia pangan dalam permainan impor daging sapi merupakan salah satu contoh dari pengerukan uang haram di sektor pangan.
Sama seperti mafia impor beras yang menggemparkan beberapa bulan lalu, impordagingsapisebenarnyadikuasai segelintir pemain saja. Pemerintah berusaha mendobrak dominasi para mafia pangan ini. Yaitu dengan membuka sebanyak mungkin pemain baru yang diharapkan jujur.
Kenyataannya, sebagian besar mereka hanya broker izin saja untuk dipinjam sebagai bendera. Kalaupun benar-benar mengimpor, jumlahnya sangat kecil. Mekanisme kuota pun sebatas memudahkan pembagian rente daging impor yang dihitung per kilogram daging sapi.
Kejahatan Ekonomi
Keterlibatan korporasi transnasional dalam permainan daging sapi impor telah menghabisi nafas peternak ”kecil” lokal. Dengan penguasaan tata niaga pangan impor, korporasi yang bermain dalam mafia pangan dengan mudah dapat mengatur sistem distribusi pangan. Harga mereka kendalikan.
Struktur oligopoli yang bermain dalam ruang bisnis daging impor seharusnya dinyatakan sebagai kejahatan ekonomi dan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Persoalan pangan seharusnya tidak dimainkan dalam irama yang hanya bisa dinikmati para mafioso.
Para peternak lokal harus dilindungi oleh pemerintah lewat subsidi harga dan masyarakat konsumen dapat mengakses daging sapi dengan mudah karena terjangkau daya beli. Bahkan, jika ingin menengok sejarah perjalanan konsumsi protein masyarakat makan pangan lokal amat berperan.
Jika ingin makan ikan mereka menangkapnya di sungai, jika ingin mengonsumsi daging tinggal menangkap kelinci atau burung puyuh di hutan. Masyarakat tidak pernah mengalami gizi buruk karena lewat kearifan lokal yang dimiliki sumber-sumber bahan pangan tersebut dikelola secara baik sekaligus memperkuat ekonomi domestik.
Seiring dengan itu patut diduga ada skenario besar yang ingin menggagalkan program swasembada daging sapi 2020. Dugaan tersebut dilandasi kian masifnya cengkeraman mafia pangan dalam mengatur tata niaga daging sapi. Mereka meneriakkan kelangkaan daging sapi harus diatasi lewat impor. Persediaan populasi sapi di dalam negeri disebut masih jauh dari mencukupi.
Populasi sapi dan kerbau sebanyak 14,7 juta ekor (BPS, 2014) sesungguhnya mampu mencukupi 90 persen kebutuhan daging secara nasional dengan asumsi tingkat konsumsinya 2,1 kg/kapita/tahun. Namun, produsen sapi lokal yang diasumsikan dapat menyuplai kebutuhan daging sapi pada kenyataannya tidak cukup sehingga harga daging sapi naik secara signifikan belakangan ini.
Diperkirakan, Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) tidak tercapai seperti diharapkan. Sinyal kegagalan ini sudah dirasakan pada akhir 2013 dengan lonjakan harga sapi dan daging sapi di luar angka kewajaran. Seandainya pemerintah mempunyai perhitungan yang matang dan bertahap dalam menurunkan kuota daging impor nasional, lonjakan harga seperti yang dialami saat ini dapat dihindari.
Berdasarkan fakta-fakta di atas pemerintah dapat dianggap lalai atau tidak menjalankan amanat UU Pangan Nomor 18/2012 tentang Pangan yang mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau hingga di tingkat individu.
Pemerintah patut segera mengambil sejumlah langkah guna mengakhiri praktik dan permainan mafia pangan dalam tata niaga impor daging sapi. Salah satunya adalah memperbaiki kebijakan yang salah agar dapat melakukan evaluasi pasokan dan permintaan untuk percepatan swasembada daging yang berkelanjutan dan terukur.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah menata ulang proses tender impor daging sapi untuk lebih terbuka kepada publik. Pemerintah harus menghadirkan penyidik KPK di semua tahap tender guna menghindari korupsi dan perilaku mafia pangan. Pemenang tender dipilih dari perusahaan yang mengambil margin terendah dan telah memenuhi sejumlah syarat yang ditetapkan panitia.
(bbg)