Target Pajak dan Perlambatan Ekonomi

Kamis, 10 September 2015 - 12:00 WIB
Target Pajak dan Perlambatan...
Target Pajak dan Perlambatan Ekonomi
A A A
KODRAT WIBOWO PHD
Wakil Direktur Bidang Ekonomi Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP), Jakarta

Postur Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 telah diajukan Presiden Jokowi dalam sidang paripurna DPR seusai pidato kenegaraan pada 14 Agustus lalu.

Kritik terhadap RAPBN 2016 dari berbagai pihak akhirakhir ini jelas merupakan cerminan rasa kepedulian masyarakat terhadap berbagai macam konsekuensi sosial dan ekonomi yang mungkin terjadi saat RAPBN ini disahkan menjadi RAPBN 2016. Khusus pada bidang perpajakan ada berbagai hal penting yang harus disoroti dan patut menjadi catatan bagi pemerintah.

Pemerintah mengajukan RAPBN 2016 dengan total belanja Rp2.121,3 triliun dan penerimaan negara Rp1.848,1 triliun. Penerimaan negara artinya ditargetkan naik 4,9% dibandingkan dengan target 2015, dan jelas masih didominasi dari penerimaan perpajakan, yang ditargetkan naik 5,1% menjadi Rp1.565,8 triliun (84,7% dari total penerimaan negara).

Sementara penerimaan bukan pajak direncanakan Rp280,3 triliun, plus hibah Rp2 triliun. Patut menjadi catatan penting adalah target naiknya 5,1% penerimaan perpajakan dari target 2015. Kenaikan ini dirasakan lebih rasional dan ramah terhadap dunia usaha dibandingkan target penerimaan pajak 2015 yang naik hampir 40%, target yang seakan-akan angkanya turun dari langit mengingat situasi perekonomian dunia dan nasional yang sedang melambat, bahkan akan masih melambat pada 2016.

Kenaikan target penerimaan yang lebih rasional ini dipandang pula oleh banyak pihak sebagai upaya lebih menyeimbangkan posisi pajak sebagai alat penerimaan negara sekaligus sebagai instrumen insentif/ disinsentif bagi produktivitas dunia usaha dan investasi. Terlebih pemerintah c.q. Kementrian Keuangan telah menyampaikan skenario terburuk dari penerimaan pajak hingga akhir 2015 yang diperkirakan hanya mampu terkumpul Rp1.367 triliun (91,8 %) atau shortfall sekitar Rp120 triliun.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah kenaikan target penerimaan pajak yang lebih rasional dan menapak bumi ini akan benar-benar menjadi insentif bagi dunia usaha? Berikut adalah pernyataan dalam nota keuangan RAPBN 2016 bahwa kebijakan perpajakan RAPBN 2016 diarahkan pada (1) optimalisasi penerimaan perpajakan tanpa mengganggu iklim investasi dunia usaha; (2) menjaga stabilitas ekonomi nasional dan mempertahankan daya beli masyarakat;

(3) kebijakan meningkatkan daya saing dan nilai tambah industri nasional melalui pemberian fasilitas perpajakan dan penyempurnaan kebijakan hilirisasi sektor industri tertentu; (4) mengendalikan konsumsi barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dan tarif cukai etil alkohol; dan (5) pelaksanaan berbagai kebijakan teknis di bidang pajak.

Ada lima tanggapan atas lima arahan kebijakan terkait pajak dalam RAPBN 2016 itu. Tanggapan terhadap arahan pertama, target kenaikan pajak 5,1% ini jelas langsung mendapatkan respons negatif dari kalangan usaha karena dianggap memberatkan mereka di tengah iklim usaha yang sedang melambat.

Target penerimaan pajak ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%, sedangkan perkiraan realistis kalangan usaha pertumbuhanekonomibagimereka pasti akan berada di bawah 5%. Arahan kedua, patut dibahas lebih lanjut adalah bagaimana target kenaikan pajak ini tidak akan mengganggu daya beli masyarakat? PMK No 122 Tahun 2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) jelas adalah satu kebijakan yang diluncurkan untuk arahan ini.

Namun, penulis berpendapat bahwa daya beli masyarakat secara keseluruhan di Indonesia tidak dominan dipengaruhi oleh naik-turun beban pajak penghasilan, melainkan oleh tingkat inflasi, detailnya harga-harga kebutuhan masyarakat. Belakangan ini yang terjadi justru adalah peningkatan harga kebutuhan pokok masyarakat dimulai dengan meroketnya harga daging sapi dan belakangan daging ayam.

Di luar kecenderungan ada permainan harga yang disengaja oleh beberapa pihak, namun secara psikologis masyarakat memang merasakan ada kecenderungan untuk naiknya harga terlebih bila pajak ditargetkan naik lagi dan jelas akan direspons secara rasional oleh produsen sebagai ekstra beban biaya produksi yang lumrahnya akan digeser bebannya pada harga produk akhir untuk mempertahankan motif profit mereka.

Masyarakat juga cukup pintar untuk menyadari bahwa kenaikan target penerimaan pajak hanya 5,1% ini didasarkan pada nilai APBN 2015. Pada kenyataannya target pajak ini sebenarnya naik 14,5% dari perkiraan realisasi 2015. Dengan kata lain, sebenarnya beban pelemahan daya beli masih akan terasa hingga akhir 2015 karena DJP tetap akan berupaya mencapai target penerimaan pajak sampai akhir 2015.

Sebetulnya penurunan daya beli pada 2016 tidak melulu hanya merupakan concern dari pemerintah pusat karena beberapa daerah juga menyadari kemungkinan masih melambatnya perekonomian sebagai contoh untuk RAPBD 2016 DKI Jakarta akan menghapuskan pajak bumi dan bangunan untuk rusun dan rumah bernilai di bawah Rp1 miliar.

Demikian juga target penerimaan pajak kendaraan bermotor APBD 2015 di Jawa Barat telah direvisi turun menjadi Rp500 miliar karena terasa bahwa pembelian kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua menurun pada 2015 ini. Menilik arahan ketiga, meningkatkan daya saing dan nilai tambah industri nasional melalui pemberian fasilitas perpajakan dan penyempurnaan kebijakan hilirisasi sektor industri tertentu secara logika dapat diterima dengan baik.

Kebijakan pajak yang diluncurkan pada 2015 sudah menunjukkan arah ada insentif pada pelaku usaha seperti penerbitan PMK No 91 Tahun 2015 tentang penghapusan sanksi administrasi sebagai akibat dari keterlambatan penyampaian dan pembetulan surat pemberitahuan (SPT), serta penyetoran pajak jelas sangat meringankan beban para pengusaha yang mungkin terpaksa terlambat membayar tunggakan PPn-nya karena terganggunya kegiatan usaha mereka akibat pelambatan ekonomi ini.

Demikian juga PMK No 29 Tahun 2015 tentang penghapusan sanksi administrasi bunga akibat kelambatan penyetoran pajak. Kedepanpemerintah juga sedang mempersiapkan kebijakan tax amnesty yang memang tidak mudah penerapannya karena cenderung menimbulkan moral hazard bagi wajib pajak utamanya yang berpenghasilan tinggi untuk tetap melakukan praktik tax avoidance bahkan tax evasion.

Dalam hal kebijakan pajak yang mendorong hilirisasi harus pula dipertimbangkan fakta bahwa hilirisasi yang memiliki semangat substitusi impor saat ini di banyak negara dianggap usang dan menjadi disinsentif terhadap minat investasi. Arahan keempat yaitu mengendalikan konsumsi barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dan alkohol terasa sangat dipaksakan.

Istilah pengendalian konsumsi barang yang dianggap penuh dosa sesuai dengan konsep cukai sebagai sin tax seakan-akan sekadar slogan karena gebrakangebrakan kebijakan cukai lebih terasa sebagai bumper atau senjata pamungkas pencapaian target penerimaan pajak belaka.

Pengalaman 2015 dengan kebijakan penerimaan bea dan cukai yang ditargetkan naik sekitar 15% menjadi Rp195 triliun pada APBN-P 2015 dibandingkan target 2014 dan rencana penyesuaian tarif cukai rokok pada 2015 jelas menunjukkan arah kebijakan yang berbeda dari upaya mengurangi konsumsi.

Terbukti dengan kenaikan target RAPBN 2016. Pemerintah mengusulkan penerimaan cukai hasil tembakau naik 23% menjadi Rp148,85 triliun. Tanggapan pengusaha rokok yang notabene adalah penyumbang terbesar penerimaan cukai negara (kurang lebih 96%-nya) sangat negative karena cenderung bertentangan dengan arahan kebijakan perpajakan ke-1 dan ke-2 yaitu menjaga iklim usaha dan investasi serta mempertahankan daya beli masyarakat.

Rokok tercatat sebagai komponen kedua terbesar penentu garis kemiskinan yang secara implisit merupakan juga penentu inflasi. Arahan kebijakan mempertahankan daya beli masyarakat sepertinya tidak konsisten dengan kenaikan target penerimaan cukai 23% karena jelas akan mencederai kelompok masyarakat miskin di Indonesia yang notabene adalah mayoritas adalah konsumen rokok dan jelas bukan merupakan konsumen kendaraan bermotor yang catatan penjualannya dianggap sebagai indikator utama pelemahan daya beli masyarakat.

Arahan kebijakan kelima justru bagi penulis merupakan arahan yang paling terarah karena memang sebelum mencanangkan target penerimaan pajak (serta cukai di dalamnya), harus disadari bahwa kebijakan teknis di bidang pajak di Indonesia masih menjadi kendala utama dalam pemenuhan kinerja pajak nasional.

UU yang berlaku tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan telah mengalami empat kali perubahan sebenarnya adalah culprit dari lemah dan kurang baiknya kinerja pajak nasional. Tidak sinkronnya terminologi perpajakan dan lemahnya dasar penentuan aspek hukum yang jelas terhadap administrasi dan pidana pajak sebagai contoh telah diungkapkan sebuah kegiatan FGD Pajak yang diselenggarakan LPIKP pada 11 Agustus yang dibuka Dirjen Pajak sebagai salah satu kelemahan utama dari perpajakan nasional selain masalah pemuktahiran data dan reformasi kelembagaan.

Hasil FGD ini sangat mendukung upaya revisi UU KUP dan pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) sesuai dengan ”roadmap ” Perpajakan Nasional 2015-2019 dengan tujuan ultimum kemandirian APBN. Sebelum RAPBN 2016 nanti disahkan menjadi APBN 2016 ada baiknya segenap pemerhati dan pengambil kebijakan keuangan negara mempertimbangkan semua hal yang telah dituliskan dalam artikel ini.

Dukungan terhadap upaya peningkatan penerimaan pajak guna kemandirian fiskal negara kita jelas akan selalu didapatkan dari seluruh komponen masyarakat, utamanya wajib pajak individu dan wajib pajak badan. Namun, dengan situasi dan kondisi perekonomian yang melambat dan melemah ini sepertinya arahan kebijakan perpajakan nasional haruslah fokus pada upaya yang lebih ultimate yaitu mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memeratakan hasil pem-bangunan di semua golongan tanpa menimbulkan kegaduhan ekonomi dan keresahan sosial di masyarakat.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0583 seconds (0.1#10.140)